Rabu, 31 Oktober 2018

(Do'a of the Day) 21 Safar 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Zawwadakal lahaut taqwaa, wa ghafara dzanbaka, wa yassara lakal khaira haitsumaa kunta.

Semoga Allah membekalimu dengan taqwa, semoga Dia mengampuni dosamu, dan semoga Dia memudahkan kebaikan kepadamu di mana saja kamu berada.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 11, Bab 4.

Lembaga Survey


(Buku of the Day) Al-Muna, Kitab Terjemah Pegon Nadzam Asmaul Husna Karya Gus Mus


Seri Bedah Kitab Pegon Bagian 1
Al-Muna, Kitab Terjemah Pegon Nadzam Asmaul Husna Karya Gus Mus


Kitab berjudul Al-Muna fi Tarjamah Nadzm al-Asma’ al-Husna karya KH Ahmad Mustofa Bisri, Rembang, ini merupakan kitab terjemah Jawa Pegon atas nadzam Asmaul Husna, yang terkenal dengan sebutan Nailul Muna. Nadzam Nailul Muna, yang dijadikan obyek terjemah dan syarah di dalam kitab Al-Muna, merupakan salah satu wirid (bacaan dzikir yang dilanggengkan) yang disukai oleh KH Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta wallahu yarham. Dahulu, KH Ahmad Mustofa Bisri pernah mendapatkan ijazah wirid Nailul Muna tersebut langsung dari KH Ali Ma’shum, sebagaimana yang diceritakan dalam mukadimah kitab Al-Muna. 

Berikut adalah cuplikan nadzam Nailul Muna:

بِسْمِ الْإِلَهِ وَبِهِ بَدَأْنَا :: وَلَوْ عَبَدْنَا غَيْرَهُ لَشَقَيْنَا
يَا حَبَّذَا رَبًّا وَحَبَّ دِيْنَا :: وَحَبَّذَا مُحَمَّدًا هَادِيْنَا
لَوْلَاهُ مَا كُنَّا وَلَا بَقَيْنَا :: لَوْلَاهُ مَا كُنَّا وَلَا بَقَيْنَا
اَللهُ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا :: وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِيْنَةً عَلَيْنَا :: وَثَبِّتِ الْأَقْدَامَ إِنْ لَقَيْنَا
نَحْنُ الْأُوْلَى جَاؤُكَ مُسْلِمِيْنَ :: نَحْنُ الْأُوْلَى جَاؤُكَ مُسْلِمِيْنَ 

Biasanya, pada waktu dulu, santri-santri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, mewiridkan nadzam berbahasa Arab Asmaul Husna Nailul Muna tersebut setiap bakda shubuh, ketika hendak mengaji kepada KH Ali Ma’shum. Bukan hanya di Pesantren Krapyak saja. Di pesantren-pesantren lain di Indonesia, Nailul Muna acapkali dijadikan wirid harian para santri di beberapa pesantren yang ada di bumi Nusantara. Seperti halnya di Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an, yang didirikan oleh KH Muhammad Arwani Amin Kudus, yang juga pernah mondok di Pesantren Krapyak di bawah asuhan KH Muhammad Munawwir. Nailul Muna juga dijadikan wirid harian para santrinya. Biasanya dibaca secara rutin setelah mendirikan shalat tahajud. 

Ada beberapa pendapat mengenai, siapakah yang menyusun syair-syair indah Asmaul Husna Nailul Muna tersebut. KH Nu’man Thohir Kajen wallahu yarham, Pengasuh Pondok Pesantren Kulon Banon Kajen pernah mendapatkan cerita langsung dari KH Ali Ma’shum Krapyak, bahwa kumpulan nadzam Asmaul Husna Nailul Muna ini digubah oleh Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, ulama besar abad ke 19, alumnus Al-Azhar, yang juga menulis kitab Sa’adat ad-Darain fi ash-Shalawat ‘ala Sayyid al-Kaunain. Ada pula yang mengatakan bahwa yang menciptakan mandzumat Nailul Muna ini adalah kiai-kiai Pondok Tremas Pacitan, Jawa Timur. Mengenai siapa yang menggubah Mandzumat Nailul Muna, di dalam kitab Al-Muna karya KH Ahmad Mustofa Bisri tidak disebutkan secara jelas. Pun, di dalam Mandzumat Nailul Muna yang tersebar dan dipergunakan di pondok-pondok tidak dijelaskan siapakah penulisnya. Agaknya, penyusun Nailul Muna mungkin lebih suka untuk menyembunyikan identitas, untuk menjaga rasa ikhlas di hadapan Allah Sang Maha Welas. Untuk menjaga keikhlasan, sebagain ulama ada yang berprinsip, “Yang penting kitabnya bermanfaat, meskipun pengarangnya tidak diingat-ingat.” 

Masyarakat pesantren percaya bahwa Asmaul Husna, sama halnya dengan wirid-wirid yang lain, memiliki beragam khasiat dan keistimewaan. Apalagi, dalam QS Al-A’raf ayat 180, Allah Swt. menyatakan bahwa Dia memiliki Asmaul Husna atau nama-nama yang maha baik, dan Dia memerintahkan para hamba-Nya agar berdoa memohon kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha baik itu. Perintah Allah Swt. untuk berdoa dengan menggunakan Asmaul Husna itulah yang menjadi landasan munculnya beragam bacaan dzikir Asmaul Husna yang dibalut dengan doa-doa, semacam Nailul Muna. Secara garis besar, kumpulan nadzam Nailul Muna berisi tentang macam-macam tawassul dengan Asmaul Husna, yang memuat berbagai macam pujian, doa-doa, permohonan seorang hamba, mulai dari keselamatan agama, perlindungan dari musuh, hingga kebahagiaan dunia dan akhirat. 

Nailul Muna yang digubah dalam bentuk mandzumat (kumpulan nadzam) indah berbahasa Arab ini, bagi masyarakat Muslim Nusantara yang masih awam, tentu akan sulit dipahami maknanya. Pada umumnya, syair-syair berbahasa Arab yang digubah menjadi nadzam atau qashidah, adalah bentuk-bentuk ungkapan yang dalam bahasa Ilmu Balaghah disebut dengan ijaz, yakni sebuah kalimat yang kata-katanya sedikit namun mengandung makna banyak. Untuk memahami bentuk kalimat ijaz tentu dibutuhkan perangkat ilmu kebahasaaraban yang beragam, yang pada umumnya tidak dimiliki oleh kalangan awam. Oleh karena itu, KH Ahmad Mustofa Bisri tergerak untuk menulis kitab Al-Muna yang merupakan terjemahan Jawa Pegon dari kumpulan nadzam Nailul Muna karya Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani,dengan tujuan supaya umat Islam Indonesia yang tidak memahami bahasa Arab bisa mengetahui maknanya. Ketika seorang hamba membaca wirid atau doa, dan ia paham betul tentang makna yang terkandung di dalamnya, maka akan sangat mudah baginya untuk menghayati, meresapi dan merasakan kandungannya. Dhawuh beliau, KH Ahmad Mustofa Bisri:

كُوْلَا تَطَفُّلْ، نٓرْجٓمَاهَاكٓنْ دَاتٓڠْ بَهَاسَا جَاوِيْ كَانْطِيْ ڤٓڠَاجٓڠْ-ڠَاجٓڠْ سَاڮٓدَا ڤَارَا سٓدَيْرَيْكْ قَوْمْ مُسْلِمِيْنْ إِڠْكَڠْ كِيْرَاڠْ مٓڠُوَاسَاهِيْ لُغَةْ عَرَبِيَّةْ، سَاڮٓدْ فَهَمْ أَرْطَاسِيْڤُوْنْ. سٓلَاجٓڠِيْڤُوْنْ، كَانْطِيْ مٓمَاهَامِيْ أَرْطَوْسِيْڤُوْنْ دُعَاءْ إِڠْكَڠْ دِيْڤُوْنْ وَاهَوْسْ سَاڮٓدْ دِيْڤُوْنْ رَاهَوْسَاكٓنْ وَوْنْتٓنْ إِڠْ مَانَاهْ.

Kitab Al-Muna karya KH Ahmad Mustofa Bisri ini menggunakan teknik penerjemahan makna gandul atau terjemah jenggotan (bearded translation) yang dilengkapi dengan syarah atau penjelasan dan catatan-catatan pada setiap nadzam yang diterjemahkan, sehingga memudahkan orang-orang awam untuk memahami secara mendalam kalimat-kalimat bahasa Arab yang diterjemahkan. Selain itu, dalam penulisan kitab Al-Muna yang menggunakan aksara Arab Pegon tersebut, KH Ahmad Mustofa Bisri mengenalkan beberapa kosa kata Arab yang dimasukkan (baca: diserap) ke dalam tulisan Pegon, seperti tathafful (تَطَفُّلْ) yang memiliki arti: merenungkan, atau memikirkan. Pengenalan beberapa istilah Arab dalam tulisan Pegon oleh para ulama Nusantara yang dilakukan “secara halus” kepada para pembaca ini, mengandung unsur pengajaran yang gradual untuk memahami kosakata-kosakata Arab secara bertahap. Kenyataan bahwa ada banyak istilah Arab yang dimasukkan ke dalam tulisan Pegon, semakin menguatkan bahwa, aksara Arab Pegon menjadi gerbang besar bagi masuknya kosakata Arab ke dalam Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa lain yang pernah ditulis dengan menggunakan aksara Arab Pegon. Diantara kosakata Arab yang sudah masuk dan diserap ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa melalui gerbang aksara Arab Pegon adalah: Shalat (صلاة), Zakat (زكاة), Haji (حجّ), Iman (إيمان), Islam (إسلام), Masjid (مسجد), Mushala (مصلّى) dan lain-lain. Istilah-istilah Arab yang diserap ke dalam bahasa Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa lain yang hidup di Nusantara, ketika ditulis dalam aksara Pegon, tetap ditulis seperti aslinya. Tidak ada perubahan sama sekali. Oleh karenanya, keberadaan aksara Pegon ini tidak pernah merusak tatanan bahasa Arab, dengan adanya penulisan istilah Arab yang tidak sesuai pakemnya. Aksara Pegon justru menjadi pelengkap bahasa Arab, yang sistem tulisannya tidak mampu menampung sistem bunyi atau fonologi bahasa-bahasa non-Arab. Dengan adanya aksara Pegon, bahasa Arab akan mudah membumi, menyatu dengan bunyi-bunyian bahasa non-Arab, dan berdialektika langsung dengan masyarakat ‘ajam, tempat dimana ia menyebar. 

Kitab Al-Muna fi Tarjamah Nadzm al-Asma’ al-Husna ini selesai ditulis oleh Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin Leteh KH Ahmad Mustofa Bisri di Rembang pada hari Senin tanggal 22 Juli 1996 M/06 Rabi’ul Awwal 1417 H. Diterbitkan oleh Penerbit Al-Miftah Surabaya, dengan ketebalan 31 halaman. []

Sahal Japara, Kepala SMPQT Yanbu’ul Qur’an 1 Pati, pemerhati Aksara Pegon

Gus Dur: Ekstrimisme Dalam Islam


Ekstrimisme Dalam Islam
Oleh: KH Abdurrahman Wahid

Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari 14 abad, Islam secara keseluruhan menggunakan cara-cara damai untuk mengembangkan ajaran. Dari permulaan sejarahnya, hubungan Islam dengan agama lain di bawah bimbingan Nabi Muhammad telah menunjukkan wajah damainya, sehingga menjadi terkenal apa yang dikemudian hari di ketahui bernama Piagam Madinah (Medina Charter). Pada khotbah terakhir sebelum meninggalkan dunia fana ini, Nabi Muhammad telah merumuskan dokumen tersebut sebagai pegangan bagi kaum Muslimin di yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.. Mereka tidak boleh diganggu oleh komunitas muslim atas dasar alasan apapun. Kemampuan hidup secara damai dengan golongan-golongan lain itu, adalah pandangan dasar Islam.

Perlu diingatkan dalam hal ini, Islam tidak pernah memunculkan diri sebagai sebuah negara, melainkan sebagai komunitas. Dua buah hal yang sama sekali tidak pernah disinggung secara teoritik dalam Islam. Kedua hal itu adalah ketentuan mengenai suksesi kepemimpinan, dan ukuran fisik dari sebuah negara dari pandangan Islam, walaupun demikian dalam praktek kedua hal itu diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin sendiri, sebagai sebuah komunitas. Patut diingat tentang pergantian kepemimpinan dalam Islam, ketika Nabi Muhammad meninggal ia digantikan oleh Khalifah Abu Bakar. Ini dicapai melalui pernyataan kesetian oleh suku-suku bangsa Arab di Madinah. Di hari terakhir kekhalifahanya Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Ketika ia akan mati karena ditikam perutnya, Umar menyatakan agar dibentuk Dewan Pemilih (Al-Haddi wa Al-Aqdi) sebagai pemilih khalifah yang baru, dengan syarat putranya sendiri Abdullah bin Umar tidak diangkat. Diangkatlah Usman bin Affan sebagai ketiga.

Setelah itu, Islam berubah menjadi sekian banyak penguasa yang saling mengajukan klaim diri mereka atau pun keturunan-keturunan mereka Khalifah. Dengan berbagai nama mereka itu mengajukan claim sebagai “pemimpin” kaum muslimin. Tercatat minimal ada tiga orang dengan tuntutan seperti itu: Raja Maroko, Raja Saudi Arabia dan Pimpinan Ulama di Iran.

Hal kedua yang tidak pernah disinggung adalah besar kecilnya ukuran negara dalam Islam. Nabi Muhammad memimpin sebuah komunitas ratusan ribu orang banyaknya di tengah-tengah padang pasir. Khalifah kedua Umar “memerintah” sebuah imperium dunia, terbentang dari Andalusia di Spanyol hingga perbatasan anak benua India. Kemudian para penjajah di dunia Islam hingga saat ini. Dan belakangan, sejak tahun-tahun 50-an, negara-Kota seperti Kuwait bermunculan pula di dunia Islam.

Dalam perubahan-perubahan begitu cepat, muncul pula tantangan berupa “peradaban Barat” yang bersifat kebendaan dalam segala bentuknya. Kalau orang melihat perkembangan Islam sebagai sesuatu yang bersifat Kultural ia tidak akan berkecil hati terhadap tantangan tersebut. Ia gunakan kajian kawasan Islam “Islamic Area Studies” sebagai titik tolak mempelajari bagaimana mereka menjawab tantangan-tangangan tersebut. Dengan segala cara. Termasuk bagaimana kaum muslim menjawab tantangan “teknologi Barat” tanpa kehilangan orisinalitas ajaran.

Namun, ada pula sejumlah sangat kecil kaum muda muslimin yang mendekati Islam dari sudut kelembagaan. Mereka melihat lembaga-lembaga Islam “diancam” oleh teknologi barat. Ini membuat mereka khawatir karenanya mereka menjawab dengan menggunakan kelarasan, melalui teknologi yang mereka ketahui, yang tidak lain adalah “teknologi barat”.

Karenanya, kita tidak dapat mengandalkan diri kepada segala macam teori tentang perbedaan budaya seperti teori perbenturan budaya (clash of civilizations) dari Huntington. Berapa ratus ribu orang penuda muslim belajar dari “masyarakat Barat” penlis sendiri termasuk salah seorang diantaranya memang tidak mungkin penulis sepenuhnya menjadi “orang barat” namun penulis sepenuhnya menjadi “orang barat” namun, penulis juga tidak akan menentang dengan kekerasan cara-cara hidup orang barat. Karenanya, melalui diseminasi informasi dan pengembangan teknologi, kita semua akan maju bersama sebagai anak manusia. []

(Ngaji of the Day) Pandangan Al-Quran: Bumi Datar atau Bulat?


Pandangan Al-Quran: Bumi Datar atau Bulat?

Sisi kekuatan Al-Quran sebagai mukjizat tidak bisa disebutkan secara keseluruhan karena tak terbatas jumlahnya. Sisi inilah yang memaksa kita tunduk akan kebenaran Al-Quran sebagai wahyu ilahi. Tetapi para ulama menyebutkan beberapa di antaranya seperti kesesuaian ungkapan, makna, cakupan hukum, dan tujuan Al-Quran.

Ketinggian kandungan kesusastraan Al-Quran yang tiada tara juga menjadi salah satu sisi mukjizat Al-Quran selain kabar atas peristiwa-peristiwa ghaib yang hanya diketahui Allah.

Sisi inilah yang membuktikan bahwa Al-Quran bukan ucapan manusia, tetapi kalamullah. Sedangkan sisi lain kemukjizatan yang disebutkan ulama adalah kesesuaian Al-Quran atas temuan-temuan ilmu pengetahuan “baru” seperti soal penyerbukan bibit, astronomi, dan lain sebagainya.

Hal ini tampak pada penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaily terkait sisi kemukjizatan Al-Quran berikut ini:

وهذا كله ليس من مقاصد القرآن، وإنما كتاب تشريعي. ولكن في ثنايا الآية ما قد يدل على ما ذكر، مثل قوله تعالى في آيات منها:..." وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ" الدالة على دوران الأرض، "أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا" الدالة على كون الأرض بيضاوية، "يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ" الدالة على كروية الأرض. لأن التكوير هو اللف على الجسم المستدير. ففي هذه الآيات إشارات إلى معان تتفق مع الاكتشافات الحديثة التي لم يكن يعلمها أحد من المسلمين.

Artinya, “Ini semua bukan tujuan diturunkannya Al-Quran. Al-Quran diturunkan sebagai kitab syariat. Tetapi di tengah ayat itu, ada yang menunjukkan sebagaimana dijelaskan, yaitu beberapa firman Allah SWT sebagai berikut ini:...’Kau melihat gunung-gunung yang kaukira ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang menjadikan segala sesuatu sempurna,’ (Surat An-Naml ayat 88) yang menunjukkan bumi berputar; ‘Apakah mereka tidak melihat Kami mendatangi daerah-daerah (orang yang ingkar kepada Allah) lalu Kami kurangi (daerah-daerah) itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?’ (Surat Ar-Ra‘du ayat 41) yang menunjukkan bahwa bumi seperti bentuk telur; dan ‘Dia memasukkan siang atas malam dan memasukkan malam atas siang,’ (Surat Az-Zumar ayat 5) yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat karena ‘memasukkan’ itu mengelilingi suatu benda bulat. Ayat-ayat itu merupakan isyarat atas sejumlah makna yang sesuai dengan temuan-temuan baru yang belum pernah sebelumnya diketahui seorang Muslim sama sekali,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islami, Beirut, Darul Fikril Mua‘ashir, 2013 M/1434 H, juz I, halaman 418).

Dari kutipan ini kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran pada dasarnya merupakan kitab pedoman hidup seorang Muslim (syariat/hukum dan norma etik/akhlak). Al-Quran bukan kitab yang membahas secara khusus ilmu pengetahuan tertentu, bukan juga kitab ramalan, bukan juga kitab sastra.

Meskipun demikian, Allah SWT menyisipkan beberapa ayat yang menunjukkan kuasa-Nya di tengah ayat-ayat bertema syariat/hukum dan norma etik/akhlak. Ayat-ayat itu sesuai dengan temuan ilmu pengetahuan yang sangat mapan di mana sebelumnya tak terungkap, antara lain yaitu ayat menyinggung rotasi bumi (Surat An-Naml ayat 88) dan bentuk bumi (Surat Ar-Ra‘du ayat 41 dan Surat Az-Zumar ayat 5) yang belakangan ramai diperbincangkan. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online