Senin, 30 September 2019

KH As’ad Syamsul Arifin, Mengomando Santri hingga Preman


PAHLAWAN NASIONAL NU
KH As’ad Syamsul Arifin, Mengomando Santri hingga Preman

“Perang itu harus niat menegakkan agama dan ‘arebbuk negere’ (merebut negara), jangan hanya ‘arebbuk negere! Kalau hanya ‘arebbuk negere’, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!”

Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) kepada pasukan santri (Hizbullah dan Sabilillah) dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman, brandal, bajingan, dan jawara (Pelopor) untuk melawan penjajah Belanda.

Pernyataan yang dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional (2016) tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda di wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air seiring dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi perjuangan yang lengkap.

Kiai As’ad memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu kanuragan dan bela diri, serta cukup menguasai ilmu militer. Selain menggerakkan para santri, Kiai As’ad juga cerdik dalam mengomando para bandit agar membantu perjuangan para santri mengawal kemerdekaan Indonesia.

Kemampuan Kiai As’ad dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan (2003) yang dikutip Munawir Aziz. Kiai yang lahir di daerah Syi’in Ali, Makkah dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah ini mengumpulkan para bandit dan jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor.

Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin.

Kala itu, Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri.

Barisan Pelopor dan pasukan santri menggunakan taktik ‘serang dan lari’. Strategi ini dilakukan oleh para santri yang tergabung dalam berbagai laskar hingga negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada Desember 1949. Padahal, sejak empat tahun sebelumnya pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memprokalmirkan kemerdekaannya. Tetapi, perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak kalah beratnya.

Kharismanya di mata para preman dan jawara menyisakan cerita unik. Saat itu Kiai As’ad agak resah soal sering hilangnya sandal para jamaah ketika sedang melakukan shalat Jumat. Setelah mengumpulkan para preman tersebut, Kiai As’ad meminta tolong agar sandal jamaah dijaga. Dedengkot preman sendiko dawuh terhadap permintaan Kiai As'ad.

Namun, si dedengkot preman tersebut makin hari berpikir untuk memerintahkan anak buahnya menjaga sandal. Sementara ia juga ingin melaksanakan shalat sehingga sandal dia pun ikut terjaga. Makin hari, keinginan para preman melaksanakan shalat Jumat semakin tinggi sehingga akhirnya mereka semua melaksanakan shalat melalui washilah menjaga sandal yang diperintahkan Kiai As’ad.

Atas peran penting Kiai As’ad Syamsul Arifin dalam berjuang melawan Belanda dan mempertahankan kemderdekaan itu, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada tahun 2017. Secara umum, gelar pahlawan para kiai merupakan supremasi perjuangan santri dan seluruh rakyat Indonesia.

Peran Kiai As’ad dalam Pendirian NU

Hasil dari istikharah Mbah Hasyim dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin, kiai yang juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.

Dari petunjuk tersebut, Mbah As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Mbah As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 72) 

Hal ini merupakan bentuk komitmen dan ta’dzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.

Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.

Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.

Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.

Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar