Senin, 23 September 2019

(Buku of the Day) Jagad Spiritualitas KH Raden Rahmad Djoyo Ulomo


Meneladani Jejak Kiai Djoyo Ulomo Lampung


Judul                : Jagad Spiritualitas KH Raden Rahmad Djoyo Ulomo  
Penulis             : Saifur Rijal dan Akhmad Syarief Kurniawan
Penerbit            : Angkringan Institute dan Lentera Kreasindo, Yogyakarta
Terbit                : November, 2014
Tebal                : xxi + 129 Halaman
ISBN                 : 978-602-71740-3-0
Peresensi          : Siti Maysaroh, Sekretaris PC Fatayat NU Kabupaten Lampung Tengah 2018-2023

Buku yang telah terbit ini merupakan sebuah karya dari penulis-penulis muda NU Lampung Tengah yang bergiat di Lakpesdam NU Lampung Tengah dan LTN NU Lampung Tengah. Pada dasarnya penulisan buku ini merupakan sebuah ihtiar dan upaya penelusuran terhadap seorang tokoh atau sosok yang telah merelakan hidup dan kehidupannya demi tegaknya syiar Islam di bumi Lampung pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Buku ini merupakan "mini biografi" dari seorang "Kiai Kampung" yang sangat bersahaja dan sederhana. Beliau adalah Almaghfurlah KH Raden Rahmad Djoyo Ulomo, salah satu Kiai kharismatik. Ketokohannya dalam dunia pesantren dan Mursyid Thariqah di Lampung merupakan sumber dan sumbangan pemikiran dari khazanah intelektual Islam yang menarik untuk dikaji. Dimensi-dimensi kehidupan Mbah Djoyo Ulomo sejak dari masa kanak-kanak hingga beliau "mangkat", merupakan sebuah rekam jejak yang penuh dengan lakon lika-liku kehidupan.

Kegigihannya mengarungi kehidupan merupakan contoh atau panutan yang patut dijadikannya dari masa muda hingga mashur menjadi rekam jejak tersendiri yang menarik untuk diamati, dicermati dan kemudian dijadikan pelajaran bagi masyarakat umum, khususnya warga Nahdliyyin di provinsi Lampung maupun di luar provinsi Lampung, sekiranya dapat dijadikan sebuah sumber inspirasi bagi kalangan pemuda pemudi dari khazanah intelektual Islam.

Buku setebal xxi + 129 halaman ini memuat lima Bab dengan masing – masing pokok bahasan. Bab pertama diawali dengan Mengenal KH. Raden Rahmad Djoyo Ulomo (halaman 3). Nama semasa kecilnya adalah Mujahid, ia dilahirkan disebuah Desa tepatnya Banjar Melati Pare Kediri Jawa Timur pada tahun 1875. Pendidikannya semasa remaja hingga dewasa dihabiskan di beberapa Pesantren  di Jawa Timur, seperti; Pesantren Lirboyo, Pesantren Kedong Lo, Pesantren Bandar Kidul, hingga ke Kiai Fattah Tulung Agung (halaman 5).  

Bab kedua menguraikan tentang Hijrah ke Lampung (halaman 15). Kali pertama Djoyo Ulomo muda hijrah ke Pulau Sumatera pada tahun 1958, ditemani sang istri Nyai Dewi Wuryan. Daerah yang menjadi tambatannya adalah Desa Rama Puja, sebuah perkampungan yang masuk dalam kategori baru dan diperuntukkan bagi transmigran. Dan mulai pada tahun 1961, Kiai Djoyo Ulomo muda mulai mendirikan Pesantren bernama Tri Bhati at Taqwa.

Bab ketiga memaparkan Wasiat dan Wejangan Simbah Kiai Djoyo Ulomo (halaman 39). Kalimat sederhana yang masyhur selama Kiai Djoyo Ulomo hidup, baik dikalangan santri ataupun di luar pesantren Tri Bhakti At Taqwa, diantaranya adalah, "Bismillah, janji betah, oleh upah", (dengan menyebut nama Allah; asalkan betah pasti akan mendapatkan hasil).

Sepenggal kalimat di atas merupakan salah satu "mantra" yang sering diucapkan oleh Mbah Djoyo Ulomo kepada para santrinya dan kepada siapa pun yang sedang membutuhkan motivasi. Kata-kata tersebut seolah memiliki nilai magis dan tuah bagi siapa saja yang mendengarkannya. Padahal, Sepintas lalu, terlepas apakah kalimat di atas merupakan kreatifitas beliau langsung atau berasal dari guru-guru beliau tak perlu diperdebatkan. Penggalan kalimat "sakti" tersebut tak ubahnya sebagai kata-kata untuk pelipur lara yang ditujukan bagi mereka yang sedang dirundung kegundahan, gelisah, sumpeg atau sedang galau (halaman 41).

Bab keempat menjelaskan  Dibalik Tuah dan Karomah Mbah Kiai Djoyo Ulomo (halaman 61). Cerita nyata ini terjadi dalam kurun waktu hampir setengah abad yang lalu, yaitu tepatnya pada tahun 1965 silam. Sungguh, memberikan inspirasi yang sangat dalam sekaligus menggambarkan betapa tinggi dan besar kharisma beliau dikala itu.

Salah satu kesan dari sang kiai terjadi, pada tahun itu yang bersamaan dengan peristiwa meletusnya G 30/S/PKI, khususnya di pulau Jawa dan wilayah lain di Indonesia. Waktu itu, serombongan berkapasitas puluhan orang berbendera Ansor datang menemui beliau, dengan maksud meminta arahan, nasehat sekaligus gemblengan spiritual. Wajar, para pemuda Ansor sowan kepada beliau, karena pada waktu itu beliau termasuk salah satu Kiai Lampung yang intens di jam'iyyah Nahdlatul Ulama'.

Pada saat bersilaturahmi, setelah mereka diberikan arahan dan nasehat juga dibekali dalam bentuk, pertama: berupa pentungan atau tongkat kecil yang pendek dengan bahan dari rotan (sebesar ibu jari). Diberikan sebagai senjata pembela diri. Yang dimaksudkan untuk benteng pertahanan dari tekanan-tekanan fisik yang dilakukan oleh orang atau sekelompok yang berseberangan. Dengan keyakinan yang tinggi berbekal pentungan atau tongkat kecil dari bahan rotan tersebut merekapun siap maju di garda paling depan, bilamana harus berhadapan langsung, terlebih bila terjadi kontak fisik, maklum bekal yang mereka terima dari sang kiai telah di bubuhi doa-doa tertentu, yang umumnya dikenal sebagai benda yang telah di asma' (halaman 77).

Bab kelima mengulas Sang Kiai dalam Kaca Pandang Santri (halaman 89). Kesan sosok Kiai Djoyo Ulomo di mata santri, merupakan seseorang yang memiliki tipikal penyabar, santun, penuh kesederhanaan, hal ini terlihat saat memberikan pitutur (nasihat) kepada santri-santrinya. Waktu ketika tahun 1974-1984 karena keadaan ekonomi masih belum menguntungkan di Lampung khususnya, banyak santri yang mondok dengan ikut menjadi khodam Kyai Djoyo Ulomo, itupun telah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya.

Sosok Kiai Djoyo Ulomo yang tinggi gagah menambah kewibawaan beliau. Kesan selama sering diajak bersepeda ketika bertugas membonceng beliau terasa berat, namun terus digayuh dengan penuh semangat tak kenal lelah dan ini sering dilakukan.

Cara berdakwah yang diketahui di luar pesantren mirip dengan cara-cara yang dilakukan oleh para Walisongo yakni bercerita, antara lain: banyak membicarakan, menuturkan ajaran Islam dengan langsung menghubungkan dengan situasi, budaya, dan karakter yang nyata dijalankan dalam keseharian lengkap dengan sebab akibat seperti menyampaikan mo limo mirip dengan cara penuturan khas Jawa.

Lebih jauh, seperti disampaikan Kiai Mahrus As'ad dipengantar buku ini, Djoyo Ulomo muda mulai menunjukkan karakter aslinya sebagai santri sekaligus ngemong masyarakat dikala itu. Problem masyarakat yang silih berganti bahkan ancaman nyawapun terkadang menghampirinya. Mulai membangun "masjid keramat", pesantren dan sekaligus mendirikan Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah bagian perjuangan membenahi peradaban umat di pulau ujung timur pulau Sumatera ini.

Seperti halnya ulama-ulama lain di provinsi Lampung; KH Gholib Pringsewu, KH Busthomil Karim Padang Ratu Lampung Tengah, KH 'Ali Hasyim Punggur Lampung Tengah, KH Khusnan Musthofa Ghufron Metro, KH Abrori Akhwan Gerning Pesawaran, meskipun dipedalaman dan jauh dari ibukota Provinsi Lampung proses panjang menghampiri perjuangan beliau menyebarkan Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Tentunya meng-Islamkan masyarakat dengan sejuk, damai dan ramah, tanpa kekerasan tentunya. Pesan-pesan moral – spiritual yang beliau sampaikan kepada santri dan masyarakat merupakan bukti kecintaan beliau kepada santri dan masyarakat itu sendiri, tanpa membedakan status sosial, dan tentunya dengan keahlian spiritual beliau dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya lafadz bismillah yang sarat makna dan tradisi ngilani, serta lain-lain itulah sosok kyai kharismatik Djoyo Ulomo yang sederhana, bersahaja dan membumi.

Tentunya buku karya dua aktivis muda NU Lampung Tengah ini belum paripurna, masih terdapat kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi, sesuai syarat dan kaidah kelimuan guna mendekati kesempurnaan. Paling tidak hadirnya buku ini menambah referensi khazanah pesantren di Lampung walaupun belum mencakup keseluruhan sosok yang diangkat, namun patut di apresiasi selain memberikan informasi tentang pesantren, upaya ini merupakan benih-benih indikasi positif geliat budaya (baca; tradisi) menulis dilingkungan jama'ah (kultural) dan jam'iyyah (struktural) Nahdlatul Ulama (NU) bahwa atmosfer tersebut terus dilakukan dan digiatkan. Semoga. Selamat membaca !

Buku ini sangat layak dibaca bagi santri, mahasiswa, dosen, peneliti, pemerhati tokoh-tokoh pesantren di Indonesia, menambah cakrawala jejak-jejak Pesantren Indonesia umumnya dan di Propinsi Lampung khususnya yang selama ini nyaris tidak semua orang tahu tentang perihal tersebut, bahkan masyarakat Lampung itu sendiri. Tabik. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar