Catatan Jelang Seabad
NU di Surakarta (1)
Nahdlatul Ulama (NU)
yang berdiri di Surabaya, 95 tahun yang lalu (16 Rajab 1344 H atau 31 Januari
1926 M), dalam perkembangannya, perlahan tapi pasti mulai mendapatkan sambutan
yang baik, khususnya dari kaum pesantren.
Tak terkecuali oleh
umat Islam di Surakarta dan sekitarnya, yang secara kondisi sosial dan politik
saat itu sudah banyak yang menjadi anggota Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Pada tahun 1930-an,
gerakan politik Islam di Surakarta yang bersifat perkotaan, reformis, dan
dinamis didominasi oleh para pengusaha, bangsawan dan intelektual yang tumbuh
menjadi kelompok sosial sekaligus politik. Seperti yang digambarkan Kuntowijoyo
(1980) :
Di Surakarta buruh
batik dan buruh-buruh lainnya menjadi anggota SI ... Pada dekade selanjutnya
mengalami kemerosotan tajam dilatarbelakangi oleh gagal menggalang massa, dan
prakarsanya diambil SI Merah; adanya pertentangan doktrin antara pemimpin tertinggi
SI (HOS Tjokroaminoto) dengan para ulama; dan ulama tradisional keluar dari SI
dan mendirikan organisasi sosial sendiri, yaitu NU pada 1926.
Selanjutnya menurut
Abubakar (1957), pada Muktamar NU ke-I yang berlangsung September 1926, Kiai
Siradj dan Kiai Mawardi menjadi peserta muktamar sebagai utusan dari NU
Surakarta. Ini berarti, keberadaan NU di Surakarta telah ada sejak tahun
tersebut.
Tokoh-tokoh NU di
Kota Surakarta pada awal periode antara lain, yakni KH Ahmad Siradj Panularan,
KH Mawardi, KH Cholil Kauman, KH Ma’ruf Mangunwiyoto (Pesantren Jenengan), dan
KH Abu ‘Amar (Pesantren Jamsaren), KH Masyhud Keprabon, KH Djauhar, KH Raden M.
Adnan Tegalsari, KH Ahmad Asy’ari Tegalsari, KH Abdul Somad Nirbitan, KH
Zamahsyari, KH Mudzakkir, KH Raden Dimyathi Al-Karim (Madrasah Salafiah
Mangkunegaran), KH Raden Abdul Mu’thi. (Saifuddin, 2013)
Bagi NU sendiri,
pesantren bisa dikatakan menjadi pusat embrio lahirnya NU. Hubungan keduanya,
merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, baik dalam perspektif
ideologis, psikologis, historis, kultur, maupun pemikiran dan gerakan. Secara
ideologis, keduanya diikat oleh kesamaan paham Islam Ahlusssunnah wal Jamaah
(Aswaja) yang berhaluan madzhab.
Secara psikologis,
para pengurus dan anggota NU memiliki hubungan emosional yang sangat dekat.
Mereka pada umumnya, masih memiliki hubungan keluarga, sahabat, maupun relasi
antara kiai dan santri.
Figur kiai, santri
dan pesantren inilah yang menjadi embrio dari keseluruhan proses perkembangan
NU. Bahkan, dapat dikatakan, embrio ini sudah ada bahkan jauh sebelum
organisasi ini didirikan. []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar