Jumat, 12 Oktober 2018

Azyumardi: Islam, Finlandia, dan Indonesia (1)


Islam, Finlandia, dan Indonesia (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Kembali ke Finlandia belum lama, penulis "Resonansi" ini melihat banyak perubahan; tetapi juga ada yang tidak banyak berubah. Helsinki, ibu kota Finlandia, terlihat lebih ramai dan sibuk dibandingkan 12 tahun lalu pada akhir 2006 ketika penulis pertama kali datang ke negara ini.

Ada yang tak berubah: komunitas keagamaan dan Pemerintah Finlandia masih tetap antusias menyelenggarakan dialog antaragama dan budaya, baik secara internal maupun dengan pihak internasional. Dalam kaitan itu, Direktorat Diplomasi Publik, Direktorat Informasi, dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan KBRI Helsinki dan berbagai mitra Finlandia menyelenggarakan Dialog Antaragama dan Intermedia I di Helsinki (17-18 September 2018).

Untuk kepentingan itu, Kementerian Luar Negeri RI mengirim delegasi pembicara yang terdiri atas Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Staf Khusus Presiden RI untuk Urusan Agama pada tingkat internasional; Gomar Gultom MA, sekjen PGI; DR Philip K Wijaya, pimpinan Permabudhi, Buddha; Uni Zulfiani Lubis, pemred IDN News, direktur Diplik Kemenlu Azis Nurwahyudi, dan penulis "Resonansi" ini.

Dialog Antaragama dan Intermedia, sekali lagi, mencerminkan partisipasi aktif Finlandia untuk menumbuhkan saling pengertian dan kerja sama baik antarkomunitas agama dan masyarakat budaya di dalam negeri, negara-negara Eropa, dan dunia lebih luas. 

Finlandia pernah menjadi sponsor penyelenggaraan ASEM Interfaith Dialogue I di Bali (2006), kedua di Seoul (2009), dan ketujuh di Manila (2011). Pemerintah Finlandia pada 2017 menghibahkan dana 80 ribu euro (sekitar Rp 15 miliar) untuk organisasi keagamaan guna mempromosikan dialog antaragama.

Kehidupan keagamaan dan budaya di Finlandia juga majemuk meski Kristen (Protestan) adalah agama mayoritas. Menurut data 2017, dari sekitar 5,5 juta warga negara ini, 70,9 persen pengikut Gereja Lutheran Finlandia dan 1,1 persen pemeluk Gereja Ortodoks Finlandia. Lalu, 23 persen mengaku ateis, dan 2,3 persen pengikut agama lain: Islam (1,2 persen dengan jumlah sekitar 60 ribu jiwa), Hindu, dan Buddha masing-masing sekitar 5.000 orang, dan agama Yahudi sekitar 1.500 jiwa.

Di luar itu, penulis "Resonansi" ini pernah pula menjadi narasumber dalam The 12th Cultural Forum yang diselenggarakan Union for Christian Culture Finlandia di Espo, kota kecil yang tidak jauh dari Helsinki (30 November-2 Desember 2006). Tak kurang 25 pembicara dari berbagai negara membahas berbagai subjek terkait agama, budaya dan pluralisme, agama dan radikalisme, serta agama dan globalisasi. Semua pembicaraan diterbitkan dalam buku Pyhan Silmassa: At the Center of the Sacred (Espoo: 2007).

Mengapa Finlandia dan Indonesia sama-sama antusias menyelenggarakan dialog antaragama dan intermedia? Ini tak lain didasari kenyataan bahwa masyarakat kedua negara sangat majemuk, baik dalam agama, budaya, dan juga media, apalagi di tengah peningkatan gejala kekerasan atas nama agama secara global, migrasi orang berbeda agama dan budaya dari satu negara ke negara lain (seperti dari Dunia Arab dan Asia Selatan ke Finlandia), dan penggunaan media sosial.

Dalam hal hubungan agama dan negara, Finlandia berbeda dengan Indonesia. Jika Indonesia tidak memiliki agama nasional, sebaliknya Finlandia memiliki dua gereja nasional, yaitu Gereja Lutheran Evangelis dan Gereja Ortodoks. Penganut kedua gereja nasional membayar kewajiban persepuluh penghasilan kepada negara berupa pajak gereja (poll tax). Pemerintah lalu memberikan poll tax ini kepada gereja masing-masing.

Finlandia karena alasan historis terlihat mengistimewakan kedua gereja Kristen. Tetapi, konstitusi Finlandia (pertama kali diundangkan pada 1917 dan diamendemen pada 2000) menjamin kebebasan beragama, melarang diskriminasi agama; dan mengharamkan penistaaan terhadap agama dan pemimpinnya. Para pejabat tinggi Finlandia bersama pemimpin agama berbeda pada waktunya mengeluarkan komunika mengutuk terorisme, diskriminasi agama, dan penyebaran ujaran kebencian terhadap agama dan pemeluknya.

Dalam konteks itu, Pemerintah Finlandia melarang media cetak dan media elektronik memuat karikatur Nabi Muhammad. Untuk diingat, pada 2005 terjadi kehebohan di kawasan Nordik karena koran Jillen Posten di Denmark memuat karikatur yang menghina Nabi Muhammad sekaligus melecehkan Islam.

Meski Finlandia memberlakukan UU Kebebasan Beragama, kebebasan itu tidak mencakup keleluasaan melecehkan agama. Dengan peningkatan migrasi—khususnya Muslim—dari Asia dan Afrika sejak 1990, ketentuan undang-undang dan hukum Finlandia itu membantu terciptanya situasi lebih kondusif dalam kehidupan antaragama dan juga antarkomunitas agama dengan pemerintah.

Oleh karena alasan itulah, Pengadilan Negeri Finlandia pada November 2017 menyetujui gugatan Kepolisian Finlandia untuk melarang kelompok Gerakan Perlawanan Nordik (Vastarantaliike atau PVL). Gerakan PVL ini adalah kelompok Neo-Nazi yang antimigran dan anti-Muslim. []

REPUBLIKA, 11 Oktober 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar