Kamis, 26 September 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Tanah Wakaf Tidak Disertifikatkan yang Berakibat Sengketa


Hukum Tanah Wakaf Tidak Disertifikatkan yang Berakibat Sengketa

Jumlah tanah wakaf di Indonesia tersebar di 435.768 lokasi dengan luas 4.359.443.170 meter persegi. Dari jumlah sebanyak itu, baru 287.160 lokasi yang sudah bersertifikat wakaf. Sedangkan sisanya belum. Setiap tahun jumlah tanah wakaf selalu bertambah, namun tidak seimbang dengan jumlah nadzir (pengelola wakaf) yang mendaftarkan tanah wakaf kepada pihak yang berwenang.

Tidak jarang di kemudian hari muncul sengketa tanah antara nadzir dengan keluarga waqif (orang yang mewakafkan) atau bahkan intern nadzir itu sendiri. Sedangkan bukti sertifikat saat orang yang mewakafkan dahulu masih hidup, tidak ada yang mengurus. Ada yang karena saling lempar tanggungjawab yang menyebabkan pengurusan sertifikat tertunda-tunda. Ada pula yang tidak menduga akan terjadi perselisihan di kemudian hari sebab pada waktu waqif masih hidup semuanya aman seolah tanpa ada masalah. 

Sekarang mari kita telisik satu persatu. Pertama, bagaimana sebenarnya hukum mensertifikatkan tanah wakaf sebagaimana kasus di atas? Hanya mubah, sunah atau bahkan wajib? 

Menurut sebagian riwayat, diceritakan bahwa Sayyidah Fatimah pernah memberikan wakaf, beliau kemudian menyuruh orang lain mencatatnya. Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang sebuah sikap hati-hati terhadap urusan material. Kejadian pencatatan saat Sayyidah Fathimah tentu masih pada era rendah literasi. Beliau sudah menjalankan hal tersebut. Kejadian itu terekam dalam catatan Sayyid Ahmad bin Umar as-Syâthiry sebagai berikut: 

وقال بعضهم: ان سيدتنا فاطمة عليها السلام وقفت وامرت بكتابة الوقف

Artinya: “Sebagian ulama mengatakan, sesungguhnya Sayyidah Fathimah ‘alaihâ as-salâm pernah berwakaf. Beliau menyuruh untuk mencatatkan wakaf itu.” (Sayyid Muhammad bin Ahmad as-Syâthiry, Syarah Al-Yâqût an-Nafîs, [Dârul Hâwî], juz 2, halaman 214). 

Masih dalam kitab yang sama, Sayyid Muhammad juga berkomentar tentang hukum mensertifikatkan tanah wakaf. Beliau berpendapat pada dasarnyam mensertifikatkan hukumnya adalah sunnah selama tidak dikhawatirkan akan terjadi sengketa yang bisa menjadikan tanah wakaf terbengkalai. Apabila ditakutkan akan terjadi masalah di kemudian hari, hukum mensertifikatkan tanah berubah menjadi wajib. 

والحكم في تسجيل الشهادة وكتابتها الندب إلا إذا خيف أو ترتب عليها ضياع حق المحجور أو وقف فيجب كتابة المحضر والإشهاد عليه

Artinya: “Hukum mencatatkan sertifikat adalah sunnah kecuali dikhawatirkan menimbulkan harta orang mahjûr (orang yang tidak boleh bertransaksi menurut kriteria agama) atau pun harta wakaf yang akan menjadi tidak terawat (terbengkalai), maka hukum mensertifikatkan adalah wajib.” (Sayyid Muhammad bin Ahmad, Syarah al-Yâqût an-Nâfîs, [Dârul Minhâj, Beirut, 2007], halaman 894). 

Kalau meninjau fiqih maqashid, setiap pengelola wakaf memang mempunyai kewajiban menjaga dengan sungguh-sungguh atas harta yang di bawah naungan tanggungjawabnya. Sehingga jika dalam menjaga harta itu melalui usaha mensertifikatkan, maka mensertifikatkan tanah wakaf hukumnya wajib. Terlebih lagi apabila kita mengacu dunia seperti sekarang, banyak ahli waris yang gelap mata, lupa daratan, berani menyerobot wakaf orang tuanya, maka mensertifikatkan tentu bisa menjadi wajib. 

Sedikit berbeda, sebagian pakar fiqih Indonesia memandang bahwa mencatatkan sertifikat hukumnya fardlu kifayah mengingat potensi perselisihan yang besar sedangkan sertifikat dapat menghindarkan perseteruan. Hal itu disamakan dengan dalil bahwa semua transaksi keuangan harus dicatat, termasuk jual beli, pernikahan, perceraian, maupun tentang ikrar apapun, semuanya penting untuk dicatat. (Lihat: Raudlatuth Thâlibin, 11:276)

Kedua, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab terhadap proses pensertifikatan tanah wakaf  di Indonesia menurut aturan baku syara’?

Yang paling bertanggungjawab terhadap proses pensertifikatan adalah nadzir (pengelola). Karena dialah yang berkewajiban menjaga barang yang diwakafkan sebagaimana yang diungkapkan banyak ulama. Di antaranya dalam kitab Asnal Mathâlib berikut ini: 

ـ (فرع وعلى الناظر العمارة ، والإجارة وجمع الغلة وحفظها) وحفظ الأصول كما صرح به الأصل

Artinya: “Cabang masalah. Bagi nâdzir wajib memakmurkan harta wakaf (tidak membiarkan begitu saja), menyewakan, mengumpulkan keuntungan dan menjaganya. Begitu pula harus menjaga harta pokoknya sebagaimana sudah dijelaskan pada kitab asal (Raudlatuh Thâlib).” (Zakariya al-Anshâri-Zainuddin Abu Yahya As Saniki, Asnal Mathâlib, Dârul Kutub al-Islâmî, juz 2, halaman 471). 

Sekarang sudah semakin terang, bagaimana hukum mensertifikatkan, siapa penanggungjawab yang harus bergerak. Lalu, ketiga uang dari mana biaya pensertifikatan itu berasal? Bolehkah diambilkan dari zakat yang dikumpulkan kepada LAZIS (lembaga amil zakat infak dan shadaqah), misalnya? 

Hukum menggunakan dana zakat untuk pensertifikatan tanah wakaf adalah tidak boleh menurut konsensus empat ulama mujtahid (ittifaq madzahib al-arba’ah). 

أما بناء المساجد والمدارس من اموال الزكاة لا يجوز وهذا ما أجمع عليه الأئمة الأربعة

Artinya: “Adapun membangun masjid-masjid, sekolahan dari harta-harta zakat hukumnya tidak boleh. Hal ini berdasarkan atas kesepakatan imam madzhab empat.” (Sayyid Muhammad bin Ahmad, Syarah al-Yâqût an-Nâfîs, [Dârul Minhâj, Beirut, 2007], halaman 290). 

Kalau ambil dari harta zakat tidak boleh, ambilnya dari mana? 

Biaya sertifikat dapat diambilkan dari sumber yang telah ditunjuk oleh orang yang mewakafkan saat dia mewakafkan hartanya. Misal, “saya ini mewakafkan tanah saya untuk masjid, namun nanti biaya sertifikat diambilkan dari hasil penjualan kayu dari pohon yang ada di atasnya.” 

Atau jika waqif tidak mengatakan apa-apa, bisa diambilkan dari hasil untung usaha yang dikembangkan dari harta wakaf itu sendiri. Opsi berikutnya adalah baitul mâl, atau dimintakan orang-orang kaya sekitar. 

نفقة الوقف من حيث شرط الواقف لانه لما اتبع شرطه في سبيله وجب اتباع شرطه في نفقته، فإن لم يمكن فمن غلته، لان الوقف اقتضى تحبيس أصله وتسبيل منفعته، ولا يحصل ذلك الا بالانفاق عليه، فكان ذلك من ضرورته، وان تعطلت منافع الحيوان الموقوف فنفقتهن على الموقوف عليه لانه ملكه، ويحتمل وجوبها في بيت المال، والله تعالى أعلم بالصواب.

Artinya: “Biaya wakaf diambilkan dari syarat yang diajukan oleh orang yang mewakafkan. Sebab wakaf harus mengikuti kemauan orang mewakafkan dalam hal biaya operasionalnya. Jika tidak memungkinkan maka diambilkan dari keuntungan harta wakaf. Sebab harta wakaf itu harta yang asli tidak boleh bergerak, namun asas manfaatnya bisa dikembangkan. Hal itu tidak akan berhasil kecuali dengan memutarkan bisnis pada harta wakaf tersebut. Sebab proses demikian menjadi sebuah keterdesakan. Apabila misalnya orang menerima wakaf hewan yang sudah tidak produktif, maka biayanya dibebankan pada orang yang menerima wakaf itu, karena hewan tersebut menjadi miliknya. Jika tidak memungkinkan bisa jadi biayanya dibebankan kepada baitul mâl.” (Imam Nawawi, Al-Majmu’, Syarah al-Muhaddzab, [Dârul Fikr], juz 15, halaman 366). Wallâhu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar