Fiqih Wajib Hilangnya
Relasi Kemitraan Kreditur-Debitur akibat Bencana
Setiap individu Muslim harus memperhatikan
prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam setiap praktik kegiatannya. Ada beberapa
prinsip ekonomi Islam yang sudah digariskan oleh syara’, antara lain (1) pada
dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh
nash (Al-Qur’an dan Sunnah Rasulillah SAW), (2) muamalah harus dilakukan atas
dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat terhadap
kehidupan manusia dan lingkungan, (3) muamalah dilakukan atas dasar sukarela
tanpa mengandung unsur paksaan; dan (4) muamalah dilakukan dengan memelihara
nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan tidak adanya
usaha untuk mencari-cari kesempatan dalam kesempitan orang lain.
Dari kesemua prinsip di atas, selanjutnya ada
satu prinsip yang paling utama dari keempatnya yaitu prinsip kemaslahatan
bersama. Bila di dalam kegiatan ekonomi terjadi penindasan terhadap yang lain,
maka muncul ketimpangan. Beberapa bagian sudah kita kaji dalam tulisan-tulisan
terhadahulu ketika membahas tentang persaingan pasar, monopoli dan ihtikar, dan
sebagainya. Semua itu dilarang pada dasarnya disebabkan karena faktor kemaslahatan
yang mutlak diperhatikan oleh syara’, antara lain: (1) tidak merugikan diri dan
orang lain, (2) berusaha meniadakan kesulitan, dan (3) memilih penempuhan
dengan jalan tahapan-tahapan, sehingga tidak harus seketika itu juga. Inilah
sebabnya Islam juga membolehkan sistem jual beli secara kredit, yang mana nilai
akhir harga sudah barang pasti bernilai lebih tinggi dari harga kontannya.
Catatan yang mutlak diperhatikan adalah pembeli harus khiyar sebelum berpisah
majelis.
Bagaimana prinsip ini diadopsi dalam
penetapan keputusan soal kredit macet karena faktor bencana? Sebagaimana kita
ketahui bahwa asas kemaslahatan ini tidak hanya berlaku bagi
perorangan/individu, melainkan juga bagi kelompok/masyarakat/lembaga yang
menguasai hajat hidup masyarakat banyak. Sebagaimana jual beli kredit yang
harganya lebih tinggi dari harga kontan, tidak melulu hanya memperhatikan
kemaslahatan pembeli, melainkan juga kemaslahatan penjualnya. Inilah sebabnya
dalam qaidah fiqhiyyah ada sebuah kelaziman:تصرف
الإمام منوط بالمصلحة, yakni
“mandat kerja imam adalah mengikut kepada terwujudnya maslahah.” Garis besarnya
adalah bahwa kemaslahatan itu bergantung pada tangan pemegang kebijakan, yaitu
pemimpin/imam.
Sudah barang pasti bahwa dalam setiap
kebijakan, terdapat ‘illat hukum. Tanpa keberadaan ‘illat hukum, maka kebijakan
tidak bisa disebut sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan. Bahkan cenderung asal
sadap, asal terap dan awur-awuran. Yang penting untung dan menyenangkan satu
pihak. Apalagi dalam kondisi mendekati pemilu presiden. Kita tentu tidak
berharap bahwa kemudian ajang pemutihan atau pemberlakuan ampunan debitur
terimbas bencana dijadikan sebagai bagian ajang politik praktis. Sama sekali,
prinsip seperti ini tidaklah bersifat populis dan egaliter (adil). Untuk itu, dalam
hal penetapan kemaslahatan debitur nasabah terdampak bencana juga mutlak
memperhatikan alasan kuat pertimbangan hukum.
Berikut ini penulis sajikan tiga dasar illat
utama mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan prinsip penghapusan hak
penagihan kepada nasabah terimbas bencana, antara lain:
Pertama, prestasi debitur dalam pengelolaan
kredit tidak bisa terpenuhi sebagai akibat peristiwa yang bersifat membinasakan
atau memusnahkan benda/obyek perkreditan.
Alasan ini secara tidak langsung
mengesampingkan sebab kelalaian tindakan yang sengaja dilakukan debitur
sehingga ia bisa dikategorikan bangkrut (iflâs). Dalam konteks fiqih
diserupakan dengan seseorang yang mendapatkan titipan wakil untuk menyimpan
suatu barang. Kelalaian wakil dapat diputuskan manakala ia membawa barang yang
dititipkan itu ke dalam sebuah perjalanan yang beresiko menyebabkan kerusakan
barang yang dititipkan. Jika hal ini terjadi, maka si wakil dapat dituntut
ganti rugi (أرش) atas barang yang dibawanya sehingga menyebabkan rusak. Dalam
kasus piutang mudlarabah, murabahah, dan musyârakah, seorang debitur
diserupakan dengan seorang yang memiliki lahan usaha yang bisa ditempati untuk
mendirikan usaha. Adanya survey yang dilakukan oleh perbankan kepada calon
debitur produknya, sudah barang tentu juga menimbang bukan hanya sedikitnya
resiko kerugian, melainkan juga resiko kerusakan modal. Meskipun, resiko faktor
kerusakan ini tidak tercantum dalam klausul nota transaksi.
Sebuah analogi jika kerugian sekecil apapun
menjadi faktor pertimbangan utama melakukan pembiayaan, maka sudah barang tentu
faktor yang lebih besar harus mendapat prioritas yang lebih. Buat apa
memperhatikan resiko yang kecil, sementara resiko kemusnahan tidak diperhatikan
sama sekali? Adanya disyaratkan sertifikat penyerahan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) oleh pendiri badan usaha secara tidak langsung menjadi
argumen pertimbangan bagi bank untuk penyaluran pembiayaannya. Buat apa
repot-repot melakukan AMDAL jika sama sekali tidak berguna sebagai pendukung
claim apabila terjadi sesuatu yang tak terprediksi sebelumnya? Untuk UMKM dan
masyarakat kecil, keberadaan AMDAL ini secara tidak langsung sudah include di
dalam survey-nya perbankan ke obyek yang hendak dibiayai lewat qardlu,
mudharabah, murabahah atau musyârakah. Jadi, seharusnya sudah tanpa perlu
pengajuan claim dari mereka.
Kedua, ada sebab yang terletak di luar
kesalahan debitur karena ada peristiwa yang menghalangi laku debitur untuk
berprestasi dan melakukan pengelolaan.
Sebab kedua ini merupakan penolak alasan
bahwa debitur telah melakukan sebuah tindakan penyalahgunaan pembiayaan
yang dikucurkan lewat produk investasi modal perbankan, seperti musyârakah,
murâbahah, mudhârabah, dan akad istishna’ serta istithmar. Dalam produk
musyârakah musâhamah, bagian saham pemerintah yang diinvestasikan ke jalur
usaha debitur secara tidak langsung mensyaratkan menjadi bagian kewajiban
kreditur perbankan untuk ikut meninggung resiko usaha. Sebagaimana kaidah dasar
fiqih bahwa الخراج بالضمان (untung rugi ditanggung bersama).
Ketiga, faktor bencana merupakan faktor yang
tak dapat diduga sebelum oleh debitur.
Apabila sebuah aktivitas kegiatan yang bisa
merugikan sebuah usaha bisa diduga sebelumnya oleh debitur, lalu ia tidak
berusaha melakukan upaya pencegahannya, maka kerugian yang terjadi adalah
mengikut claim kerugian mitranya, yaitu kreditur. Namun, dalam kondisi bencana
yang tak terprediksi sehingga mengakibatkan kerugian atau musnahnya suatu moda
investasi, maka seharusnya berlaku kembali kaidah untung rugi ditanggung
bersama antara debitur dan kreditur berdasarkan prinsip kemitraan
(syirkah).
Inilah ketiga alasan utama pembatal kemitraan
sebagaimana dimaksud dalam judul tulisan ini. Ketiga alasan utama di atas menjadi
pembatal kreditur untuk melakukan fungsi penagihan utang kepada debitur
disebabkan ia adalah mitra bagi debitur tersebut (musyârakah). Secara singkat
maka akibat kondisi force majeure (darurat bencana) tersebut, maka terjadi 6
kondisi berikut:
1. Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan
prestasi dari debitur
2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai
3. Debitur tidak wajib membayar ganti
rugi
4. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan
dalam perjanjian timbal balik. Maksud dari perjanjian timbal balik ini adalah
apabila debitur nasabah tidak bisa memenuhi tuntutan tagihan, maka secara
otomatis kreditur bank bisa menarik modal usaha yang sudah diberikan kepada
debitur dalam bentuk penarikan agunan
5. Kemitraan dinyatakan gugur sebab seluruh
modal hilang musnah.
6. Bila terjadi relasi baru antara debitur
dan kreditur, maka itu adalah akad baru dan bukan melanjutkan akad lama
Wallahu a’lam bish –shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Penulis adalah Mantan
Aktifis “Jangkar Kelud” Kabupaten Kediri, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar