Balasan Tak Terduga
KH Hasyim Asy’ari saat Dikerjai Santrinya
Alkisah, KH Muhammad
Hasyim Asy’ari – pendiri organisasi Nahdlatul Ulama - memiliki seorang santri
dari bernama Sulam Syamsun. Ia adalah ayah dari Munyati Sulam, penyiar di TVRI
yang biasanya disuruh qira’ah. Sulam Syamsun ini adalah santri yang tergolong
bandel. Saking bandelnya, ia sampai memiliki banyak hutang.
Pada suatu waktu
pasca hari raya, setelah musim liburan, Sulam tidak berani kembali ke pondok.
Ia kemudian berkirim surat kepada kiainya, KH Hasyim Asy’ari yang kurang lebih
isinya:
Teruntuk
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ini saya ayahanda Sulam. Mengabarkan, bahwa Sulam
tidak bisa kembali ke pondok, karena Sulam telah meninggal dunia. Jika ada
salahnya mohon dimaafkan. Jika ada utangnya mohon untuk di-ikhlasaken.
Mendapat surat
seperti itu, Kiai Hasyim menangis (muwun), karena salah satu santrinya meninggal
dunia. Kemudian beliau mengumpulkan para santri untuk diajak shalat ghaib
(sholat yang dilakukan tatkala seorang muslim yang meninggal dunia pada tempat
yang jauh dan tidak memungkinkan didatangi). Setelah shalat ghaib, beliau
mengumumkan:
“Hadirin sekalian,
ini Sulam telah meninggal dunia. Maafkan kesalahannya, ya? Dimaafkan, ya?,”
pinta Kiai Hasyim, dalam bahasa Jawa.
Semua santri
menjawab: “Nggih...” (Iya)
Kemudian yang agak
berat, soal utang. “Kalau ada utangnya, diikhlaskan, ya?”
Karena Kiai Hasyim
yang berbicara, semua santri menjawab kompak: “nggih...”
“Halal?”
“Halal,” jawab
santri, serempak.
Tak dinyana,
tiba-tiba kemudian, dari pintu pondok, Sulam berlari mendekat sambil berteriak:
“matur nuwuuun” (terima kasih....!)
Melihat kelakuan santrinya
yang “kurang ajar” seperti itu, Kiai Hasyim bukannya marah, malah justru
menangis, merangkul Sulam.
“Alhamdulillah, Lam,
kamu masih hidup. Aku kira meninggal dunia beneran. Ya sudah, aku sudah
terlanjur mengikrarkan: kamu di sini sudah tidak punya salah dan tidak punya
hutang. Adapun yang masih belum ikhlas dengan hutangmu, karena kamu masih
hidup, Lam, dan aku sudah berbicara, aku yang menanggungnya sekarang. Jadi
kalau ada yang punya hutang di Sulam, atau yang dihutangi Sulam, tagihlah aku,”
tutur Kiai Hasyim.
Itulah, sekelumit
kisah kearifan sosok KH Hasyim Asy’ari. Juga salah satu potret kenyonyolan
santri sekaligus keteladanan kiai dalam balutan kultur pesantren. Kekonyolannya
jelas, bahwa Sulam mencari akal agar bagaimana hutangnya bisa lunas dengan
caranya yang seorang “santri nakal”.
Di sisi lain, kita
melihat bagaimana sang pendiri NU, yang kini ekspansi kulturalnya dikespor ke
berbagai negara itu, tak mudah marah. Beliau memperlakukan santri yang nakal
diluar batas kewajaran pun – dengan mengaku telah meninggal sekalipun – dengan
penuh kasih sayang dan cinta. Beliau membalas kekonyolan dengan harum kebaikan.
Ini baru akhlak
seorang ulama Kiai Hasyim Asy'ari, belum Baginda Nabi Muhammad SAW yang
akhlaknya tak ada tandingannya. Itu mengapa, jika Nabi terlalu jauh bagi kita
untuk menggapai-gapai keteladanannya, kita bisa melihat percikan cahayanya
dalam diri seorang ulama. Ulama yang benar-benar ulama. Ulama yang tak sekadar
hafal beberapa ayat atau hadis dan “berbaju ulama”. Namun juga akhlaknya. Cinta
dan kasih sayangnya kepada siapa saja.
Adakah orang yang
mengaku atau merasa ulama, pemimpin, intelektual, dan kita semua umat Islam
hari ini – mampu melaksanakan serpihan keteladannya? Melaksanakan dan
menerjemahkan agama dengan cinta dan kasih sayang, ditengah godaan setan berupa
hasud, marah, dan dendam? Semoga kisah di atas mampu menyadarkan: betapa indah
cinta dan kasih sayang. []
Sumber kisah: sejarah
tutur yang disampaikan oleh Kiai Ahmad Muwafiq, orator ulung Nahdlatul Ulama
dalam ceramahnya di Pucung, Tirto, Pekalongan, Jawa Tengah, 6 Januari 2017
lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar