Fiqih Niaga Ekspor-Impor:
Mengaitkan Letter of Credit dengan Akad Istishna’
Letter of Credit (L/C) diartikan sebagai
sebuah dokumen yang berisi perintah dari importir melalui bank perantara
ekspor-impor kepada eksportir agar mengusahakan barang yang dipesannya
sebagaimana telah disepakati dalam kontrak ekspor-impor oleh kedua belah pihak.
Dengan memaknai L/C ini sebagai dokumen perintah importir kepada eksportir,
maka harapannya adalah akad ekspor-impor ini bisa dimasukkan ke dalam rumpun
kelompok akad istishna’.
Untuk bisa dimasukkan ke dalam rumpun akad
istishna’, tentu terdapat sejumlah syarat dan ketentuan yang musti dipatuhi
oleh importir dan eksportir agar akad keduanya sah secara syariat. Untuk itu
perlu dilakukan kajian pemetaan unsur yang terlibat dalam L/C secara terperinci
untuk keperluan itu.
Pertama kali, kita perlu mendefinisikan
terlebih dahulu apa itu istishna’. Istishna secara syara’ didefinisikan
sebagai:
طلب
العمل منه (الصانع) في شيئ خاص على وجه مخصوص
Artinya: “Permintaan melakukan suatu
pekerjaan khusus kepada produsen berdasar kriteria tertentu.” (Ibnu Abidin,
Hasyiyah Ibnu Abidin, Kairo: Thab'at al Halaby, tt., juz 5, halaman 223)
Pemakaian istilah “pekerjaan tertentu” ini
maksudnya adalah pekerjaan yang sifatnya terikat bagi shâni’ (produsen) dan
menjadi kewajiban mewujudkannya. Adapun maksud dari “kriteria” di sini adalah
bahwa barang yang dipesan untuk dirakitkan sudah ditentukan sifatnya.
Oleh karena akad istishna’ ini sifatnya
adalah pesan merakitkan yang wajib dilakukan oleh produsen, maka sifat
penebusan barang tersebut hukumnya juga menjadi wajib. Karena sifat wajibnya
penebusan ini, maka istishna’ juga dikategorikan sebagai akad jual beli dalam
tanggungan (بيع في الذمة) antara “pemesan jasa rakitan” dengan “produsen yang merakit”
terhadap “produk rakitannya.”
Dalam teks Pernyataan Standart Akuntansi
Keuangan (PSAK) 103 yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, istishna’ didefinisikan
sebagai akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli,
mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’)”.
Selanjutnya di dalam PSAK 103 itu juga disebutkan
adanya istilah istishna’ paralel. Istishna paralel adalah suatu bentuk akad
Istishna’ antara pemesan (pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’),
kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual memerlukan
pihak lain sebagai shani’.
Pembiayaan yang dilibatkan dalam akad
istishna ini adalah penyediaan dana dari Bank kepada nasabah untuk membeli
barang sesuai dengan pesanan nasabah yang menegaskan harga belinya kepada
pembeli (nasabah) dan pembeli (nasabah) membayarnya dengan harga yang lebih
sebagai keuntungan Bank yang disepakati.
Sebagai ilustrasi sederhana tentang akad
istishna’ ini adalah pemesanan seseorang kepada produsen komputer untuk
dirakitkan sebuah PC Komputer dengan spesifikasi tertentu. Setelah komputer
selesai dirakit maka wajib bagi pemesan untuk membeli PC tersebut. Penting
untuk diperhatikan adalah, kewajiban bersifat melekat (mu’allaq) saat barang
yang dipesan sudah selesai dirakit oleh pihak shani’(produsen). Jika barang
sebelum diterima kemudian terjadi kerusakan pada PC, maka barang sepenuhnya
masih menjadi tanggung jawab shani’.
Karena akad istishna’ ini sifatnya
adalah pesan merakitkan, maka akad lebih cocok digunakan pada sektor manufaktur
atau konstruksi. Sesuai dengan keterangan dari PSAK 103 di atas, bahwa akad
istishna’ kadang disebut juga sebagai istisna’ paralel. Contoh sederhana
ilustrasi istishna’ paralel adalah akad antara Bank Syariah dengan nasabah
untuk pembuatan ruko dengan syarat dan kriteria disepakati keduanya. Karena
bank syariah tidak mungkin mendirikan ruko sendiri, maka ia memesan kepada
kontraktor.Relasi antara bank syariah dengan kontraktor ini adalah relasi
antara shani’ dan mustashni’ kedua setelah sebelumnya terjadi relasi antara
shani’ (bank) dengan mustashni’ pertama (nasabah). Inilah gambaran istishna’
paralel.
Dalam dunia ekspor-impor akad istishna’
diperankan dengan jalan nasabah importir melakukan perjanjian kontrak dengan
Bank untuk ekspor-impor. Sasaran eksponen eksportir - yang sudah menjalin
kontrak jual beli dengan importir - turut disertakan dalam pengajuan akad
pembiayaan impor antara importir dengan bank. Selanjutnya bank menerbitkan
letter of credit. Dengan demikian kedudukan bank selaku shani’ ini menempati
posisi issuing bank.
Jalinan akad antara importir dan bank syariah
ini disebut dengan akad istishna’. Jika barang sudah berhasil diusahakan oleh
bank, maka importir wajib membeli. Sampai di sini, maka peran ganda bank adalah
selaku shani’ dan sekaligus menjadi mustashni’. Selaku shani’ karena menimbang
posisinya dalam relasi importir dan bank. Dan bank selaku mustashni’ karena
menimbang relasinya dengan bank koresponden untuk menghubungi eksportir akan
terbitnya letter of credit atas nama importir yang ditujukan kepada eksportir.
Sampai di sini maka kedudukan bank koresponden yang merupakan bank notifikasi
dan sekaligus advising bank dalam akad istishna’ adalah “wakil” dari mustashni’
kedua (issuing bank). Relasi korespondensi antara issuing bank dan notifying
bankmasuk akad wakâlah.
Karena notifying bank merupakan wakil dari
issuing bank, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan mustashni’
kedua (issuing bank). Dengan demikian, sifat qabdlu-nya notifying bank sudah
mampu untuk dikategorikan transfer of risk (transfer risiko) dari eksportir ke
notifying bank atau bahkan issuing bank.
Jika konsep menjadikan notifying dan issuing
bank ini masuk dalam relasi akad wakâlah bisa diterima, maka imbasnya terhadap
status kepemilikan risiko akan berubah menjadi sebagai berikut:
1. Karena sudah terjadi transfer of risk dari
eksportir ke notifying bank, maka barang sudah menjadi hak milik issuing
bank.
2. Bilamana terjadi kecelakaan laut yang
menenggelamkan kapal cargo, atau misalnya terjadi perompakan di laut sehingga
menyebabkan barang menjadi hilang, maka risiko kehilangan adalah sudah menjadi
beban tanggung jawab issuing bank.
3. Adapun peran importir, karena ia belum
melakukan qabdlu terhadap barang, maka importir belum dapat dikenai
risiko.
Jadi, dengan mencermati sisi relasi
eksportir-notifying bank – issuing bank dan importir dengan akad istishna’ ini,
maka kesimpulan akhir dari status kepemilikan barang saat sudah lepas dari port
/ pelabuhan adalah ‘barang sepenuhnya sudah menjadi milik issuing bank (bank
mitra importir yang menerbitkan L/C karena sudah terjadi transfer of risk
antara eksportir dengan notifying bank.’
Insersi akad istishna’ ke dalam ekspor-impor
ternyata menghadapi masalah fiqih yang lain. Apa itu? Masalah klasik yang
disebut sebagai bai’un wa salafun (jual beli dan pesan) yang digabung menjadi
satu. Bagaimana penyelesaiannya? Mungkin akan disampaikan dalam kesempatan
tulisan lain, insyaallah. Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar