Arah Dua Pola Kehidupan (10)
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah masyarakat agraris, hanya kepemimpinan kharismatik
sajalah yang dapat berkembang dengan subur. Karenanya kita saksikan munculnya
kepemimpinan kharismatik bahkan pada apa yang dianggap sebagai “gerakan
modern”, misalnya pada kepemimpinan Soekarno di Indonesia. Ia pun harus
menggunakan peristilahan agraris untuk “membesarkan” gerakan nasionalistik yang
dipimpinnya, adalah bukti yang sangat nyata akan hal itu. Itulah sebabnya ia
menggunakan Marhaen, seorang tokoh ‘fiktif’ dari kalangan petani sebagai
“lambang perjuangannya”. Pak Marhaen yang digambarkannya selaku rakyat petani
yang didera kemiskinan dan kelaparan, sehingga kedua hal itu seolah-olah memang
kodrat alam yang dianggap “lumrah”.
Itulah gambaran kongkret dari sistem masyarakat agraris yang
“melekat” pada bangsa kita di bawah penjajahan Hindia-Belanda waktu itu hingga
tingkatan modernitas apapun yang telah diraihnya. Ini juga terbukti dari dua
contoh utama, yaitu “gerakan petani” yang dipimpin Pancho Villa di Mexico dan
gerakan Mao Zedong (Mao Tse-Tung) di Tiongkok. Gerakan Villa adalah gerakan
“murni Petani” yang merampas kekuasaan dari aristokrasi Mexico yang membela
kaum penjajah Spanyol ketika berhadapan dengan “gerakan pembebasan” yang
dilakukan oleh para petani di bawah pimpinan Pacho Villa.
Sebaliknya, gerakan Mao di Tiongkok adalah gerakan ideologis murni
dalam masyarakat agraris. Sesuatu yang dicoba untuk diterapkan oleh Mao dan
kawan-kawan atas kenyataan bahwa di Asia tidak ada gerakan buruh yang kuat.
Karena memang masyarakat Tiongkok yang ada bukanlah masyarakat buruh/industri
seperti di Eropa Barat waktu itu, melainkan yang ada hanyalah masyarakat
petani/ agraris. Dengan demikian, Mao Zedong memimpin gerakan dengan melakukan
revisi atas sifat-sifat masyarakat yang digambarkan oleh Friedrich Engles dan
Karl Marx. Dengan menjadikan petani sebagai subtitusi bagi buruh, maka gerakan
yang dipimpin Mao itu tidak dapat dikatakan sebagai “gerakan murni” para
petani.
Seperti juga halnya dengan gerakan yang dipimpin Soekarno yang
sepintaslalu tampak sebagai gerakan petani. Namun pada hakekatnya ia adalah
gerakan ideologis yang kebetulan saja “berbaju” petani. Kalau diperhatikan
dengan teliti, maka akan tampak “gerakan petani”nya itu tidak pernah dipimpin
oleh seorang petani. Pandangannya tentang gerakan petani yang hakiki hanyalah
bersifat “tutup” saja, sehingga tidak menimbulkan inspirasi apapun di kalangan
mereka. Jadi penamaan gerakan yang dipimpin Soekarno itu sebagai gerakan
kemerdekaan adalah hal yang wajar, sehingga tidak perlu dikhawatirkan dan
merupakan sesuatu yang bersifat temporer belaka.
*****
Demikian pula, berbagai gerakan agama Islam yang tumbuh di negeri
kita abad lalu, tidak ada satupun yang benar-benar dapat dikatakan gerakan
petani murni. Kalaupun ada yang menyangkut kaum petani, seperti Pertanu
(Pertanian Nahdlatul Ulama) dan STII (Sarekat Tani Islam Indonesia), ia
hanyalah menjadi wahana golongan dan tidak bersifat murni gerakan petani.
Demikian pula HKTI (Himpunan Kerukunan Petani Indonesia), tidak lain
hanyalah politisasi kaum tani oleh pemerintahan Orde Baru. Mungkin ini adalah
“panggilan sejarah”, namun dalam kenyataan semua organisasi “petani” itu tidak
ada yang dapat mewakili aspirasi para petani. Bahkan BTI (Barisan Tani
Indonesia) “organisasi mantel” dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sangat
ditakuti karena mitos tentang keutuhan organisasi dan disiplin intern-nya yang
tinggi, ternyata juga bukan organisasi petani yang murni.
Dengan demikian, kesekian perkumpulan itu tidak ada yang merasa
perlu untuk berhubungan erat atau organisatoris dengan pihak bisnis pertanian
(agribis). Ini segera disadari sebagai kekurangan dalam pengelolaan agribis
oleh perkumpulan yang seharusnya melayani para petani itu. Berbagai upaya, dari
inisiatif mendirikan pasar induk hingga mewujudkan koperasi pertanian -dari
BUUD (Badan Usaha Unit Desa) hingga langsung membuat koperasi petani atau KUD
(Koperasi Unit Desa), kesemuanya gagal karena tidak dikelola secara bisnis
melainkan secara politis. Untuk mendirikan/mengelola koperasi pertanian yang
benar-benar melayani kebutuhan kongkret para petani, yang dasarnya adalah
menumbuhkan kepercayaan kepada koperasi tani itu- adalah sesuatu yang sangat
sulit dilakukan saat ini.
Faktor kepercayaan itu ternyata menjadi kunci bagi sebuah koperasi
pertanian yang akan melayani kepentingan para petani. Hal ini berbeda sangat
jauh dari apa yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Di
Amerika Serikat umpamanya saja, dari deretan bank-bank pertanian yang
kecil akhirnya lahir Bank of America, yang kini boleh dikata melayani kebutuhan
bermacam-macam dari masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya para petani
belaka. Rabo Bank (Raiffeisen-Boerenleenbank) di negeri Belanda akhirnya
menjadi gugusan sekitar dua ribu limaratus bank kecil yang bergerak dalam
koperasi pertanian dan membentuk sebuah bank raksasa yang bergerak dihampir
segala bidang kehidupan, dan kini menjadi bank keduapuluh besarnya di seluruh
dunia. Karena itu, di dalam “mengalihkan” orientasi ekonomi kita dari pandangan
agraris menjadi sesuatu yang berorientasi niaga-laut, harus terlebih dahulu
dipersiapkan adanya sebuah lembaga finansial (keuangan) yang mendukungnya. Jika
persyaratan ini tidak dilakukan, maka sama saja artinya dengan memindahkan
“penyakit” di darat ke kehidupan niaga-laut.
Salah satu hal yang harus dibenahi adalah akibat-akibat dari hukum
Islam/syariatisasi yang muncul dalam bentuk pembagian perolehan waris. Terjadi
pengepingan-pengepingan yang tidak ada habis-habisnya. Hal ini telah disorot
oleh Hernando de Soto dalam bukunya “The Mystery of Capital”. Karena
pengepingan tanah dalam hukum waris itu mengharuskan pembedaan yang nyata
antara pemilikan dan pengelolan. Maka konsep ketahanan pangan yang mengacu
kepada pembentukan pengusahaan sawah terdistorsi menjadi pemilikan tanah yang
terkeping-keping dalam jumlah besar yang dipunyai orang banyak sebagai pemilik
(dianggap sebagai saham mereka masing-masing). Berbarengan dengan munculnya
kelompok pengusaha yang tidak turut memiliki sawah-sawah tersebut, mungkin
merupakan “jalan tengah”yang baik. Dengan demikian terpisahnya pemilikan dari
pengelolaan, akan merupakan jawaban terhadap pertanyaan: dapatkah pertanian
mereka dikelola secara profesional? Mungkin mudah untuk mengatakan, namun sulit
melaksanakannya bukan? []
Jakarta, 2 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar