Bolehkah Imam atau Khatib
Jumat dari Kampung Lain?
Di sebagian tempat, imam atau khatib Jumat
dilakukan oleh orang yang bukan dari kampung setempat, namun dari kampung lain.
Faktor yang melatarbelakanginya beragam, ada yang karena keterbatasan
imam/khatib di daerah pelaksanaan Jumat, meratakan jatah, mengambil keberkahan
dengan yang lebih senior, dan lain sebagainya. Bolehkah imam/khatib Jumat
berasal dari kampung lain?
Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i,
tidak ada aturan imam/khatib Jumat berasal dari kampung setempat. Yang menjadi
prinsip adalah keberadaan imam/khatib adalah orang yang sah menjadi imam
shalat, sebagaimana berlaku dalam shalat-shalat selain Jumat. Sehingga boleh
bertindak sebagai imam/khatib Jumat, anak kecil, hamba sahaya dan musafir. Demikian
pula boleh dari orang yang berdomisili sementara di tempat Jumat (muqim ghairu
mustauthin).
Kebolehan imam/khatib Jumat dari luar kampung
setempat disyaratkan jumlah jamaah Jumat sudah memenuhi standar minimal 40
orang yang mengesahkan Jumat, tanpa menghitung imam/khatib. Sehingga tidak sah
bila jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat hanya 39 orang, sementara imam/khatib
dari luar kampung pelaksanaan Jumat, sebab keberadaannya tidak dapat
mengesahkan Jumat.
Karena prinsipnya adalah sebagaimana imam shalat,
maka menjadi tidak sah imam/khatib dari orang gila, non muslim dan orang yang
shalatnya wajib diulang (seperti shalat dengan tayamum di tempat yang umumnya
ditemukan air). Demikian pula tidak sah menjadi imam/khatib, seseorang yang
tidak fasih membaca surat al-Fatihah dan dia teledor dalam belajar, kecuali
bila tidak teledor, maka tetap sah.
Bila melihat kepada pertimbangan keutamaan,
hendaknya imam/khatib Jumat berasal dari kampung setempat (muqim mustauthin).
Sebab ada sebagian pendapat dari mazhab Syafi’i yang tidak mengesahkan
imam/khatib dari luar kampung pelaksanaan Jumat. Menurut pendapat ini,
imam/khatib disyaratkan harus orang yang dapat mengesahkan Jumat, yaitu muqim
mustauthin (orang muqim yang permanen). Oleh sebab itu, dianjurkan untuk keluar
dari ikhtilaf ini, sebagai bentuk dari pengamalan kaidah fiqh:
الخروج
من الخلاف مستحب
“Keluar dari ikhtilaf Ulama disunahkan.”
Penjelasan di atas merujuk kepada beberapa
referensi sebagai berikut:
ـ
(وتصح) الجمعة (خلف
العبد والصبي والمسافر في الأظهر) أي خلف كل منهم (إذا تم العدد بغيره) لصحتها
منهم كما في سائر الصلوات وإن لم تلزمهم والعدد قد وجد بصفة الكمال وجمعة الإمام
صحيحة والاقتداء بمن لا تجب عليه تلك الصلاة فيها جائز
“Sah Jumat di belakang imam hamba, anak kecil
dan musafir menurut pendapat al-Azhhar. Hal ini bila bilangan Jumat sempurna
dengan selain imam, sebab Jumat sah dari mereka sebagaimana dalam shalat-shalat
yang lain, meski mereka tidak berkewajiban Jumat. Bilangan Jumat telah wujud
dengan sifat sempurna, Jumatnya imam sah. Bermakmum kepada orang yang tidak
wajib melaksanakan Jumat adalah boleh.”
والثاني لا
تصح لأن الإمام ركن في صحة هذه الصلاة فاشترط فيه الكمال كالأربعين بل أولى إلى أن
قال أما إذا تم العدد بواحد ممن ذكر فلا تصح جزما
“Menurut pendapat kedua, tidak sah, sebab
Imam adalah rukun dalam keabsahan shalat Jumat ini, maka disyaratkan sempurna
seperti 40 Jamaah, bahkan lebih utama. Adapun bila jumlah jamaah Jumat sempurna
dengan jenis imam yang telah disebutkan, maka Jumat tidak sah tanpa ada
perbedaan pendapat.” (Syekh al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1,
hal. 284).
Referensi yang berkaitan dengan khatib adalah
sebagai berikut:
وسادسها
تقدم خطبتين على الصلاة للاتباع رواه الشيخان ممن تصح خلفه الجمعة ولو صبيا زاد
على الأربعين بخلاف من لا تصح خلفه كمجنون وصبي من الأربعين وكافر
“Syarat yang keenam, mendahuluinya dua
khutbah atas shalat Jumat, karena mengikuti Nabi, sebagaimana hadits riwayat
Imam al-Bukhari dan Muslim. Khutbah disyaratkan dari orang yang sah menjadi
imam Jumat, meski anak kecil yang melebihi dari empat puluh jamaah. Berbeda
orang yang tidak sah menjadi imam Jumat, seperti orang gila, anak kecil yang
merupakan bagian dari empap puluh Jamaah dan non muslim.” (Syekh Zakariyya al-Anshari,
Syarh al-Tahrir, juz 1, hal. 264).
Mengomentari referensi di atas, Syekh
al-Syarqawi mengatakan:
ـ
(قوله ممن تصح خلفه) أي
صادرتين ممن تصح إلخ وهذا يفيد اعتبار كونه ممن لا تلزمه الإعادة كمتيمم على وجه
لا يسقط تيممه الصلاة وكونه غير أمي قصر في التعلم فإن لم يقصر فيه صحت خطبته لصحة
الصلاة خلفه وعده من الأربعين
“Ucapan Syekh Zakariyya, dari orang yang sah
menjadi imam Jumat, ini memberi kesimpulan pensyaratan khatib dari orang yang
tidak berkewajiban mengulang shalatnya seperti orang tayamum dalam kondisi yang
tayamumnya tidak menggugurkan shalat, dan pensyaratan khatib bukan dari ummi
(orang yang tidak fasih membaca al-Fatihah) yang teledor dalam belajar. Bila ia
tidak teledor dalam belajar, maka sah khutbahnya, sebab sah bermakmum dengannya
dan ia tergolong dari empat puluh jamaah Jumat.” (Syekh Abdullah bin Hijazi
al-Syarqawi, Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir, juz 1, hal. 264).
Demikian penjelasan mengenai imam/khatib
Jumat dari kampung lain. Semoga bermanfaat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar