Hukum Membakar Bendera HTI
Akhir-akhir ini publik ramai memperbincangkan
tindakan salah satu anggota organisasi yang membakar bendera bertuliskan
kalimat tauhid. Banyak pihak yang geram atas tindakan ini, sebab kalimat tauhid
di mana pun penempatannya adalah kalimat yang harus dimuliakan oleh seluruh
umat Islam. Sehingga membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid adalah
bentuk penghinaan yang nyata pada kalimat tauhid itu sendiri.
Benarkah hujjah (argumentasi) dan alasan
tersebut?
Sebelumnya patut dipahami bahwa dalam konteks
ini telah terjadi penyimpangan fungsi kalimat tauhid yang awalnya merupakan
simbol keesaan Allah ﷻ. Namun oleh oknum yang tidak
bertanggungjawab justru kalimat tersebut dijadikan sebagai simbol kepentingan
mereka dan dijadikan lambang identitas golongan mereka, golongan ini biasa
dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu gerakan separatis yang
secara tegas telah dilarang oleh pemerintah.
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari
menjelaskan:
اَنَّ
اسْتِعْمَالَ مَا وُضِعَ لِلتَّعْظِيْمِ فِيْ غَيْرِ مَحَلِّ التَّعْظِيْمِ
حَرَامٌ
“Sesungguhnya menggunakan sesuatu yang
diciptakan untuk diagungkan, untuk difungsikan pada hal yang tidak diagungkan
adalah hal yang haram.” (Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, Tanbîhat
al-Wâjibat, Jombang, Pustaka Teburireng, h. 30)
Berdasarkan referensi di atas,
mengalihfungsikan kalimat tauhid untuk kepentingan organisasi yang terlarang
adalah bentuk perbuatan yang secara tegas diharamkan oleh syariat. Sebab
perbuatan ini saja sudah dipandang menghina terhadap kalimat tauhid itu sendiri.
Sehingga mestinya secara arif kita dapat menilai bahwa bendera tauhid pada
konteks ini hakikatnya bukan merupakan lambang yang mewakili umat Islam secara
kesuluruhan, bahkan merupakan lambang yang dijadikan pemicu berbagai perpecahan
bangsa, sebab telah difungsikan sebagai lambang golongan tertentu yang telah
dilarang oleh pemerintah.
Peristiwa semacam ini sesungguhnya juga
terjadi dalam ingatan sejarah kita, bagaimana Masjid Dhirar dihancurkan dan
dibakar oleh Rasulullah ﷺ setelah beliau tahu
bahwa ternyata masjid tersebut dibuat oleh kaum yang berupaya memecah belah
umat Islam. Dalam menyikapi peristiwa ini, Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam
kitab al-Hâwî lil Fatâwi:
قَالَ
عُلَمَاؤُنَا: وَإِذَا كَانَ الْمَسْجِدُ الَّذِيْ يُتَّخَذُ لِلْعِبَادَةِ
وَحَضَّ الشَّرْعُ عَلَى بِنَائِهِ يُهْدَمُ وَيُنْزَعُ إِذَا كَانَ فِيْهِ ضَرَرٌ
فَمَا ظَنُّكَ بِسِوَاهُ ؟ بَلْ هُوَ أَحْرَى أَنْ يُزَالَ وَيُهْدَمَ، هَذَا
كُلُّهُ كَلَامُ الْقُرْطُبِيْ
“Para Ulama berkata: Jika masjid saja yang
diciptakan untuk ibadah dan syariat menganjurkan untuk membangunnya berubah
menjadi dihancurkan karena terdapat kemudlaratan, lantas bagaimana pendapatmu
pada hal selain masjid? Jelas lebih pantas untuk dihilangkan dan dihancurkan.
Perkataan tersebut adalah perkataan Imam Qurtuby.” (Imam Jalaluddin As-Suyuthi,
al-Hâwî lil Fatâwi, juz 1, h. 144)
Selain peristiwa itu, pernah pula tercatat
dalam sejarah Sayyidina Utsman radliyallahu ‘anh membakar mushaf Al-Qur’an
untuk tujuan menjaga keotentikan Al-Qur’an. Sebab Mushaf yang Ia bakar
merupakan mushaf-mushaf yang bercampur antara ayat yang mansukh (disalin) dan
ayat yang tidak mansukh. Khawatirnya jika mushaf-mushaf itu dibiarkan, banyak
orang akan berpendapat bahwa lafadz yang bukan merupakan bagian dari Al-Qur’an
dianggap sebagai bagian dari Al-Qur’an. Hal ini jelas akan berpengaruh pada
keotentikan Al-Qur’an itu sendiri. Berdasarkan peristiwa ini, Para Fukaha
berpandangan bahwa membakar Al-Qur’an jika bertujuan untuk menjaga kehormatan
Al-Qur’an itu sendiri adalah hal yang diperbolehkan.
Berdasarkan beberapa dalil-dalil di atas
dapat kita simpulkan bahwa bendera tauhid hanyalah kedok dari gerakan terlarang
di negeri ini. Kita harus melawannya secara tegas. Tindakan membakar hakikatnya
bukan melecehkan kalimat tauhid, namun untuk menyelamatkannya dari kepentingan
yang tercela.
Dengan demikian, hukum membakar bendera
tauhid adalah hal yang diperbolehkan, bahkan merupakan cara yang paling utama
bila hal tersebut lebih efektif untuk menghentikan provokasi dari gerakan
terlarang di negeri ini. Wallahu A’lam. []
Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Rais Lajnah
Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar