Fiqih Bencana: Status Utang
Nasabah Akad Murabahah Perbankan
Ada banyak jenis akad pembiayaan dalam
perbankan syariah. Beberapa di antaranya adalah akad murâbahah (jual beli),
mudhârabah (bagi hasil), musyârakah (kemitraan), ijarah (sewa menyewa), salam
(jual beli pesan), istishna’ (jual beli pesan rakit), istitsmar (investasi),
dan qiradl (permodalan). Sebenarnya masih banyak lagi akad yang lain seperti
musâqah, dan rumpunnya. Kali ini kita akan fokus pada akad nasabah dengan
perbankan yang memiliki basis akad jual beli, yang berarti kita fokus pada
produk murâbahah.
Dasar utama akad murâbahah sebagaimana
disebutkan dalam keputusan DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut
disebutkan bahwa akad ini fungsinya untuk menjembatani kebutuhan nasabah
seiring dengan kebutuhan mendapatkan barang-barang dari kelompok usaha
non-produktif. Sebagaimana diketahui bahwa pengajuan utang untuk kebutuhan
non-produktif pada bank konvensional, NU melalui keputusan Munas Alim Ulama NU
di Lampung tahun 1992, memutuskan bahwa bunga bank diputus haram. Sekali lagi
ini diputuskan pada jenis usaha non-produktif. Namun untuk usaha produktif, NU
melalui keputusan Munas tersebut menyebut bahwa bunga bank diputus sebagai
boleh. Persoalannya kemudian, fakta yang terjadi di masyarakat, mereka masih
membutuhkan pinjaman untuk kategori kebutuhan non-produktif.
Misalnya, untuk kebutuhan skala non-produktif
adalah kebutuhan “pelengkap” untuk membiayai modal pertaniannya. Tersedianya
modal petani hanya sedikit. Ia membutuhkan kebutuhan semacam pupuk, jaring
untuk nelayan, kebutuhan suplai konsumsi rumah tangga mengingat hasil panen
hanya cukup untuk modal saja, dan lain sebagainya.
Akhirnya, berbagai latar belakang ini
membutuhkan solusi. Lalu disusunlah produk murâbahah ini sebagai bagian dari
produk sub produk alternatif pengganti model utang usaha pada bank
konvensional.
Landasan akad pada produk murâbahah adalah
jual beli, yang berarti mutlak terjadinya akad mu’awadlah (pertukaran) dan
taqâbudh (saling terima). Sebagai contoh: Pak Ali seorang pengusaha toko buku,
mengajuk permohonan pembiayaan modal usahanya dengan akad murabahah, dengan
tujuan untuk membeli bahan baku kertas senilai 100 juta rupiah. Setelah
dievaluasi oleh Bank syariah, usaha Pak Ali layak untuk dipertimbangkan. Lalu
Bank Syariah membeli semua kebutuhan Pak Ali tersebut, lalu bank menjual barang
tersebut kepada pak Ali sejumlah Rp-120 juta, dengan jangka waktu 12 bulan dan
dibayar lunas pada saat jatuh tempo dengan total angsuran sebanyak 3 kali. Akad
jenis ini termasuk akad murabahah dengan mengambil sisi jual beli tempo (bai’
bi al-thamani al-âjil). Jika waktu angsurannya ditetapkan selama sebulan sekali
secara rutin dengan besaran tertentu, maka disebut bai’ taqshith, atau jual
beli kredit. Baik antara jual beli kredit atau jual beli tempo, keduanya adalah
sah secara syara’ manakala khiyar sudah dilakukan saat akad terjadi, antara
lain mengambil catatan jual beli tempo, ataukah mengambil catatan jual beli
kredit.
Barang yang sudah dibeli, baik dengan jalan
jual beli tempo maupun jual beli kredit, keduanya adalah sudah menjadi milkun
tâm bagi pembeli. Dengan demikian, apabila barang sudah diterima oleh pembeli,
maka pembeli boleh menjualnya kembali kepada konsumennya meskipun utangnya belum
selesai dibayar.
Bagaimana misalnya, bila di tengah situasi
barang tersebut belum lunas diangsur, kemudian terjadi bencana yang
menghabiskan (force majeure)? Apakah nasabah tetap terkena beban angsuran?
Ataukah bisa ia mengajukan klaim pemutihan?
Jika menilik dari basis akad jual beli bahwa
ketika barang sudah diterima oleh pembeli (nasabah) maka barang tersebut sudah
menjadi milik nasabah, maka hak sebenarnya adalah bank masih bisa melakukan
klaim tagihan kepada nasabah. Sebab, dalam jual beli ini sudah terjadi
perpindahan kepemilikan atau resiko barang ke nasabah sehingga wajib bagi
nasabah menanggungnya dalam kondisi apapun. Kecuali bila proses perpindahan
kepemilikan tersebut belum sempat terjadi, maka klaim penagihan bank tidak bisa
dibenarkan.
Dengan menilik dari akad ini, maka dispensasi
yang mungkin bisa diterapkan atas nasabah produk murâbahah adalah
restrukturisasi dan rescheduling (penjadwalan ulang). Apakah boleh bagi bank
menerapkan status muflis (bangkrut) kepada nasabah? Atau bolehkah dinyatakan
pailit?
Bangkrut merupakan kondisi akibat kesalahan
atau kelalaian dalam menjalankan usaha sehingga mengalami kerugian
terus-menerus. Sementara pailit adalah kondisi di mana nasabah tidak bisa
membayar utangnya dengan sebab dinyatakan oleh Pengadilan Niaga. Keduanya
memiliki asal usul yang sama yaitu berangkat dari kesalahan dalam menjalankan
usaha. Hanya beda sedikit terkait dengan keterlibatan qadli/hakim sebagai
pemutus perkara.
Dengan melihat sisi ini, maka tidak mungkin
bagi kelompok nasabah terimbas bencana dikelompokkan ke dalam keduanya. Namun,
karena pada kondisi pailit dan bangkrut ada kemungkinan untuk diputihkan hak
dan tanggung jawabnya oleh perbankan, maka sudah barang tentu, menurut sisi
kemanusiaan, nasabah akad murâbahah lebih berhak untuk mendapatkan itu,
meskipun hukum asalnya adalah tidak berhak disebabkan faktor sudah terjadi
perpindahan milik. Selanjutnya, kearifan pihak perbankan diharapkan bisa
terwujud di sini. Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji
Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar