PAHLAWAN NASIONAL NU
Saat KH Zainul Arifin
Menggagas Rukun Tetangga
Kekuatan rakyat
menjadi tonggak keberhasilan bangsa Indonesia, baik ketika berjuang melawan
penjajah maupun saat berupaya mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu
lewat agresi militer Belanda II. Bagaikan singa yang sedang tidur, sejumlah
tokoh nasionalis dan ulama menggerakkan dan mengonsolidasikan kekuatan rakyat.
Kalangan pesantrena
menilai bahwa rakyat Indonesia perlu disadarkan kekuatan ketika mampu bersatu
demi bangsa dan negara Indonesia. Untuk tujuan ini, pesantren tidak hanya
menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi basis perjuangan rakyat
dengan menjadi ruang dan wadah pergerakan nasional.
Pesantren yang tidak
pernah melepaskan diri dari akar sosial masyarakatnya, juga berupaya
menggerakkan rakyat untuk berjuang menumpas penjajah. Para ulama pesantren
seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Casbullah, dan ulama lain-lain menginginkan
perjuangan yang dilandasi keyakinan terhadap Allah juga rasa cinta tanah air
yang tinggi.
Terkait
pengonsolidasian rakyat ini, salah seorang tokoh NU, panglima santri dalam
barisan Hizbullah dan Sabilillah KH Zainul Arifin Pohan menggagas sistem Rukun
Tetangga atau RT, struktur terkecil dalam sebuah pemerintahan yang hingga kini
masih dipraktikkan.
Namun, bangsawan
Barus bermarga Pohan yang lahir pada 2 September 1909 ini berupaya membentuk
ruang harmonis komunikasi warga sehingga konsolidasi perjuangan berjalan secara
sistematis.
Pencetusan sistem RT
yang dilakukan oleh Kiai Zainul Arifin ini berawal ketika pendudukan Jepang
datang ke Indonesia. Dalam catatan Munawir Aziz (Pahlawan Santri: Tulang
Punggung Pergerakan Nasional, 2016), ketika Jepang masuk ke Indonesia, strategi
politik ormas Islam berubah haluan.
Jika dengan Belanda,
posisi ormas Islam berseberangan dengan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi
Jepang (Nippon) menggunakan strategi berbeda dengan mendekati pemimpin-pemimpin
ormas Islam. Terutama mendekati NU, ormas Islam yang dikenal paling menentang
keberadaan penjajah di Indonesia.
Jepang mengajak ormas
Islam sebagai bagian dari pendukung Nippon, sebagai saudara tua di Asia. Hal
itu dilakukan oleh Jepang untuk mencengkeram kawasan Asia, terutama kawasan
Asia Tenggara dalam perang melawan sekutu. Di bawah kendali Jepang, terjadi
perombakan struktur politik serta ritme organisasi Islam.
Kala itu, KH Zainul
Arifin mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi). Ketika itu Jepang memberikan kewenangan organisasi Islam untuk
melebarkan sayap dan lebih aktif dalam pemerintahan. Akhirnya, Kiai Zainul
Arifin mengusulkan pembentukan tonarigumi, cikal bakal rukun tetangga.
Pada awalnya
tonarigumi dibentuk di Jatinegara, Jakarta Timur. Kemudian berupaya diadopsi ke
sebagian besar desa di wilayah Jawa. Dalam hal ini, Kiai Zainul Arifin dengan
jeli melihat pentingnya sistem komunikasi warga setingkat RT. Dengan demikian,
kultur dan hubungan komunikasi antar-warga terjaga dengan baik untuk kebutuhan
pergerakan nasional lebih lanjut.
Perjuangan Kiai
Zainul Arifin tak hanya mahir dalam memimpin barisan santri dan
mengonsolidasikan perjuangan rakyat, tetapi juga mengajak para ulama untuk
terus bekerja keras di jalur perjuangan.
Ario Helmy penulis
buku KH Zainul Arifin, Panglima Santri: Ikhlas Membangun Negeri (2015) dalam
artikel Tokoh NU KH Zainul Arifin dan Kemerdekaan Indonesia mengungkapkan, pada
Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 ulama, 30 Juli 1944 Kiai Zainul Arifin
menggugah para ulama untuk ikut berjuang. Seruannya itu dimuat dalam Harian
Sinar Baroe 1944 p.3:
"Tanah Jawa
adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam,
sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan
Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu, kedudukan kaum ulama bertambah penting.
Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa."
Selang sebulan
setengah sesudah pidato Zainul semakin bergelora menyeru umat Islam untuk
menuntut dan mempertahankan kemerdekaan.
Hal ini
disampaikannya dalam rapat membahas pembentukan Laskar Hizbullah yang
diselenggarakan Masyumi. Serunya dalam Rapat Umum Umat Islam 13 September 1944
di Taman Raden Saleh, Jakarta tersebut:
"Soal
kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi
adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup
harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan, kalau perlu dengan jiwa
raganya." (Harian Tjahaja, 15 September 1944, p.1).
Selanjutnya dalam
Rapat Masyumi di Banten, 15 Januari 1945 Arifin menyasar generasi muda agar
mempersiapkan diri menuju kemerdekaan:
"Hanya dengan
adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat
tercapai." (Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)
KH Zainul Arifin
Pohan merupakan putra tunggal dari pasangan keturunan Raja Barus, Sultan Ramali
bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan bangsawan asal Kotanopan,
Mandailing Natal, Siti Baiyah br. Nasution. Zainul Arifin lahir di Barus,
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar