Arti Sebuah Tanda Penghargaan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Tanggal 10 Desember adalah hari istimewa bagi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pada hari itu tahun 1948 dilakukan ratifikasi oleh sidang
umum PBB atas Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal
tentang Hak-Hak Asasi Manusia). Tiap tahun pada hari itu, sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan PBB, Friends of the
United Nations menyerahkan penghargaan bagi mereka yang dianggap berjasa bagi
perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM). Tahun ini, tanda penghargaan itu diberikan
pada penulis, karena telah dianggap telah “berjasa” memperjuangkan perlindungan
bagi hak-hak kaum minoritas, baik minoritas etnis maupun lain-lainnya. Hal itu
tersimpul dalam nama penghargaan/jasa yang penulis terima: Award on World Peace
and Solidarity (Tanda Jasa atas Perdamaian dan Solidaritas Dunia). Sebelum ini
penulis menerima beberapa tanda penghargaan, seperti World Peace Prize Award
(hadiah perdamaian dunia) dari Korea Selatan dan Magsaysay Award dari
Philippina.
Tentu terbetik di hati para pembaca, apa pentingnya arti
tanda-tanda penghargaan tersebut? Bukankah tanda-tanda penghargaan seperti itu
hanyalah sebuah “pengakuan” atas kerja-kerja yang telah dilakukan? Dan bukankah
banyak orang lain yang melakukan hal-hal seperti itu tanpa memperoleh tanda
penghargaan apapun? Bukankah kepergian dari Indonesia ke New York, Amerika
Serikat (AS) untuk menerima sendiri tanda penghargaan itu, adalah penghamburan
uang yang tidak perlu, bagi perjuangan bersama yang kita lakukan? Lebih
jauh, benarkah penyerahan tanda penghargaan itu akan merubah perjuangan yang
dilakukan dalam hal-hal tersebut? Apakah ini tidak berarti bahwa dengan atau
tanpa tanda penghargaan itu, perjuangan akan mengalami perubahan besar? Lalu,
jika terjadi “kemunduran” dalam perjuangan tersebut, bukankah justru akan
mengurangi arti tanda penghargaan itu sendiri? Karenanya, perlu benarkah adanya
tanda penghargaan seperti itu?
Benar, pertanyan-pertanyaan itulah yang tadinya terpikir oleh
penulis. Apalagi pada saat harus memberikan jawaban, dapat atau tidaknya
penulis menerima sendiri tanda penghargaan tersebut bersamaan ketika Komite
Pemilihan Umum (KPU) sedang sibuk-sibuknya memproses penentuan partai-partai
politik mana yang berhak turut serta dalam pemilu legislatif bulan April yang
akan datang. Bukankah kepergian meninggalkan Indonesia berarti “melecehkan”
arti parpol-parpol yang tidak diperkenankan menjadi peserta pemilu? Belum lagi
kalau diingat parpol yang turut serta dalam pemilu legislatif itu, tentu akan
ada yang memperoleh ‘nomor istimewa’ yaitu nomor 13. Tidakkah sebaiknya penulis
tunjukkan solidaritas atas “nasib” yang mereka alami? Semua itu harus penulis “baca”
dan pertimbangkan ketika menjawab undangan ke New York tersebut. Kalau datang,
tentu hal-hal buruk tadi akan menjadi konskuensinya. Pertanyaannya, apakah
aspek-aspek positifnya melebihi hal-hal yang tidak baik tersebut? Akhirnya,
setelah mempertimbangkan aspek positifnya lebih banyak dari pada negatifnya,
penulis memutuskan akan datang mengambil tanda penghargaan itu.
*****
Bagi penulis, perjuangan menegakkan HAM adalah sesuatu yang
sudah puluhan tahun dijalankan, dan tambah hari tambah terasa kebutuhan
memperluas perhatian kepada masalah ini. Lihat saja, para pelanggar HAM yang
berpangkat tinggi tinggal berleha-leha, tanpa memperoleh hukuman apapun atas
perbuatan mereka. Sedangkan para “pelaku lapangan” yang sebenarnya hanya
melaksanakan “perintah atasan” menghadapi dakwaan-dakwaan berat di hadapan
pengadilan, yang tidak hanya akan berakibat hukuman kurungan badan di penjara,
bahkan karier militer mereka juga akan hancur karenanya. Adilkah
ini? Penulis menganggap masalah ini jelas tidak adil, karena keputusan yang
diambil bukan hanya berdasarkan hukum, tapi juga politis. Inilah yang mendorong
mengapa penulis menginginkan perhatian masyarakat lebih banyak lag atas
pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lampau. Untuk itulah ia datang ke PBB, guna
memperoleh kredibilitas lebih besar, dalam upaya mendorong timbulnya perhatian
seperti itu.
Hal lain yang penulis pikirkan adalah bahwa PBB -yang
memiliki demikian banyak kelemahan pada saat ini-, adalah salah satu alat
perjuangan terbaik yang dimiliki “bangsa-bangsa lemah” saat ini. Hanya
dengan menghargai lembaga-lembaga seperti PBB, di masa depan dapat diperkirakan
kita memiliki alat yang lebih baik. Walau sekarang PBB tidak dapat menolak
sikap unilateral (serba sepihak) dari AS dalam soal Irak dan sengketa Israel –
Palestina , belum lagi kalau diingat hal-hal lain yang dianggap “lebih kecil”,
ini tidak berarti jalan sudah tertutup bagi PBB untuk bekerja dalam lingkup
antar bangsa (multilateral). Dan untuk turut berupaya menyelesaikan
masalah-masalah dasar antar bangsa, seperti kelaparan, kemiskinan dan
kebodohan.
Kesemua persoalan itu bukan menunjukkan ketidakmampuan PBB
menyelesaikan berbagai hal bagi perdamaian dunia, yang sama artinya dengan
kegagalan melaksanakan tugas. Karena itu, sikap “all or nothing” (seluruhnya
atau tidak sama sekali) harus kita tinggalkan. Dan kita harus berani menerima
“pemecahan-pemecahan” yang tidak sepenuhnya gagal, walaupun juga tidak
sepenuhnya berhasil. Sudah sangat banyak hal-hal yang dilakukan oleh PBB bagi
kemanusiaan, karena itu sudah selayaknya pula kita menunjukkan penghargaan
kepada hal-hal yang dihargainya. Salah satu diantaranya, adalah tanda
penghargaan yang diberikan pada penulis tahun ini. Tanda penghargaan itu, tidak
hanya akan mendorong penulis berbuat lebih banyak lagi untuk memperjuangkan
hak-hak kaum minoritas, melainkan juga mendorong mereka untuk lebih banyak
berbuat bagi kepentingan mereka sendiri. Jika mereka sudah sanggup melakukakan
hal ini, tanpa beban psikologis seperti mereka alami selama ini, barulah
“tugas-tugas” membela mereka bagi penulis dapat dianggap selesai.
******
Kasus minoritas etnis Tionghoa di negeri kita, dapat dijadikan
contoh. Mereka berada dalam kedudukan “serba salah”, yang sangat sulit untuk
“diatasi” saat ini. jika mereka aktif memperjuangkan kedudukan mereka saat ini,
maka mereka akan dituduh bersikap eksklusif, hanya mementingkan diri
sendiri, dan melupakan kepentingan mayoritas. Kalau mereka berdiam diri saja,
maka akan dianggap melempem dan menerima saja apa yang terjadi. Kalau mereka
tidak berperan menolong mayoritas masyarakat pada umumnya, hal ini dianggap
sebagai “orientasi yang salah”. Pada ujungnya, sikap “pasif” seperti ini
dianggap sebagai tanda kepuasan atas apa yang ada sekarang ini. Memang
serba susah, sikap aktif dianggap menguasai seluruh aspek kehidupan.
Sebaliknya, sikap pasif dianggap sebagai kegagalan, sedangkan sikap pesimis
akan dinilai sebagai sikap tidak peduli akan nasib bangsa.
Sikap-sikap menghukumi tanpa proses pengadilan yang jujur dan
terbuka, menunjukkan seperti itulah wajah demokratisasi kita, yang ditandai
pula oleh sejumlah orang yang sama sekali tidak tertarik pada perjuangan HAM
dan melakukan hal-hal ‘formal’ belaka dalam melaksanakan “penyelesaian
bersama”. Sikap seperti itu sebenarnya tidak etis, namun dilaksanakan oleh
sebagian kelompok tertentu yang tidak mau meneriakkan kejujuran. Sikap itu
dapat saja dilakukan oleh anggota KASI, PHD, PGI, KWI ataupun MUI. Dan orang
dapat saja berteriak-teriak tentang Hak Asasi Manusia, tetapi apakah mereka
bersedia berkorban untuk itu? Seperti ketika sepasang suami – istri dari
Surabaya kawin dalam cara Khonghucu, catatan sipil tidak mau mengesahkannya,
akhirnya, anak-anak yang lahir dari pasangan itu dianggap anak zina. Penulis
dari semula bersikeras bahwa perkawinan mereka sah menurut agama Khonghucu,
dan pemerintah tidak berhak menentukan; apakah Khonghucu sebuah agama
atau filsafat hidup belaka. Menurut penulis, sebuah agama ditentukan demikian
oleh para pemeluknya, bukan oleh orang/lembaga lain.
Contoh di atas menunjukkan bahwa perjuangan HAM di negeri kita
masih panjang. Masih banyak umat Muslim menganggap sebuah entitas sebagai bukan
agama, hanya karena tidak ada keterangan pasti dalam kitab suci Al-Qur’an
mengenai hal itu. Demikian juga, ajaran sesuatu agama tidak dapat diubah sama
sekali menurut mereka, walaupun dalam prakteknya hidup kaum Muslimin tidaklah
demikian. Belum lagi jika berbicara mengenai mereka yang mengakui agama
secara nominal saja, namun tidak merasa terikat dengannya –seperti kaum
kejawen, sunda wiwitan dan sebagainya. Karenanya perjuangan menegakkan HAM
memerlukan lebih banyak lagi para aktifis untuk memerangi pandangan salah yang
masih dipegangi oleh banyak warga negara kita. Kita perlu mengubah banyak
pandangan, namun ini mudah untuk dikatakan dan sangat sulit dilaksanakan,
bukan? []
New York, 10 Desember 2003
Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar