Meneladani Jejak Kiai
Djoyo Ulomo Lampung
Judul
: Jagad Spiritualitas KH Raden Rahmad Djoyo Ulomo
Penulis
: Saifur Rijal dan Akhmad Syarief Kurniawan
Penerbit
: Angkringan Institute dan Lentera Kreasindo, Yogyakarta
Terbit
: November, 2014
Tebal
: xxi + 129 Halaman
ISBN
: 978-602-71740-3-0
Peresensi
: Siti Maysaroh, Sekretaris PC Fatayat NU Kabupaten Lampung Tengah 2018-2023
Buku yang telah terbit
ini merupakan sebuah karya dari penulis-penulis muda NU Lampung Tengah yang
bergiat di Lakpesdam NU Lampung Tengah dan LTN NU Lampung Tengah. Pada dasarnya
penulisan buku ini merupakan sebuah ihtiar dan upaya penelusuran terhadap
seorang tokoh atau sosok yang telah merelakan hidup dan kehidupannya demi
tegaknya syiar Islam di bumi Lampung pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Buku ini merupakan
"mini biografi" dari seorang "Kiai Kampung" yang sangat
bersahaja dan sederhana. Beliau adalah Almaghfurlah KH Raden Rahmad Djoyo
Ulomo, salah satu Kiai kharismatik. Ketokohannya dalam dunia pesantren dan
Mursyid Thariqah di Lampung merupakan sumber dan sumbangan pemikiran dari
khazanah intelektual Islam yang menarik untuk dikaji. Dimensi-dimensi kehidupan
Mbah Djoyo Ulomo sejak dari masa kanak-kanak hingga beliau "mangkat",
merupakan sebuah rekam jejak yang penuh dengan lakon lika-liku kehidupan.
Kegigihannya
mengarungi kehidupan merupakan contoh atau panutan yang patut dijadikannya dari
masa muda hingga mashur menjadi rekam jejak tersendiri yang menarik untuk
diamati, dicermati dan kemudian dijadikan pelajaran bagi masyarakat umum,
khususnya warga Nahdliyyin di provinsi Lampung maupun di luar provinsi Lampung,
sekiranya dapat dijadikan sebuah sumber inspirasi bagi kalangan pemuda pemudi
dari khazanah intelektual Islam.
Buku setebal xxi +
129 halaman ini memuat lima Bab dengan masing – masing pokok bahasan. Bab
pertama diawali dengan Mengenal KH. Raden Rahmad Djoyo Ulomo (halaman 3). Nama
semasa kecilnya adalah Mujahid, ia dilahirkan disebuah Desa tepatnya Banjar
Melati Pare Kediri Jawa Timur pada tahun 1875. Pendidikannya semasa remaja hingga
dewasa dihabiskan di beberapa Pesantren di Jawa Timur, seperti; Pesantren
Lirboyo, Pesantren Kedong Lo, Pesantren Bandar Kidul, hingga ke Kiai Fattah
Tulung Agung (halaman 5).
Bab kedua menguraikan
tentang Hijrah ke Lampung (halaman 15). Kali pertama Djoyo Ulomo muda hijrah ke
Pulau Sumatera pada tahun 1958, ditemani sang istri Nyai Dewi Wuryan. Daerah
yang menjadi tambatannya adalah Desa Rama Puja, sebuah perkampungan yang masuk
dalam kategori baru dan diperuntukkan bagi transmigran. Dan mulai pada tahun
1961, Kiai Djoyo Ulomo muda mulai mendirikan Pesantren bernama Tri Bhati at
Taqwa.
Bab ketiga memaparkan
Wasiat dan Wejangan Simbah Kiai Djoyo Ulomo (halaman 39). Kalimat sederhana
yang masyhur selama Kiai Djoyo Ulomo hidup, baik dikalangan santri ataupun di
luar pesantren Tri Bhakti At Taqwa, diantaranya adalah, "Bismillah, janji
betah, oleh upah", (dengan menyebut nama Allah; asalkan betah pasti akan
mendapatkan hasil).
Sepenggal kalimat di
atas merupakan salah satu "mantra" yang sering diucapkan oleh Mbah
Djoyo Ulomo kepada para santrinya dan kepada siapa pun yang sedang membutuhkan
motivasi. Kata-kata tersebut seolah memiliki nilai magis dan tuah bagi siapa
saja yang mendengarkannya. Padahal, Sepintas lalu, terlepas apakah kalimat di
atas merupakan kreatifitas beliau langsung atau berasal dari guru-guru beliau
tak perlu diperdebatkan. Penggalan kalimat "sakti" tersebut tak
ubahnya sebagai kata-kata untuk pelipur lara yang ditujukan bagi mereka yang
sedang dirundung kegundahan, gelisah, sumpeg atau sedang galau (halaman 41).
Bab keempat
menjelaskan Dibalik Tuah dan Karomah Mbah Kiai Djoyo Ulomo (halaman 61).
Cerita nyata ini terjadi dalam kurun waktu hampir setengah abad yang lalu,
yaitu tepatnya pada tahun 1965 silam. Sungguh, memberikan inspirasi yang sangat
dalam sekaligus menggambarkan betapa tinggi dan besar kharisma beliau dikala
itu.
Salah satu kesan dari
sang kiai terjadi, pada tahun itu yang bersamaan dengan peristiwa meletusnya G
30/S/PKI, khususnya di pulau Jawa dan wilayah lain di Indonesia. Waktu itu,
serombongan berkapasitas puluhan orang berbendera Ansor datang menemui beliau,
dengan maksud meminta arahan, nasehat sekaligus gemblengan spiritual. Wajar,
para pemuda Ansor sowan kepada beliau, karena pada waktu itu beliau termasuk salah
satu Kiai Lampung yang intens di jam'iyyah Nahdlatul Ulama'.
Pada saat
bersilaturahmi, setelah mereka diberikan arahan dan nasehat juga dibekali dalam
bentuk, pertama: berupa pentungan atau tongkat kecil yang pendek dengan bahan
dari rotan (sebesar ibu jari). Diberikan sebagai senjata pembela diri. Yang
dimaksudkan untuk benteng pertahanan dari tekanan-tekanan fisik yang dilakukan
oleh orang atau sekelompok yang berseberangan. Dengan keyakinan yang tinggi
berbekal pentungan atau tongkat kecil dari bahan rotan tersebut merekapun siap
maju di garda paling depan, bilamana harus berhadapan langsung, terlebih bila
terjadi kontak fisik, maklum bekal yang mereka terima dari sang kiai telah di
bubuhi doa-doa tertentu, yang umumnya dikenal sebagai benda yang telah di asma'
(halaman 77).
Bab kelima mengulas
Sang Kiai dalam Kaca Pandang Santri (halaman 89). Kesan sosok Kiai Djoyo Ulomo
di mata santri, merupakan seseorang yang memiliki tipikal penyabar, santun,
penuh kesederhanaan, hal ini terlihat saat memberikan pitutur (nasihat) kepada
santri-santrinya. Waktu ketika tahun 1974-1984 karena keadaan ekonomi masih
belum menguntungkan di Lampung khususnya, banyak santri yang mondok dengan ikut
menjadi khodam Kyai Djoyo Ulomo, itupun telah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya.
Sosok Kiai Djoyo
Ulomo yang tinggi gagah menambah kewibawaan beliau. Kesan selama sering diajak
bersepeda ketika bertugas membonceng beliau terasa berat, namun terus digayuh
dengan penuh semangat tak kenal lelah dan ini sering dilakukan.
Cara berdakwah yang
diketahui di luar pesantren mirip dengan cara-cara yang dilakukan oleh para
Walisongo yakni bercerita, antara lain: banyak membicarakan, menuturkan ajaran
Islam dengan langsung menghubungkan dengan situasi, budaya, dan karakter yang
nyata dijalankan dalam keseharian lengkap dengan sebab akibat seperti
menyampaikan mo limo mirip dengan cara penuturan khas Jawa.
Lebih jauh, seperti
disampaikan Kiai Mahrus As'ad dipengantar buku ini, Djoyo Ulomo muda mulai
menunjukkan karakter aslinya sebagai santri sekaligus ngemong masyarakat dikala
itu. Problem masyarakat yang silih berganti bahkan ancaman nyawapun terkadang
menghampirinya. Mulai membangun "masjid keramat", pesantren dan
sekaligus mendirikan Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah bagian perjuangan
membenahi peradaban umat di pulau ujung timur pulau Sumatera ini.
Seperti halnya
ulama-ulama lain di provinsi Lampung; KH Gholib Pringsewu, KH Busthomil Karim
Padang Ratu Lampung Tengah, KH 'Ali Hasyim Punggur Lampung Tengah, KH Khusnan
Musthofa Ghufron Metro, KH Abrori Akhwan Gerning Pesawaran, meskipun
dipedalaman dan jauh dari ibukota Provinsi Lampung proses panjang menghampiri
perjuangan beliau menyebarkan Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Tentunya
meng-Islamkan masyarakat dengan sejuk, damai dan ramah, tanpa kekerasan
tentunya. Pesan-pesan moral – spiritual yang beliau sampaikan kepada santri dan
masyarakat merupakan bukti kecintaan beliau kepada santri dan masyarakat itu
sendiri, tanpa membedakan status sosial, dan tentunya dengan keahlian spiritual
beliau dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya lafadz bismillah yang sarat
makna dan tradisi ngilani, serta lain-lain itulah sosok kyai kharismatik Djoyo
Ulomo yang sederhana, bersahaja dan membumi.
Tentunya buku karya
dua aktivis muda NU Lampung Tengah ini belum paripurna, masih terdapat
kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi, sesuai syarat dan kaidah kelimuan
guna mendekati kesempurnaan. Paling tidak hadirnya buku ini menambah referensi
khazanah pesantren di Lampung walaupun belum mencakup keseluruhan sosok yang
diangkat, namun patut di apresiasi selain memberikan informasi tentang
pesantren, upaya ini merupakan benih-benih indikasi positif geliat budaya
(baca; tradisi) menulis dilingkungan jama'ah (kultural) dan jam'iyyah
(struktural) Nahdlatul Ulama (NU) bahwa atmosfer tersebut terus dilakukan dan
digiatkan. Semoga. Selamat membaca !
Buku ini sangat layak
dibaca bagi santri, mahasiswa, dosen, peneliti, pemerhati tokoh-tokoh pesantren
di Indonesia, menambah cakrawala jejak-jejak Pesantren Indonesia umumnya dan di
Propinsi Lampung khususnya yang selama ini nyaris tidak semua orang tahu tentang
perihal tersebut, bahkan masyarakat Lampung itu sendiri. Tabik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar