Ini Pemilunya Siapa?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam menghadapi pemilu yang akan datang, penulis menghadapi
tantangan intern maupun ekstern dalam berbagai bentuk. Tantangan ini juga
dihadapi oleh parpo-parpol lain, tanpa kecuali. Tantangan terbesar, adalah
kenyataan bahwa KPU memberlakukan aturan-aturannya sendiri, tanpa
mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh parpol, sementara
antara KPU di tingkat pusat dengan KPU di tingkat daerah terjadi perbedaan
paham dan penafsiran atas berbagai undang-undang dan peraturan. Sebagai contoh,
penulis diijinkan oleh sebuah KPU tingkat propinsi untuk berbicara, tetapi oleh
KPU tingkat kabupaten di daerah yang sama dilarang, karena “alasan teknis”.
Nah, kesulitan-kesulitan seperti itu tetap saja terjadi di berbagai tempat,
sehingga sering membuat pusing sejumlah jurkam (juru kampanye) di tingkat
nasional yang harus berpidato/berkampanye di daerah.
Kalau seorang jurkamnas (juru kampanye nasional) dilarang tampil
ketika sudah berada di tempat kampanye, tentunya itu sangat menyulitkan,
dampaknya terutama pada kesulitan-kesulitan pembiayaan kampanye tersebut. Kalau
memang partainya sangat kaya, seperti pada partai yang berkuasa, hal itu tidak
menjadi persoalan. Tetapi untuk parpol-parpol yang tidak sekuat itu dananya,
tentulah keputusan KPU setempat akan sangat berpengaruh. Parpol penulis, boleh
dikata beruntung karena aparat lokalnya dapat mempersiapkan sendiri dengan
biaya masyarakat setempat, sehingga dirubah tanggalnya pun tidak menjadi
masalah.
Ketika penulis sebagai jurkamnas harus berkampanye di Amuntai
(Kalimantan-Selatan), ia tiba di lapangan terbang Syamsudin Noor (dahulu Ulin),
Banjarmasin lalu meneruskan dengan perjalanan dengan kendaraan darat berangkat
ke Amuntai dengan segera. Untuk sampai ke stadion Amuntai yang telah dihadiri
ribuan pengunjung, perjalanan pulang pergi dari dan ke lapangan terbang
Ulin itu menempuh jarak sekitar 400 km. Kenyataan itu membuat penulis hanya
punya waktu sekitar 2 jam untuk makan siang, bersembahyang dan berpidato.
Bayangkan kalau sampai ada “gangguan teknis” sehingga ia tidak dapat berpidato/
berkampanye, berarti kegiatan hari itu menjadi kosong total. Beruntung hal itu
tidak terjadi atas diri penulis di sana, walaupun terjadi di pulau lain.
Larangan KPU lokal di beberapa daerah tersebut, sempat membuat kampanye penulis
harus dibatalkan, dan akibatnya penulis terpaksa tidak dapat berkampanye di
pulau tersebut karena tanggal lain sudah dijadwalkan bagi kampanye parpol yang
lain.
Penulis menyadari, berbeda dengan kampanye-kampanye di berbagai
negeri lain yang dilakukan sepanjang tahun, kampanye pemilu di negeri ini harus
dibatasi, yaitu sekitar 3 minggu sebelunya, karena dikhawatirkan terjadinya
“benturan fisik” antara para pengikut parpol-parpol yang berbeda-beda. Dengan
kata lain, KPU harus memberlakukan pembatasan-pembatasan tertentu atas jalannya
kampanye pemilu itu sendiri. Tetapi, aturan demi aturan yang diberlakukan
menjadi pengekangan yang tidak perlu atas berbagai macam kegiatan dari
parpol-parpol yang mengikuti pemilu itu.
Dalam kerancuan keadaan yang timbul sebagai akibat tidak siapnya
‘tindakan-tindakan teknis’ oleh KPU, seperti penyediaan kotak-kotak suara dan
perlengkapan kartu-kartu suara oleh KPU pada waktunya, yang disiarkan secara
terbuka oleh media di negeri kita, penulis menyarankan agar KPU menggunakan
pendekatan minimal, bukanya pendekatan maksimal, agar tidak terjadi ‘kesalahan
teknis’ (dalam ungkapan lain yaitu, upaya untuk melakukan kecurangan) yang
dilakukan oleh birokrasi setempat, yang tentu saja dengan sepengetahuan KPU
lokal. Inilah yang sebenarnya sangat memilukan hati para pengamat, karena
ternyata memang belum diketahui KPU lokal itu ‘bekerja’ untuk siapa. Orang
boleh saja menyangka yang tidak-tidak bahwa Panwaslu di tempat itu tidak
bekerja seserius mungkin.
Tapi pemilu yang semula diharapkan melahirkan sebuah pemerintahan
demokratis, dapat saja justru melestarikan pemerintahan yang tidak adil. Karena
kita ingin menegakkan demokrasi di negeri ini, dengan sendirinya lalu kita
menuntut adanya pemilu yang jujur, terbuka dan adil. Ini adalah permintaan yang
wajar-wajar saja. Tetapi permintaan itu mustahil akan dapat ditegakkan kalau
kejujuran, keadilan dan keterbukaan tidak dipegang teguh. Karena itu
orang-orang KPU lokal yang mengingkari ketiga hal itu, dengan melanggar “aturan
main” yang ada, sepatutnyalah menerima hukuman berat atas apa yang dilakukan.
*****
Memang demokrasi tidak dapat berdiri selengkapnya dalam waktu
cepat. Namun, ukuran minimal bagi pelaksanaan demokrasi juga tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Kalau ukuran minimal yang ada tidak dilaksanakan dengan
baik, maka pemilu yang berbiaya demikian mahal menjadi tidak berarti sama
sekali. Kalaupun hanya dijalankan ‘setengah hati’, maka pemilu hanya akan
berfungsi sebagai pembenar bagi sistem pemerintahan otoriter yang ada, seperti
yang kita jalankan selama 30 tahun lebih dibawah pemerintahan Orde Baru. Tentu
kita tidak menghendaki hal itu, karena krisis multi-dimensi yang berkepanjangan
dan kini memasuki tahun kedelapan akan lebih menyengsarakan rakyat kita.
Percumalah korban yang berjatuhan di Universitas Trisakti, Universitas Atmajaya
dan jembatan Semanggi.
Karena kita bangsa yang beragam, maka kalau kita tidak mau
memelihara proses demokratisasi yang ada, maka gerakan-gerakan separatis akan
kembali merajalela di negeri kita, dan kita berhenti menjadi bangsa yang satu
di tanah air yang tunggal. Ditambah kepentingan-kepentingan geopolitis dan
perniagaan internasional, juga akan “menghabisi” kesatuan negara kita dan
mengakibatkan berantakannya Republik Indonesia sebagai sebuah negara. Padahal
kita sudah mewujudkan 3 persyarakatan utama bagi terwujudnya sebuah negara yang
tunggal dengan susah payah selama 58 tahun umur negara kita. Ketiga hal yang
menjadi syarat utama bagi terwujudnya sebuah bangsa yang tunggal dan utuh di
kawasan geografis yang begitu luas seperti Indonesia, dapat dilihat dalam
hal-hal berikut. Pertama, sistem administrasi pemerintahan yang tunggal dan
seragam bagi seluruh bangsa. Kedua, bahasa nasional yang digunakan sebagai alat
komunikasi di seluruh penjuru tanah air. Dan ketiga, pola pembangunan daerah
yang saling berketergantungan antara semua daerah dari negara yang
bersangkutan.
Kita sudah terbiasa dengan guru Papua yang mengajar di
Minangkabau, Jaksa Ambon yang bertugas di Sumatra Selatan dan Polisi Sunda yang
bertugas di Nusa Tenggara Timur. Bahkan perkawinan antar suku tidak lagi
menjadi sesuatu yang aneh di negeri kita. Seorang nenek yang buta huruf
pun, dapat berbicara dengan lancar menggunakan bahasa nasional kita.
Hasil-hasil bumi dari Kalimanatan Sumatera dan Sulawesi, diolah di
pabrik-pabrik pulau Jawa untuk kepentingan seluruh bangsa. Inilah yang harus
dipertahankan melalui sistem pemilu yang jujur, adil dan terbuka. Mudah
dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan? []
Jakarta, 17 Maret 2004
Penulis adalah juru kampanye nasional sebuah parpol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar