Arti
Sebuah Kunjungan
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Pada
tanggal 20 Desember 2003, penulis menyertai sebuah rombongan besar ke jalur
Gaza, Palestina. Setelah melalui perbatasan Israel-Palestina, dalam perjalanan
yang sangat lama akhirnya penulis sampai di kota Gaza tempat kedudukan Yasser
Arafat, yang sekarang menjadi pusat pemerintahan pihak “garis keras” bangsa
Palestina. Hal itu karena “pusat pemerintahan yang “moderat” dan diakui dunia
internasional adalah kota Ramallah, yang terletak di Tepian Barat Sungai
Yordania, tempat Perdana Menteri (PM) Ahmad Qurei memimpin pemerintahan.
Terbetik berita baru-baru ini, bahwa Menteri Keuangannya mengajukan sebuah
usulan dalam bentuk paket bantuan internasional sebesar dua setengah milyar
dollar AS untuk membantu Palestina membangun dirinya. Sementara Menlu Shalom dari
Israel mengajukan bantuan kepada AS atas “keikutsertaan” Israel dalam serbuan
militer ke Irak baru-baru ini, yang tampaknya akan diterima dengan mudah oleh
pihak AS.
Apakah
langkah Menkeu Palestina dan Menlu Israel itu memang dibuat atas dasar sepengetahuan
satu sama lain, atau memang kebetulan saja waktunya hampir bersamaan? yang
jelas hasil semuanya akan serba berbeda. Pada saat tulisan ini dibuat, PM.
Ariel Sharon dari Israel mengumumkan tiga buah langkah penting untuk “menambah
cair” hubungan kedua belah pihak. Masih menjadi tanda tanya, apakah dukungan
finansiil dari pihak Uni-Eropa akan diperoleh Palestina seperti permintaan yang
diajukan? Ataukah antara kedua hal itu (menerima bantuan atau menerima usulan
Sharon) lalu dijadikan alternatif? Belum menjadi jelas bagi kita semua. Inilah
resiko jika suasana berbalik, dari yang tadinya kondusif untuk mencapai
kesamaan hasil yang seimbang antara kedua belah pihak, atau justru keadaan
menjadi lebih buruk bagi pihak Palestina, dengan “semakin ketatnya” sikap pihak
Israel dalam proses perundingan yang beberapa waktu lalu macet itu.
Ketika
berada di Gaza penulis diminta berpidato. Penulis mengemukakan keinginannya
untuk melihat Palestina yang merdeka dan memperoleh keadilan dalam
kemerdekaannya itu. Para pembicara lain, terutama para pemuka Palestina
sendiri, banyak menyampaikan keluhan dan keinginan agar memperoleh kemerdekaan
dari pihak Israel. Dalam pandangan penulis, berarti Palestina mempunyai
kedudukan yang sangat lemah dalam sebuah perundingan. Mungkin jauh lebih lemah
daripada pendirian PM Ahmad Qurei, yang memang sudah “menetapkan” mana saja
pokok-pokok yang harus dikorbankan guna memperoleh konsesi dari pihak Israel.
Kalau perlu dengan paksaan, karena kesadaran akan kemenangan-kemenangan di
kemudian hari. Hal yang sama seperti ketika Bung Hatta menandatangani
perjanjian Komisi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 di Negeri Belanda, yang
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia serta kedaulatan wilayahnya, namun
minus Irian Jaya/tanah Papua.
Hasil KMB
itu dicaci maki orang, terutama oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun,
Bung Hatta dan koalisi partai-partai yang mendukungnya masih menang suara jika
dibawa ke parlemen. Hal inilah yang menunjukkan kenegarawan Bung Hatta, yang
yakin pada suatu masa Irian Barat/tanah Papua, toh akan dapat diambil kembali
oleh Indonesia. Kita semua menunggu tiga belas tahun lamanya, sebelum pada
akhirnya Irian Jaya/tanah Papua dapat direbut kembali oleh Indonesia melalui
perjuangan Trikora tahun 1962. Hal inilah yang belum pernah terbukti, yaitu
“keberanian politik” orang-orang Palestina untuk memberikan konsesi sekarang,
yang dapat digunakan sebagai alat merebut ‘sisa’ konsesi itu dari pihak Israel.
Dari hal ini terlihat kelihaian diplomasi pihak Palestina, masih berada di
bawah tingkat kelihaian diplomasi pihak Israel. Hal itu juga karena bahwa
“kemurahan hati” pihak Palestina dalam perundingan dengan pihak Israel,
salah-salah dapat menjadi boomerang karena tidak akan “diimbangi” pihak Israel
sekarang atau nanti.
*****
Dalam
keadaan serba ruwet seperti itu, tentu saja para pemimpin Palestina, baik yang
berhaluan moderat seperti Ahmad Qurei dan kawan-kawan maupun para pengikut
Arafat, memang harus berhati-hati. Jangan sampai peluang mencapai kompromi yang
sehat akan terlewat begitu saja, tetapi juga jangan sampai pemberian konsesi
sekarang tidak akan dapat lagi diimbangi oleh penerimaan konsesi di kemudian
hari dari pihak Israel. Di sinilah terletak kenegarawanan yang diharapkan dari
“tokoh kawakan” seperti Yasser Arafat. Inipun jika hanya dilihat dalam kerangka
internal orang Palestina sendiri, belum dari kerangka “penyelesaian
sengketa” antara Arafat dan Sharon. Antara kedua tokoh itu harus ada rasa
saling mempercayai (trust), yang hingga sekarang belum pernah diperlihatkan
kepada publik selama ini. Sampai-sampai pernah penulis kemukakan di hadapan
para pengusaha Yahudi di Australia, sebaiknya kedua tokoh yang tidak saling
mempercayai itu sama-sama mengundurkan diri.
Kunjungan
penulis ke daerah Gaza, semakin memperkuat kesimpulan tersebut. Kota yang
sepatutnya menjadi ibu kota kecamatan di negeri kita itu, keadaannya memang
sangat memprihatinkan. Lalu lintasnya tidak teratur, toko-tokonya hanya
terpusat pada sebuah kawasan memanjang dan hanya ada satu hotel lima tingkat
yang ditempati oleh pertemuan yang penulis iikuti. Ketika penulis datang,
segera diminta untuk memberikan sambutan singkat, dan di dalam sambutan itu
penulis menyatakan bahwa penduduk setempat harus memperjuangkan dua hal
sekaligus; kemerdekaan bagi berdirinya sebuah Negara Palestina dan keadilan
bagi seluruh rakyatnya. Sambutan sederhana itu harus penulis ulangi kembali
dalam bahasa Arab, karena demikian banyaknya anak-anak muda arab mengikutinya.
Semula, penulis ucapkan dalam bahasa Inggris, karena demikian banyak (hampir
lima puluh orang) peserta yang datang bersama penulis dari Jerusalem, yaitu
para senator dan anggota parlemen AS, para pemimpin agama dari seluruh penjuru
dunia dan para wartawan berbagai media.
Ternyata
ada keuntungan juga untuk mampu berbahasa Arab, sehingga menghemat waktu
panitia tidak perlu semuannya diterjemahkan. Penulis katakan dalam bahasa Arab,
sudah menjadi keinginan kuat dari penulis untuk mengunjungi Gaza, yaitu sejak
penulis berada di Mesir selama sekitar dua setengah tahun lamanya (dari
permulaan 1964 hingga pertengahan 1966). Namun, impian itu tinggal impian
karena penulis “terpaku” pada tugas-tugasnya di Kairo. Namun
keterlambatan ini tidak mengurangi rasa suka cita penulis untuk datang ke Gaza,
dan ia berharap untuk dapat datang lagi di masa-masa yang akan datang. Bagi
penulis Gaza adalah sumber perlawanan terhadap penjajahan, dan alangkah
indahnya jika perlawanan itu tidak hanya mengambil bentuk fisik saja, melainkan
juga perlawanan kultural terhadap keadaan. Gaza sudah membuktikan, bahwa
perlawanan kultural adalah kekuatan dahsyat yang mampu melawan tentara
pendudukan yang bersenjatakan M16 dan Uzi, tank-tank terbaru maupun
pesawat-pesawat terbang F16. Dalam penggunaan alat-alat tempur itu,
tampak superioritas tentara Israel yang menyerang dari perbatasan hanya
beberapa puluh kilometer saja di sebelah utara. Tapi setelah setengah abad,
Gaza tetap berdiri sebagai pusat perlawanan bangsa Palestina yang menginginkan
kemerdekaan dan keadilan bagi negeri mereka.
Perjuangan
diplomasi yang dilakukan bangsa Palestina adalah perjuangan hidup dan mati yang
tidak dapat diukur hanya dengan luasnya wilayah ataupun banyaknya penduduk.
Jika telah mencapai kemerdekaan sebagai negara nanti, maka Palestina yang
terdiri dari dua bagian itu yaitu wilayah Gaza sekitar 500 kilometer persegi
dan kawasan Tepi Barat sungai Yordania yang jauh lebih luas. Kedua wilayah itu
akan merupakan entitas pertumbuhan tersendiri, dan jika mampu mengembangkan
ekonominya secara penuh, akan mampu menampung sekitar 1,5 juta orang penduduk
Palestina yang sekarang menjadi warga negara Israel, dan menjadi warga negara
kelas dua di kawasan orang-orang Yahudi tersebut.
Jika
demikian ini yang terjadi, maka akan terjadi dislokasi ekonomi besar-besaran. Sejuta
orang Palestina di Israel, tambah dua juta orang Palestina di berbagai
negara-negara Arab dewasa ini, akan membentuk kekuatan ekonomi tersendiri.
Profesionalisme yang mereka kembangkan, ditambah kewiraswastaan yang memang
sudah ada sejak semula, ditambah dengan kematangan jiwa yang tumbuh dari
keharusan bertahan di bawah serangan fisik yang bertubi-tubi, dan berakhir
penguasaan teknologi karena menjadi buruh di negara orang, akan membuat bangsa
Palestina yang berjumlah sekitar lima juta orang menjadi kelas penunjang yang
sangat tangguh bagi sebuah negara baru.
*****
Namun tak
ada gading yang tak retak, dan ini juga berlaku bagi bangsa Palestina.
Palestina tidak memiliki kepemimpinan yang tanguh dan para pemimpin mereka
saling bertengkar dalam perbedaan strategi dan garis perjuangan. Inilah yang
harus mereka koreksi untuk diperbaiki dalam waktu dekat ini. Bagaimanapun juga,
harus ada strategi perjuangan bagi sebuah bangsa, agar supaya segala macam
energi dan kemampuan yang dimiliki bangsa itu dapat tersalur keluar menjadi
alat perjuangan yang ampuh menghadapi lawan. Menurut penulis, strategi itu
adalah perundingan yang lama dan berkepanjangan dengan pihak Israel, untuk
memperjuangkan kemerdekaan sebagai negara dan keadilan. Tentunya strategi ini
akan dapat diterima oleh pihak Israel, yang telah merasakan sendiri bagaimana
akibat dari terorisme yang dilakukan oeh sejumlah kecil pejuang Palestina yang
berhaluan keras. Mungkin peperangan di udara, aksi-aksi militer di darat maupun
pertarungan di laut akan selalu dimenangkan Israel; tetapi kekerasan
membabi-buta para pejuang “berhaluan keras” itu, terutama dalam bentuk
“pemboman bunuh diri” (suicidal bombings) benar-benar tidak dapat dilawan oleh
dinas keamanan Yahudi itu.
Jadi
melalui cara terburuk dalam sebuah perjuangan, -yaitu melalui terorisme-, telah
membuktikan betapa pihak Israel pun akhirnya harus bersedia berunding dan
melupakan gagasan “Israel Raya” (Eretz Yisrael) yang dahulu dikandung oleh
sejumlah orang Yahudi berhaluan keras pula. Memang bangsa Israel telah mencapai
taraf kemakmuran yang tinggi, tetapi itu semua adalah berkat bantuan yang besar
dari orang-orang Yahudi di manapun mereka berada, terutama di AS. Namun, tidak
ada negara yang maju dalam jangka panjang hanya atas bantuan pihak lain saja.
Karenanya bangsa Israel harus segera mencapai perdamaian dengan orang-orang
Palestina. Hanya dengan cara demikian, anak-anak muda Israel dapat dimanfaatkan
tidak hanya untuk tujuan-tujuan menjaga keselamatan negara, melainkan untuk
mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Sekarang ini saja, setiap
pesawat terbang Israel yang datang dari timur harus berbelok ke selatan di atas
teluk Mumbai, kemudian menyusur lautan India ke barat di selatan Yaman, untuk
kemudian berbelok ke utara di atas laut merah, kemudian memasuki teluk Aqabah
dan baru dapat mencapai negeri mereka di lapangan terbang Ben Gurion di Tel
Aviv dari selatan. Ini sudah menambah bahan bakar seperempat dari kebutuhan,
jika seandainya pesawat-pesawat terbang itu diperkenankan langsung melewati
negara-negara arab. Jadi jelaslah, baik bangsa Palestina maupun Israel,
sama-sama memerlukan perdamaian, bukan? []
Jerusalem,
20 Desember 2003
Duta
Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar