Kamis, 19 September 2019

(Hikmah of the Day) Ketika Imam at-Thabari Sedih atas Rendahnya Minat Baca


Ketika Imam at-Thabari Sedih atas Rendahnya Minat Baca

Dalam kitab Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, Imam Tajuddin Abdul Wahhab al-Subki mencantumkan sebuah riwayat gundahnya Imam at-Thabari tentang rendahnya minat baca. Berikut riwayatnya:

وروى أَن أَبَا جَعْفَر قَالَ لأَصْحَابه: أتنشطون لتفسير الْقُرْآن قَالُوا كم يكون قدره فَقَالَ ثَلَاثُونَ ألف ورقة فَقَالُوا هَذَا مِمَّا تفنى الْأَعْمَار قبل تَمَامه, فَاخْتَصَرَهُ فى نَحْو ثَلَاثَة آلَاف ورقة
ثمَّ قَالَ: هَل تنشطون لتاريخ الْعَالم من آدم إِلَى وقتنا هَذَا, قَالُوا كم قدره, فَذكر نَحوا مِمَّا ذكره فى التَّفْسِير, فأجوبوه بِمثل ذَلِك فَقَالَ إِنَّا لله مَاتَت الهمم فَاخْتَصَرَهُ فى نَحْو مَا اختصر التَّفْسِير

Diriwayatkan bahwa Abu Ja’far (at-Thabari) berkata pada teman-temannya: “Apakah kalian senang (mempelajari) tafsir Al-Qur’an?” Mereka menjawab: “Berapa (lembar) kira-kira (tebal)nya?” Abu Ja’far berkata: “Tiga puluh ribu lembar.” Mereka berkata: “Ini akan mengabiskan usia sebelum selesai (membaca)nya.” Maka Abu Ja’far meringkas kitab tafsirnya sekitar tiga ribu lembar saja.

Kemudian ia bertanya (lagi): “Apakah kalian senang (mempelajari) sejarah dunia dari mulai Adam sampai masa kita sekarang ini?”  Mereka menjawab: “Berapa (lembar) kira-kira (tebal)nya?” Abu Ja’far menyebut hampir sama dengan kitab tafsir tadi. Maka jawaban mereka sama persis dengan pertanyaan pertama. Kemudian Abu Ja’far berkata: “Innâ lillâhi, semangat (benar-benar) telah mati.” Maka at-Thabari meringkas kitab sejarahnya sesuai dengan (jumlah halaman) kitab tafsirnya. (Imam Tajuddin al-Subki, Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt, juz 3, h. 123)

****

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari (224-310 H) adalah seorang mujathid (pendiri mazhab Jariri), mufassir, muhaddits, sejarahwan, ahli fiqih dan cukup menguasai ilmu kedokteran. Ia menulis banyak kitab, sebut saja Tahdzîb al-Atsâr, al-Tabshîrah fî Ma’âlim al-Dîn, Ikhtilâf al-‘Ulamâ’ al-Amshâr fî Ahkâm Syarâ’i’ al-Islâm, al-Fashl bain al-Qirâ’ât, Sharîh al-Sunnah, dan lain sebagainya. 

Di antara kitab-kitabnya, yang paling terkenal adalah Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk (Tarîkh at-Thabari, kitab sejarah) dan Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân (Tafsîr at-Thabari, kitab tafsir). Dua kitab inilah yang ditanyakan Imam at-Thabari kepada teman-temannya, tapi jawaban mereka membuatnya mengernyitkan dahi. Hal pertama yang mereka tanyakan adalah seberapa tebal dua kitab itu, bukan pertanyaan ‘seperti apa isinya’, ‘bagaimana metodologi penyusunannya’, atau ‘kenapa penting membacanya’. Tentu saja jawaban mereka membuat Imam at-Thabari kecewa, sampai ia mengatakan, “innâ lillâhi! mâtat al-himam—sungguh kita adalah milik Allah! Semangat benar-benar telah hilang.” Akhirnya, ia memutuskan untuk meringkas dua kitab itu, dan ringkasan itulah yang sampai pada kita sekarang ini.

Bayangkan saja, jika Imam at-Thabari tidak meringkas dua kitab itu, kita akan disuguhi data yang kaya dan melimpah. Wawasan kita tentang tafsir akan bertambah. Informasi kita tentang sejarah akan semakin luas. Kitab yang sampai kepada kita sekarang ini hanya sepuluh persennya saja, tiga ribu lembar dari tiga puluh ribu. Memang sih, tiga ribu halaman sudah cukup berat untuk dibaca, bahkan mungkin kita tidak pernah membacanya sama sekali.

Apalagi sekarang ini, kita berada di masa yang membingungkan. Maksudnya, minat komentar kita lebih besar dari minat baca kita; minat share kita lebih tinggi dari minat meneliti kita; minat menghakimi kita lebih unggul dari minat memahami kita. Jadi, ya ada hikmahnya juga sih Imam at-Thabari meringkas kitabnya, jika tidak, mungkin puluhan ribu halaman itu sekadar tulisan yang tak pernah bertemu mata. Bisa jadi hanya menjadi beban penerbit karena biaya yang dikeluarkan terlalu besar untuk mencetaknya.

Tentunya kita semua tahu, menuntut ilmu hukumnya wajib, dan membaca adalah pintu masuknya. Banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menekankan ini. Rasulullah bersabda (HR. Imam al-Bukhari dan Imam al-Muslim):

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ  أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

“Barangsiapa yang menginginkan (hal-hal yang berkaitan) dunia, maka ia harus (menguasai) ilmu(nya). Barangsiapa yang menginginkan (hal-hal yang berkaitan) akhirat, maka ia harus (menguasai) ilmu(nya). Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka ia harus (menguasai) ilmu(nya).”

Maka dari itu, kita harus mulai menggemarkan diri membaca. Dengan membaca, kita diakrabkan dengan banyak pikiran, sudut pandang dan wawasan. Rene Descrates berkata, “The reading of all good books is like a conversation with the finest minds of past centuries—membaca buku-buku bagus seperti berbincang dengan pikiran terbaik dari masa lalu.” Sebab, dalam buku terdapat banyak misteri, seperti berpetualang dalam hutan, setiap kali kita memasukinya, setiap kali itu pula kita menemukan fenomena baru, pengalaman baru, tempat baru dan suasana baru. Imam al-Muzani mengatakan:

قرأت كتاب الرسالة للشافعي خمسمائة مرة، ما من مرة منها إلا واستفدت فائدة جديدة لم أستفدها في الأخرى

“Aku sudah membaca kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i lima ratus kali, setiap kali membacanya, aku menemukan faidah baru (ilmu baru) yang tidak kutemukan (di saat membacanya) di waktu lain.” (Syekh Abdul Halim al-Jundi, Imâm al-Syâfi’i: Nâshir al-Sunnah wa Wâdli’ al-Ushûl, Kairo: Darul Ma’arif, tt, h. 195)

Dengan banyak membaca buku, dan menelaah isinya dengan sungguh-sungguh, kita sedang melakukan proses pendewasaan pikiran, perspektif dan wawasan. Buku adalah pintu masuk pengetahuan sekaligus pintu keluar pengalaman. Artinya, memilih bacaan tak kalah pentingnya dari membaca. Jika sekadar membaca, orang-orang sudah melakukannya dengan membaca status di media sosial dan membuat status agar dibaca orang. 

Karena itu, kita perlu belajar pada Malcolm X, seorang pelaku kriminal yang tidak berpendidikan. Ia, tiba-tiba saja, berubah menjadi orator ulung, ahli diskusi luar biasa, dan intelektual mumpuni. Ia menjadi tokoh Islam yang berpengaruh karena kegemarannya membaca dan belajar. Ia mengatakan, “My alma mater was books, a good library. I could spend the rest of my life reading, just satisfying my curiosity—almamaterku adalah buku, (dan) perpustakaan yang bagus. Aku bisa menghabiskan sisi hidupku membaca, hanya untuk memuaskan keingin-tahuanku.” Jadi, tunggu apa lagi, ayo membaca!

Wallahu a’lam. []

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar