Kebohongan Politik
Oleh: Azyurmardi Azra
Kebohongan politik yang berbaur dengan politik kebohongan tampak
kian mewarnai lanskap politik Indonesia menjelang Pemilu 2019. Political lies dan lies politics itu
justru melanda banyak kalangan elite politik yang mengimbas ke lingkungan
pemilih akar rumput. Harapan hanya agar massa di lapisan bawah tidak seperti
rumput kering yang mudah tersulut dan terbakar kebohongan politik bersumbu
pendek.
Kasus kebohongan publik yang menjadi kebohongan politik terlihat
jelas dalam kasus Ratna Sarumpaet (RS) yang menghebohkan masyarakat. Kepada
lingkaran elite politiknya, semula dia mengaku digebuki sejumlah orang di
bandara Bandung pada 21 September 2018 setelah mengikuti konferensi di kota
itu.
Tanpa verifikasi, kebohongan RS segera diviralkan kalangan elite
politik pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 di media
sosial dengan cepat menjadi isu politik. Penyebaran kebohongan politik mengarah
untuk mendiskreditkan lawan politik mereka dalam kontestasi Pilpres 2019.
Setelah Polri menyatakan tidak menemukan bukti RS ada di Bandung
pada tanggal tersebut—baik di bandara, rumah sakit, maupun konferensi—dia
kemudian mengumumkan telah melakukan kebohongan. Polri segera menetapkan RS
sebagai tersangka dan sejumlah elite politik sebagai saksi.
Kebohongan politik ini segera menjadi sarat dan tumpang tindih
dengan politik kebohongan. Politik kebohongan secara sederhana berarti politik
tanpa bukti, tanpa verifikasi kebenaran atau ketidakbenaran informasi, fakta,
dan data terkait. Tanpa proses ini, politik menjadi sarat kebohongan dan
manipulatif— mengarah untuk menyerang lawan politik.
Politik kebohongan dan kebohongan politik bisa bercakupan luas;
tidak terbatas pada kasus RS. Simbiosis kedua macam politik ini juga terjadi
ketika ada manipulasi atau pemelintiran fakta dan data tentang kondisi keuangan
dan ekonomi; atau tingkat pengangguran dan kemiskinan. Dalam kontestasi
politik, seperti Pemilu 2019, kebohongan politik dan politik kebohongan
tampaknya bakal berlanjut. Tujuannya tidak lain adalah untuk meruntuhkan
kredibilitas lawan politik sehingga diharapkan dapat dikalahkan dalam
kontestasi politik.
Drama RS yang masih berlanjut dengan pemeriksaan beberapa figur
elite politik tertentu di Bareskrim Polri telah menjadi isu besar. Daya guncang
kontroversi yang menghebohkan politik Indonesia ini hanya bisa dikalahkan
berita yang juga terus berlangsung tentang gempa, tsunami, dan likuefaksi di
Palu, Donggala, dan Sigi di Sulawesi Tengah.
Sepanjang ingatan tentang pemilu masa reformasi, tidak atau belum
pernah ada kasus semacam ini. Agaknya hanya karena banyak pemilih akar rumput
lebih memilih diam daripada melakukan aksi tertentu sehingga tidak terjadi
kegaduhan sosial-politik di lapisan massa; kegaduhan politik lebih banyak terjadi
di lingkungan elite politik yang berseberangan.
Cukup banyak literatur tentang dampak kebohongan politik dan
politik kebohongan terhadap demokrasi. Banyak analis sepakat, salah satu contoh
puncak kebohongan politik dan politik kebohongan adalah pada Pemilu Amerika
Serikat 2016 yang dimenangi Donald Trump. Akibatnya, banyak warga AS
kehilangan mutual trust,
skeptis, dan apatis terhadap politik.
Kebohongan politik dan politik kebohongan sudah lama laten dalam
pemilu Indonesia. Namun, peningkatan signifikan mulai terlihat dalam Pilpres
2014. Banyak media cetak diproduksi berkombinasi dengan media sosial yang mulai
menyebar secara relatif terbatas mewarnai kontestasi politik.
Bisa dipastikan kebohongan politik dan politik kebohongan lewat
media sosial kian meningkat menjelang Pilpres 2019. Media cetak lebih ribet dan
repot digunakan untuk menyebarkan politik semacam itu. Oleh karena itu,
penyebaran masif dilakukan lewat gawai; para pemegang gawai kini, suka atau
tidak, terpaksa kebanjiran kebohongan politik dan politik kebohongan.
Meski aparat kepolisian lebih aktif menangkal dan menindak
penyebar hoaks, ujaran kebencian, fitnah, adu domba, insinuasi, dan provokasi,
penyebaran kebohongan politik dan politik kebohongan berlanjut. Para pelaku
tampaknya tidak takut atau jera dengan ancaman pidana. Pendekatan keagamaan
lewat fatwa MUI, misalnya, untuk pencegahan penyebaran hoaks—termasuk dalam
politik—juga tidak efektif. Kebohongan politik dan politik kebohongan dengan
memanipulasi agama tetap merajalela.
Bagaimana dampak kebohongan politik dan politik kebohongan
terhadap proses politik dan demokrasi Indonesia? Untuk mendapatkan jawaban
relatif pasti, perlu penelitian komprehensif. Namun, jika Pilpres 2014 dapat
dijadikan sebagai indikator, kebohongan politik dan politik kebohongan yang
cukup merajalela di waktu itu jelas tidak efektif. Para pemilih yang telah
berketetapan hati memilih capres-cawapres tertentu tidak berubah pikiran dengan
kabar bohong dan manipulasi agama.
Meskipun demikian, untuk memastikan Pemilu 2019 aman, damai, fair, dan berintegritas,
elite politik yang terlibat kontestasi politik sepatutnya menjauhkan diri dari
kebohongan politik dan politik kebohongan. Mereka mesti lebih cermat dan
hati-hati menyikapi informasi tentang kejadian tertentu, baik di lingkaran
politiknya maupun di lingkungan eksternalnya.
Untuk itu, KPU agaknya perlu mewajibkan mereka yang terlibat
kontestasi politik untuk tidak hanya menandatangani pakta integritas, tetapi
juga pakta pro-kebenaran. Dengan pakta pro-kebenaran, semua elite politik yang
terlibat langsung atau tidak langsung dalam kontestasi politik bersumpah dan
berkomitmen penuh pada kebenaran; berjanji tidak melakukan kebohongan politik
dan politik kebohongan.
Orang boleh skeptis terhadap pakta pro-kebenaran, toh banyak di
antara mereka yang menandatangani pakta integritas juga masih korupsi. Dengan
berprasangka baik, siapa tahu pakta pro-kebenaran bisa berguna. Para pemilih
dan warga umumnya sepatutnya meningkatkan sikap kritis menyikapi segala sesuatu
tentang isu politik yang beredar di gawainya. Apa pun yang tidak masuk akal,
tidak berdasarkan data dan fakta kredibel, semestinya dihapus saja. Dengan
begitu, dapat dihindari penyesatan politik dan kegaduhan sosial-politik yang
dapat mengancam demokrasi dan keutuhan negara-bangsa Indonesia. []
KOMPAS, 18 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar