Mengenal Bagian Ashabah
dalam Warisan: Definisi dan Macamnya
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam
mendapatkan harta warisan seorang ahli waris bisa melalui salah satu dari dua
cara, yakni dengan menjadi dzawil furudl yang mendapatkan bagian pasti
sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an dan dengan menjadi ashabah
untuk mendapatkan bagian sisa.
Di dalam ilmu faraidl (warisan) definisi
ashabah sebagaimana disampaikan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab al-Mu’tamad
adalah:
كل
وارث ليس له سهم مقدر ويأخذ كل المال اذا انفرد ويأخذ الباقي بعد أصحاب الفروض
Artinya: “Setiap ahli waris yang tidak
memiliki bagian yang telah ditentukan, ia mengambil semua harta waris bila ia
seorang diri dan mengambil sisa harta waris setelah sebelumnya diambil oleh
orang-orang yang memiliki bagian pasti.” (Wahbah Az-Zuhaili, al-Mu’tamad fil
Fiqhis Syâfi’i, Damaskus, Darul Qalam, 2011, juz IV, halaman 383)
Disyari’atkannya pengambilan harta waris
dengan ashabah didasarkan pada banyak ayat, hadis dan ijma’ para ulama. Di
antaranya dalam surat An-Nisa ayat 11 Allah berfirman:
وَلِأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Artinya: “Bagi kedua orang tua masing-masing
mendapatkan bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan orang yang meningal
apabila ia memiliki anak. Apabila orang yang meninggal tidak memiliki anak dan
kedua orang tuanya mewarisinya maka bagi ibunya bagian seperttiga.”
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa bila si
mayit memiliki anak maka bapak dan ibu masing-masing mendapat bagian 1/6
sebagaimana dinyatakan ayat tersebut. Namun bila si mayit tidak memiliki anak
sementara yang mewarisi adalah kedua orang tua, maka—sesuai kalimat ayat
tersebut—sang ibu mendapatkan bagian 1/3. Lalu berapa bagian untuk sang bapak?
Ayat tersebut tak menyebutkannya. Lalu untuk siapa sisa harta setelah diambil
1/3 oleh ibu? Dari sini para ulama memahami bahwa sisa harta waris tersebut
adalah bagian sang bapak. Dari sinilah adanya bagian ashabah.
Macam-macam Ashabah
Ada 2 (dua) macam ashabah di dalam ilmu
faraidl, yakni ashabah sababiyah dan ashabah nasabiyah.
Ashabah sababiyah adalah ashabah karena
adanya sebab, yaitu sebab memerdekakan budak. Ketika seorang budak yang telah
dimerdekakan meninggal dunia dan tak memiliki kerabat secara nasab maka sang
tuan yang memerdekakannya bisa mewarisi harta peninggalannya secara ashabah,
sebagai balasan atas kebaikannya yang telah memerdekakan sang budak (Wahbah
Az-Zuhaili, 2011: 385).
Sedangkan ashabah nasabiyah adalah ashabah
karena adanya hubungan nasab dengan si mayit. Mereka yang masuk dalam kategori
ini adalah semua orang laki-laki yang telah disebutkan dalam pembahasan para
penerima waris dari pihak laki-laki selain suami dan saudara laki-laki seibu,
keduanya hanya menerima dari bagian pasti saja (Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji,
Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, halaman 298).
Dengan demikian maka yang termasuk dalam
ashabah nasabiyah adalah bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki
sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-lakinya paman sekandung, dan
anak laki-lakinya paman sebapak. Mereka semua adalah para ahli waris yang bisa
mendapatkan warisan secara ashabah. Meskipun bapak dan kakek terkadang bisa
mengambil warisan melalui bagian pasti.
Macam-macam Ashabah Nasabiyah
Para ulama membagi Ashabah Nasabiyah menjadi
3 (tiga) macam, yakni:
1. Ashabah bin nafsi
2. Ashabah bil ghair
3. Ashabah ma’al ghair
Adapun penjelasan ketiga macam ashabah
tersebut adalah sebagai berikut:
Ashabah bin Nafsi
Ashabah bin nafsi adalah mereka yang memiliki
nasab dengan si mayit tanpa ada unsur perempuan (Musthafa Al-Khin, 2013:299).
Yang termasuk dalam kategori ashabah ini
adalah semua ahli waris laki-laki sebagaimana telah disebut di atas. Sesuai
dengan namanya mereka bisa mendapatkan bagian ashabah dengan sendirinya, bukan
karena dijadikan ashabah oleh ahli waris lain dan juga bukan karena bersamaan
dengan ahli waris yang lain. Kerabat-kerabat sang mayit dari golongan perempuan
(ibu, anak perempuan, cucu perempuan dan sebagainya) dan siapa saja yang
memiliki hubungan nasab dengan si mayit dengan adanya unsur perempuan (seperti
cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari saudara perempuan dan
sebagainya) tidak masuk dalam kategori ashabah bin nafsi, mereka tidak bisa
mendapatkan sisa harta waris dengan sendirinya.
Berikutnya dilihat dari sisi nasab mereka
yang masuk dalam ashabah bin nafsi diklasifikasi dalam 4 (empat) sisi:
1. Sisi keanakan (jihhatul bunuwwah),
terdiri dari anak keturunannya si mayit, seperti anak laki-laki dan cucu
laki-laki dari anak laki-laki, terus kebawah.
2. Sisi kebapakan (jihhatul ubuwwah),
terdiri dari orang tuanya si mayit, seperti bapak dan kakek dari bapak.
3. Sisi kesaudaraan (jihhatul ukhuwwah),
terdiri dari anak keturunan bapaknya si mayit yang hubungan nasabnya dengan si
mayit tidak ada unsur perempuannya, seperti saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, dan
anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
4. Sisi kepamanan (jihhatul ‘umûmah),
terdiri dari keturunan kakeknya si mayit yang berupa orang laki-laki yang hubungan
antaranya dengan si mayit tidak diperantarai unsur perempuan, seperti paman
sekandung, paman sebapak, anak laki-lakinya paman sekandung, dan anak
laki-lakinya paman sebapak.
Dari sekian banyak pihak laki-laki yang masuk
dalam kategori ashabah bin nafsi tentunya tidak semuanya bisa mendapatkan
bagian waris. Sebagaimana pernah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa
apabila semua ahli waris berkumpul maka hanya orang-orang tertentu saja yang
bisa menerima warisan, selainnya terhalang. Begitu pula dengan mereka yang
mendapatkan bagian ashabah, bila semua berkumpul maka sebagiannya terhalang
oleh sebagian yang lain.
Para ulama faraidl membuat beberapa kaidah
untuk menentukan siapa saja para penerima ashabah yang bisa tetap menerima
warisan dan siapa saja yang terhalang menerima warisan bila semua berkumpul.
Dalam kaidah-kaidah tersebut para ulama menjelaskan:
1. Ahli waris ashabah yang masuk pada
kategori yang lebih akhir tidak bisa mendapat warisan bila ia bersamaan dengan
ahli waris ashabah yang masuk pada kategori sebelumnya.
Sebagai contoh, seorang bapak tidak bisa
menerima warisan secara ashabah bila ia bersamaan dengan seorang anak laki-laki
atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ia hanya akan menerima bagian 1/6,
bukan ashabah. Saudara laki-laki sekandung tidak bisa menerima warisan (mahjûb)
bila ia bersamaan dengan bapaknya si mayit. Demikian pula seorang paman
terhalang mendapat warisan (mahjûb) bila ia bersamaan dengan saudara laki-laki.
2. Bila ahli waris ashabah dengan kategori
yang sama berkumpul maka ahli waris yang lebih jauh dari mayit tidak bisa
menerima warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat ke
mayit.
Sebagai contoh kakek terhalang mendapat
warisan bila bersama dengan bapak, cucu laki-laki terhalang bila bersama dengan
anak laki-laki, dan seterusnya.
Dengan kata lain ahli waris yang bernasab ke
mayit melalui perantara tidak bisa menerima warisan bila bersamaan dengan si
perantara tersebut. Pada contoh di atas, seorang cucu laki-laki itu berhubungan
nasab dengan si mayit melalui perantara anak laki-lakinya si mayit, maka sang
cucu terhalang mendapat waris karena bersamaan dengan anak laki-lakinya si
mayit. Seorang kakek berhubungan nasab dengan si mayit melalui perantara
bapaknya si mayit yang juga merupakan anaknya si kakek. Maka ia terhalang
mendapat warisan bila bersamaan dengan bapaknya si mayit yang merupakan
perantara antara dirinya dengan si mayit.
3. Bila ada kesamaan sisi kekerabatan dan
setara pula derajat para ashabah namun berbeda kekuatan kekerabatannya dengan
si mayit, maka ahli waris yang lebih kuat kekerabatannya dengan si mayit lebih
didahulukan dari pada ahli waris yang lebih lemah kekerabatannya dengan si
mayit. Sebagai contoh, saudara laki-laki sekandung lebih kuat kekerabatannya
dengan si mayit dibanding saudara laki-laki sebapak. Karenanya saudara
sekandung lebih didahulukan dari pada saudara laki-laki sebapak. Demikian pula
paman sekandung lebih didahulukan dari pada paman sebapak, dan seterusnya.
4. Bila ada kesamaan para ahli waris dalam sisi
kekerabatan, derajat, dan kekuatan maka semuanya berhak untuk mendapatkan harta
warisan. Harta waris yang ada dibagi sama rata di antara mereka. Seperti ahli
waris yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki, atau terdiri dari empat
orang saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya.
Ashabah bil Ghair
Ashabah bil ghair adalah setiap ahli waris
perempuan yang memiliki bagian pasti bila berbarengan dengan saudara
laki-lakinya maka ahli waris perempuan tersebut menjadi ahli waris ashabah
karena adanya saudara laki-laki tersebut.
Dalam hal ini seorang anak perempuan menjadi
ashabah bila bersamaan dengan anak laki-laki, cucu perempuan menjadi ashabah
bila bersamaan dengan cucu laki-laki, saudara perempuan sekandung menjadi
ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-laki sekandung, dan saudara
perempuan sebapak menjadi ashabah bila besamaan dengan sauadara laki-laki
sebapak.
Dengan demikian maka bisa disimpulkan ada 4
(empat) ahli waris yang masuk dalam kategori ashabah bil ghair di mana
keempatnya adalah ahli waris perempuan yang terdiri dari anak perempuan, cucu
perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara
perempuan sebapak bila masing-masing bersamaan dengan orang yang mengashabahkan
(mu’ashshib)-nya. Bisa dipahami pula keempat ahli waris tersebut adalah
orang-orang perempuan yang mendapatkan bagian pasti 1/2 dan 2/3 bila bersamaan
dengan mu’ashshib-nya.
Hanya saja dalam hal ini ada pengecualiaan
bagi waladul umm. Bahwa saudara perempuan seibu bila bersamaan dengan saudara
laki-laki seibu maka saudara laki-laki seibu tidak bisa menjadikan saudara
perempuan seibu sebagai ashabah. Karena saudara laki-laki seibu bukanlah
termasuk ashabah bin nafsi maka ia tidak bisa mengashabahkan saudara perempuan
seibu. Mesti diingat pula bahwa dalam ilmu faraidl saudara laki-laki seibu dan
saudara perempuan seibu derajatnya adalah sama. Bila keduanya berkumpul tidak
berlaku ketentuan laki-laki mendapat dua bagian perempuan. Karenanya pula dalam
ilmu faraidl kedua ahli waris ini sering disebut dalam satu istilah waladul umm
(anaknya ibu) tanpa membedakan jenis kelamin.
Tentang ashabah bil ghair ini Imam
Muhammad bin Ali Ar-Rahabi menulis:
والأبن
والأخ مع الإناث ... يعصبانهن في الميراث
Artinya:
Anak laki-laki dan saudara laki-laki bersama
para perempuan
Keduanya mengashabahkan mereka dalam warisan
(Muhammad bin Ali Ar-Rahabi, Matnur
Rahabiyyah dalam ar-Rabahiyyatud Dîniyyah, Semarang, Toha Putra,
tanpa tahun, halaman 38)
Penjelasan dari para ulama faraidl di atas
didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya: “Allah berwasiat kepada kalian di
dalam anak-anak kalian bagi anak laki-laki dua bagian anak perempuan.”
Juga firman Allah dalam surat An-Nisa ayat
176:
وَإِنْ
كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya: “Apabila para saudara terdiri dari
laki-laki dan perempuan maka bagi saudara laki-laki dua bagian saudara
perempuan.”
Para ulama menyamakan cucu perempuan dari
anak laki-laki dengan anak perempuan, sedangkan saudara laki-laki dan
perempuan termasuk di dalamnya adalah saudara sekandung dan saudara
sebapak.
Ashabah ma’al Ghair
Ashabah ma’al ghair adalah bagian ashabahnya
saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak bila bersamaan dengan
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
Untuk contoh sebagai berikut:
Contoh 1
Bila seorang meninggal dunia dengan ahli
waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan
sekandung atau sebapak, maka pembagian harta warisnya adalah:
a. Anak perempuan mendapatkan bagian 1/2
karena ia sendirian, tidak lebih dari satu orang dan tidak ada mu’ashshib-nya.
b. Saudara perempuan sekandung atau sebapak
menjadi ashabah, mendapat sisa harta setelah diambil lebih dulu oleh anak
perempuan. Bila saudara perempuan ini lebih dari satu maka harta sisa tersebut
dibagi rata kepada semua saudara perempuan yang ada.
Contoh 2
Bila seorang meninggal dunia dengan ahli
waris 2 orang cucu perempuan dan 3 orang saudara perempuan sekandung atau
sebapak, maka pembagian harta warisnya adalah:
a. 2 orang cucu perempuan mendapat bagian 2/3
karena lebih dari satu orang dan tidak ada mu’ashshib-nya.
b. 3 orang saudara perempuan sekandung atau
sebapak menjadi ashabah, mendapat sisa harta setelah diambil lebih dulu oleh
cucu perempuan di atas. Sisa harta tersebut kemudian dibagi rata kepada 3 orang
saudara perempuan yang ada.
Demikian Musthafa Al-Khin menjelaskan.
Tentang ashabah ma’al ghair ini Imam Muhammad
bin Ali menyatakan:
والأخوات
إن تكن بنات ... فهن معهن معصبات
Artinya:
Saudara-saudara perempuan bila ada anak-anak
perempuan
Mereka bersama anak-anak perempuan menjadi
ashabah
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar