Islam, Finlandia, dan Indonesia (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Kembali ke Finlandia belum lama, penulis "Resonansi" ini
melihat banyak perubahan; tetapi juga ada yang tidak banyak berubah. Helsinki,
ibu kota Finlandia, terlihat lebih ramai dan sibuk dibandingkan 12 tahun lalu
pada akhir 2006 ketika penulis pertama kali datang ke negara ini.
Ada yang tak berubah: komunitas keagamaan dan Pemerintah Finlandia
masih tetap antusias menyelenggarakan dialog antaragama dan budaya, baik secara
internal maupun dengan pihak internasional. Dalam kaitan itu, Direktorat
Diplomasi Publik, Direktorat Informasi, dan Diplomasi Publik Kementerian Luar
Negeri bekerja sama dengan KBRI Helsinki dan berbagai mitra Finlandia
menyelenggarakan Dialog Antaragama dan Intermedia I di Helsinki (17-18
September 2018).
Untuk kepentingan itu, Kementerian Luar Negeri RI mengirim
delegasi pembicara yang terdiri atas Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Staf Khusus Presiden
RI untuk Urusan Agama pada tingkat internasional; Gomar Gultom MA, sekjen PGI;
DR Philip K Wijaya, pimpinan Permabudhi, Buddha; Uni Zulfiani Lubis, pemred IDN News, direktur Diplik
Kemenlu Azis Nurwahyudi, dan penulis "Resonansi" ini.
Dialog Antaragama dan Intermedia, sekali lagi, mencerminkan
partisipasi aktif Finlandia untuk menumbuhkan saling pengertian dan kerja sama
baik antarkomunitas agama dan masyarakat budaya di dalam negeri, negara-negara
Eropa, dan dunia lebih luas.
Finlandia pernah menjadi sponsor penyelenggaraan ASEM Interfaith
Dialogue I di Bali (2006), kedua di Seoul (2009), dan ketujuh di Manila (2011).
Pemerintah Finlandia pada 2017 menghibahkan dana 80 ribu euro (sekitar Rp 15
miliar) untuk organisasi keagamaan guna mempromosikan dialog antaragama.
Kehidupan keagamaan dan budaya di Finlandia juga majemuk meski
Kristen (Protestan) adalah agama mayoritas. Menurut data 2017, dari sekitar 5,5
juta warga negara ini, 70,9 persen pengikut Gereja Lutheran Finlandia dan 1,1
persen pemeluk Gereja Ortodoks Finlandia. Lalu, 23 persen mengaku ateis, dan
2,3 persen pengikut agama lain: Islam (1,2 persen dengan jumlah sekitar 60 ribu
jiwa), Hindu, dan Buddha masing-masing sekitar 5.000 orang, dan agama Yahudi
sekitar 1.500 jiwa.
Di luar itu, penulis "Resonansi" ini pernah pula menjadi
narasumber dalam The 12th Cultural Forum yang diselenggarakan Union for
Christian Culture Finlandia di Espo, kota kecil yang tidak jauh dari Helsinki
(30 November-2 Desember 2006). Tak kurang 25 pembicara dari berbagai negara
membahas berbagai subjek terkait agama, budaya dan pluralisme, agama dan
radikalisme, serta agama dan globalisasi. Semua pembicaraan diterbitkan dalam
buku Pyhan Silmassa: At the
Center of the Sacred (Espoo: 2007).
Mengapa Finlandia dan Indonesia sama-sama antusias
menyelenggarakan dialog antaragama dan intermedia? Ini tak lain didasari
kenyataan bahwa masyarakat kedua negara sangat majemuk, baik dalam agama,
budaya, dan juga media, apalagi di tengah peningkatan gejala kekerasan atas
nama agama secara global, migrasi orang berbeda agama dan budaya dari satu
negara ke negara lain (seperti dari Dunia Arab dan Asia Selatan ke Finlandia),
dan penggunaan media sosial.
Dalam hal hubungan agama dan negara, Finlandia berbeda dengan
Indonesia. Jika Indonesia tidak memiliki agama nasional, sebaliknya Finlandia
memiliki dua gereja nasional, yaitu Gereja Lutheran Evangelis dan Gereja
Ortodoks. Penganut kedua gereja nasional membayar kewajiban persepuluh
penghasilan kepada negara berupa pajak gereja (poll tax). Pemerintah lalu memberikan poll tax ini kepada
gereja masing-masing.
Finlandia karena alasan historis terlihat mengistimewakan kedua
gereja Kristen. Tetapi, konstitusi Finlandia (pertama kali diundangkan pada
1917 dan diamendemen pada 2000) menjamin kebebasan beragama, melarang
diskriminasi agama; dan mengharamkan penistaaan terhadap agama dan pemimpinnya.
Para pejabat tinggi Finlandia bersama pemimpin agama berbeda pada waktunya
mengeluarkan komunika mengutuk terorisme, diskriminasi agama, dan penyebaran
ujaran kebencian terhadap agama dan pemeluknya.
Dalam konteks itu, Pemerintah Finlandia melarang media cetak dan
media elektronik memuat karikatur Nabi Muhammad. Untuk diingat, pada 2005
terjadi kehebohan di kawasan Nordik karena koran Jillen Posten di
Denmark memuat karikatur yang menghina Nabi Muhammad sekaligus melecehkan
Islam.
Meski Finlandia memberlakukan UU Kebebasan Beragama, kebebasan itu
tidak mencakup keleluasaan melecehkan agama. Dengan peningkatan
migrasi—khususnya Muslim—dari Asia dan Afrika sejak 1990, ketentuan
undang-undang dan hukum Finlandia itu membantu terciptanya situasi lebih
kondusif dalam kehidupan antaragama dan juga antarkomunitas agama dengan
pemerintah.
Oleh karena alasan itulah, Pengadilan Negeri Finlandia pada
November 2017 menyetujui gugatan Kepolisian Finlandia untuk melarang kelompok
Gerakan Perlawanan Nordik (Vastarantaliike atau PVL). Gerakan PVL ini adalah
kelompok Neo-Nazi yang antimigran dan anti-Muslim. []
REPUBLIKA, 11 Oktober 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar