Likuefaksi
Negara
Oleh:
Yudi Latif
Bangunan
negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat
tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang
dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi: sirna ilang kertaning bumi.
Kita
harus sungguh-sungguh mencermati proses perenggangan kohesi sosial ini. Bagi
bangsa supermajemuk seperti Indonesia, tidak ada modal sosial yang lebih
penting bagi keberlangsungan negara selain modal kohesi sosial. Mengupayakan
kohesi sosial bagi bangsa multikultural jauh lebih pelik dibandingkan dengan
bangsa-bangsa lain.
Bagi
bangsa multikultural, jalan yang harus dilalui seseorang untuk dapat mengalir
dari perigi kepentingan survival perseorangan, melalui kesetiaan pada aliran
sungai-sungai kecil komunalisme, menuju muara peleburan kehidupan kewargaan
demi kebajikan bersama sungguh merupakan jalan panjang dan berliku.
Pertama,
kita harus menyadari bahwa secara sosio-biologi, manusia itu 90 persen simpanse
(selfish) dan 10
persen lebah (groupish).
Wajarlah jika orang lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kelompok yang
menimbulkan persaingan dan ketegangan sesama anggota kelompok. Namun, ada
kepentingan perseorangan yang tidak bisa dicapai kecuali diperjuangkan bersama
dengan anggota kelompok lain. Dari kepentingan bersama ini muncullah
komunalisme dengan espirit
de corps-nya tersendiri.
Dalam
masyarakat majemuk, kepentingan kelompok ini harus bersaing dengan aneka ragam
kelompok lain dan berlaku hukum evolusi bahwa kelompok dengan kohesi sosial
yang lebih kuat akan mengalahkan kelompok lain dengan kohesi sosial lebih lemah
(Jonathan Haidt, 2012). Pada akhirnya, kelompok-kelompok komunalisme yang
bersaing ini dipaksa oleh tantangan kesejarahan, yang mempertautkan dan
mempertaruhkan nasib bersama, untuk melebur ke dalam suatu komunitas yang lebih
besar. Terbentuklah komunitas kebangsaan kewargaan (civic nation).
Proses
peleburan aneka kelompok dengan konflik kepentingan ke dalam kuali kebangsaan
kewargaan ini dimungkinkan oleh semangat gotong royong. Dalam pandangan
Soekarno, ”Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari
’kekeluargaan’. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.
Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”
Semangat kekeluargaan yang bersifat statis cenderung mengarahkan welas asih
(altruisme) pada sesama anggota keluarga atau golongan sendiri. Sementara
semangat gotong royong yang bersifat dinamis lebih memiliki kesanggupan untuk
mengarahkan altruisme pada sesama warga sekalipun dari golongan yang berbeda.
Kemunculan
semangat gotong royong itu tidaklah seperti durian runtuh, tetapi dihasilkan
oleh keringat sejarah. Semangat gotong royong ditumbuhkan oleh persepsi tentang
kesamaan kepentingan dan ancaman, yang diikat oleh konstruksi tentang norma
untuk memberi ganjaran dan hukuman, melalui mekanisme pengambilan keputusan
bersama (musyawarah) yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak, serta
kesetiaan pada apa yang disucikan bersama (civic
religion).
Merenggangnya
kohesi sosial bangsa kita hari ini mengindikasikan melemahnya semangat gotong
royong yang disebabkan oleh memudarnya faktor-faktor tersebut. Pertama,
kepentingan bersama pudar karena kesenjangan sosial dalam beragam bentuk: yang
satu untung, yang lain buntung. Konsekuensinya, persepsi tentang ancaman
bersama pun pudar. Ada yang memandang ancaman itu datang dari fundamentalisme
agama, bahaya laten komunisme, fundamentalisme pasar, golongan ras dan etnis
tertentu, dan seterusnya.
Kedua,
negara Indonesia telah berkembang menjadi negara surplus peraturan, tetapi
defisit etika dan penegakan norma. Beragam undang-undang (UU) dibuat untuk
dilanggar. Rasa hormat dan kesetiaan pada norma bersama pudar karena UU dan
peraturan disalahgunakan. Rasa malu dan hasrat menjaga reputasi aus karena
sanksi sosial tak lagi efektif. Hasrat mengejar kemuliaan hidup dengan
menjalankan kebajikan kewargaan meredup karena ganjaran dan hukuman tak
dijalankan secara konsisten: segala nilai dikonversikan ke dalam nilai uang.
Ketiga,
mekanisme pengambilan keputusan mengenai urusan bersama kehilangan daya
inklusivitasnya. Hal ini terjadi manakala model demokrasi yang dikembangkan
lebih didasarkan pada prinsip-prinsip majoritarian dengan
adu modal finansial, ketimbang pada prinsip-prinsip permusyawaratan
berlandaskan adu argumen dan hikmat-kebijaksanaan. Demokrasi yang mestinya
mampu menautkan keragaman dengan ikatan persatuan dan keadilan justru mendorong
perpecahan dan kesenjangan sosial.
Keempat,
sebagai turunan dari segala dekadensi tersebut, kesetiaan warga terhadap
konsensus bersama sebagai sesuatu yang ”disucikan” mulai ditanggalkan. Banyak
pihak mulai berani mengabaikan bahkan menghinakan dasar negara Pancasila. Dasar
nilai bersama (shared values)
yang menjadi titik-temu, titik-tuju, dan titik-tumpu dari segala perbedaan
kepentingan dan golongan di negeri ini, tak lagi sungguh-sungguh dibudayakan
dan dijunjung tinggi sebagai ”agama sipil” (civic
religion) yang menempati jantung spiritualitas gotong royong.
Semua itu
adalah tanda-tanda alam sosial yang harus kita cermati secara serius. Kurang
waspada terhadap pergeseran lempengan-lempengan sosial, dan kurang taat
terhadap prinsip-prinsip tata (ruang) negara, kemunculan gempa sosial bisa saja
membuat negara ini mengalami likuefaksi yang membuatnya terperosok ambles
ditelan bumi. []
KOMPAS,
11 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar