Hukum Tanah Wakaf Tidak
Disertifikatkan yang Berakibat Sengketa
Jumlah tanah wakaf di Indonesia tersebar di
435.768 lokasi dengan luas 4.359.443.170 meter persegi. Dari jumlah sebanyak
itu, baru 287.160 lokasi yang sudah bersertifikat wakaf. Sedangkan sisanya
belum. Setiap tahun jumlah tanah wakaf selalu bertambah, namun tidak seimbang
dengan jumlah nadzir (pengelola wakaf) yang mendaftarkan tanah wakaf
kepada pihak yang berwenang.
Tidak jarang di kemudian hari muncul sengketa
tanah antara nadzir dengan keluarga waqif (orang yang mewakafkan) atau
bahkan intern nadzir itu sendiri. Sedangkan bukti sertifikat saat orang
yang mewakafkan dahulu masih hidup, tidak ada yang mengurus. Ada yang karena
saling lempar tanggungjawab yang menyebabkan pengurusan sertifikat
tertunda-tunda. Ada pula yang tidak menduga akan terjadi perselisihan di
kemudian hari sebab pada waktu waqif masih hidup semuanya aman seolah tanpa ada
masalah.
Sekarang mari kita telisik satu persatu. Pertama,
bagaimana sebenarnya hukum mensertifikatkan tanah wakaf sebagaimana kasus di
atas? Hanya mubah, sunah atau bahkan wajib?
Menurut sebagian riwayat, diceritakan bahwa
Sayyidah Fatimah pernah memberikan wakaf, beliau kemudian menyuruh orang lain
mencatatnya. Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang sebuah
sikap hati-hati terhadap urusan material. Kejadian pencatatan saat Sayyidah
Fathimah tentu masih pada era rendah literasi. Beliau sudah menjalankan hal
tersebut. Kejadian itu terekam dalam catatan Sayyid Ahmad bin Umar as-Syâthiry
sebagai berikut:
وقال
بعضهم: ان سيدتنا فاطمة عليها السلام وقفت وامرت بكتابة الوقف.
Artinya: “Sebagian ulama mengatakan,
sesungguhnya Sayyidah Fathimah ‘alaihâ as-salâm pernah berwakaf. Beliau
menyuruh untuk mencatatkan wakaf itu.” (Sayyid Muhammad bin Ahmad as-Syâthiry, Syarah
Al-Yâqût an-Nafîs, [Dârul Hâwî], juz 2, halaman 214).
Masih dalam kitab yang sama, Sayyid Muhammad
juga berkomentar tentang hukum mensertifikatkan tanah wakaf. Beliau berpendapat
pada dasarnyam mensertifikatkan hukumnya adalah sunnah selama tidak
dikhawatirkan akan terjadi sengketa yang bisa menjadikan tanah wakaf
terbengkalai. Apabila ditakutkan akan terjadi masalah di kemudian hari, hukum
mensertifikatkan tanah berubah menjadi wajib.
والحكم
في تسجيل الشهادة وكتابتها الندب إلا إذا خيف أو ترتب عليها ضياع حق المحجور أو
وقف فيجب كتابة المحضر والإشهاد عليه
Artinya: “Hukum mencatatkan sertifikat adalah
sunnah kecuali dikhawatirkan menimbulkan harta orang mahjûr (orang yang tidak
boleh bertransaksi menurut kriteria agama) atau pun harta wakaf yang akan
menjadi tidak terawat (terbengkalai), maka hukum mensertifikatkan adalah
wajib.” (Sayyid Muhammad bin Ahmad, Syarah al-Yâqût an-Nâfîs, [Dârul
Minhâj, Beirut, 2007], halaman 894).
Kalau meninjau fiqih maqashid, setiap
pengelola wakaf memang mempunyai kewajiban menjaga dengan sungguh-sungguh atas
harta yang di bawah naungan tanggungjawabnya. Sehingga jika dalam menjaga harta
itu melalui usaha mensertifikatkan, maka mensertifikatkan tanah wakaf hukumnya
wajib. Terlebih lagi apabila kita mengacu dunia seperti sekarang, banyak ahli
waris yang gelap mata, lupa daratan, berani menyerobot wakaf orang tuanya, maka
mensertifikatkan tentu bisa menjadi wajib.
Sedikit berbeda, sebagian pakar fiqih Indonesia
memandang bahwa mencatatkan sertifikat hukumnya fardlu kifayah mengingat
potensi perselisihan yang besar sedangkan sertifikat dapat menghindarkan
perseteruan. Hal itu disamakan dengan dalil bahwa semua transaksi keuangan
harus dicatat, termasuk jual beli, pernikahan, perceraian, maupun tentang ikrar
apapun, semuanya penting untuk dicatat. (Lihat: Raudlatuth Thâlibin,
11:276)
Kedua, siapa sebenarnya
yang paling bertanggungjawab terhadap proses pensertifikatan tanah wakaf
di Indonesia menurut aturan baku syara’?
Yang paling bertanggungjawab terhadap proses
pensertifikatan adalah nadzir (pengelola). Karena dialah yang
berkewajiban menjaga barang yang diwakafkan sebagaimana yang diungkapkan banyak
ulama. Di antaranya dalam kitab Asnal Mathâlib berikut ini:
ـ
(فرع وعلى الناظر العمارة ، والإجارة وجمع الغلة وحفظها) وحفظ الأصول كما صرح به
الأصل
Artinya: “Cabang masalah. Bagi nâdzir wajib
memakmurkan harta wakaf (tidak membiarkan begitu saja), menyewakan,
mengumpulkan keuntungan dan menjaganya. Begitu pula harus menjaga harta
pokoknya sebagaimana sudah dijelaskan pada kitab asal (Raudlatuh Thâlib).”
(Zakariya al-Anshâri-Zainuddin Abu Yahya As Saniki, Asnal Mathâlib,
Dârul Kutub al-Islâmî, juz 2, halaman 471).
Sekarang sudah semakin terang, bagaimana
hukum mensertifikatkan, siapa penanggungjawab yang harus bergerak. Lalu, ketiga
uang dari mana biaya pensertifikatan itu berasal? Bolehkah diambilkan dari
zakat yang dikumpulkan kepada LAZIS (lembaga amil zakat infak dan shadaqah),
misalnya?
Hukum menggunakan dana zakat untuk
pensertifikatan tanah wakaf adalah tidak boleh menurut konsensus empat ulama
mujtahid (ittifaq madzahib al-arba’ah).
أما
بناء المساجد والمدارس من اموال الزكاة لا يجوز وهذا ما أجمع عليه الأئمة الأربعة
Artinya: “Adapun membangun masjid-masjid,
sekolahan dari harta-harta zakat hukumnya tidak boleh. Hal ini berdasarkan atas
kesepakatan imam madzhab empat.” (Sayyid Muhammad bin Ahmad, Syarah al-Yâqût
an-Nâfîs, [Dârul Minhâj, Beirut, 2007], halaman 290).
Kalau ambil dari harta zakat tidak boleh,
ambilnya dari mana?
Biaya sertifikat dapat diambilkan dari sumber
yang telah ditunjuk oleh orang yang mewakafkan saat dia mewakafkan hartanya.
Misal, “saya ini mewakafkan tanah saya untuk masjid, namun nanti biaya
sertifikat diambilkan dari hasil penjualan kayu dari pohon yang ada di
atasnya.”
Atau jika waqif tidak mengatakan apa-apa,
bisa diambilkan dari hasil untung usaha yang dikembangkan dari harta wakaf itu
sendiri. Opsi berikutnya adalah baitul mâl, atau dimintakan orang-orang kaya
sekitar.
نفقة
الوقف من حيث شرط الواقف لانه لما اتبع شرطه في سبيله وجب اتباع شرطه في نفقته،
فإن لم يمكن فمن غلته، لان الوقف اقتضى تحبيس أصله وتسبيل منفعته، ولا يحصل ذلك
الا بالانفاق عليه، فكان ذلك من ضرورته، وان تعطلت منافع الحيوان الموقوف فنفقتهن
على الموقوف عليه لانه ملكه، ويحتمل وجوبها في بيت المال، والله تعالى أعلم
بالصواب.
Artinya: “Biaya wakaf diambilkan dari syarat
yang diajukan oleh orang yang mewakafkan. Sebab wakaf harus mengikuti kemauan
orang mewakafkan dalam hal biaya operasionalnya. Jika tidak memungkinkan maka
diambilkan dari keuntungan harta wakaf. Sebab harta wakaf itu harta yang asli
tidak boleh bergerak, namun asas manfaatnya bisa dikembangkan. Hal itu tidak
akan berhasil kecuali dengan memutarkan bisnis pada harta wakaf tersebut. Sebab
proses demikian menjadi sebuah keterdesakan. Apabila misalnya orang menerima
wakaf hewan yang sudah tidak produktif, maka biayanya dibebankan pada orang
yang menerima wakaf itu, karena hewan tersebut menjadi miliknya. Jika tidak
memungkinkan bisa jadi biayanya dibebankan kepada baitul mâl.” (Imam
Nawawi, Al-Majmu’, Syarah al-Muhaddzab, [Dârul Fikr], juz 15, halaman
366). Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar