Larangan Memutus Hubungan
Kekeluargaan dalam Islam
Pernahkah Anda mendengar dalam sebuah
kesempatan seorang ibu atau ayah menyebut anak kandungnya sendiri sudah bukan
bagian dari keluarganya lagi? Atau sebaliknya, seorang anak tak lagi mengakui
ayah-ibunya sebagai orang tua lantaran alasan tertentu?
Sikap pemutusan hubungan darah semacam itu
umumnya dipicu oleh gejolak emosional yang tinggi, lepas kendali, dan
egosentrisme. Kasus yang sama juga kadang terjadi pada hubungan antarsaudara
kandung, cucu-kakek, paman-keponakan, dan seterusnya.
Islam melarang keras sikap semacam itu.
Al-Qur’an, Sunnah, dan para ulama sepakat akan pentingnya tali kekeluargaan dan
menilai pengingkaran terhadapnya sebagai perbuatan dosa. Hadratussyekh Muhammad
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, bahkan secara khusus mengarang kitab
berjudul at-Tibyân fî Nahyi ‘an Muqâtha’atil Arhâm wal Aqârib wal Ikhwân
(Penjelasan tentang Larangan Memutus Hubungan Mahram, Kerabat, dan Persaudaraan).
Hadratussyekh dalam penjelasannya mengutip
banyak ayat dan hadits yang menegaskan tentang larangan memutus silaturahim.
Sebagian di antaraya adalah:
وَاتَّقُوا
اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (QS an-Nisâ’: 1)
فَهَلْ
عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا
أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ
أَبْصَارَهُمْ
Artinya: “Maka apakah kiranya jika kamu
berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya
telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (QS Muhammad: 22-23)
Dalam hadits riwayat Abu Syekh disebutkan,
suatu hari Durrah binti Abi Lahab bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah,
siapa manusia terbaik itu?” Nabi menjawab, “Mereka yang paling takwa kepada
Rabb (Allah), yang paling banyak menyambung silaturahim, dan yang paling banyak
amar ma’ruf nahi munkar.”
Silaturahim terdiri dari dua kata, yakni
shilah (sambung) dan rahim (kandungan). Istilah ini merupakan kiasan dari
hubungan nasab atau keturunan. Dengan demikian, silaturahim atau silaturahmi
(versi Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang berarti tali persahabatan, dalam
bahasa Arab bermakna khusus untuk konteks hubungan darah atau keluarga
(kinship).
Menurut Hadratussyekh, yang paling wajib
dilakukan oleh manusia adalah menjaga silaturahim atau tali keluarga dengan orang-orang
yang termasuk kategori mahram (orang yang haram dinikahi), antara lain saudara
kandung, ayah, ibu, kakek, nenek dan terus ke atas, serta paman dan bibi. Lain
halnya dengan anggota keluarga yang bukan mahram semisal sepupu, yang tak
sampai pada level wajib. (Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, at-Tibyân fî
Nahyi ‘an Muqâtha’atil Arhâm wal Aqârib wal Ikhwân dalam Irsyâdus Sârî, tt.
[Jombang: Tebuireng], halaman 9).
Penamaan rahim dalam Islam juga bukan tanpa
maksud. Ia mencerminkan kedudukannya yang sangat istimewa karena seakar kata
dengan salah satu asmâul husnâ (nama-nama Allah yang indah), ar-Rahîm (Yang
Mahapenyayang). Ia menjadi penanda bahwa sesungguhnya manusia lahir dari rahim
kasih sayang dan semestinya menebar kasih sayang itu selama hidup di dunia.
Hadratussyekh juga memaparkan sebuah hadits
qudsi tentang keterkaitan silaturahim dengan silatullâh (hubungan dengan Allah)
sebagia berikut:
قَالَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : أَنَا الرَّحْمَنُ ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ ، وَشَقَقْتُ لَهَا
اسْمًا مِنَ اسْمِي ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ ، وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ
Allah 'azza wajalla berfirman, "Akulah
Sang Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku pula yang mengambilkannya dari
nama-Ku. Barangsiapa menyambung rahim (tali kekeluargaan) maka Aku tersambung
dengannya, dan barangsiapa memutusnya Aku pun terputus darinya. (HR Ahmad,
Tirmidzi, Abu Dawud)
Dalam konteks yang lebih luas, silaturahim
bisa dimaknai sebagai hubungan persaudaraan universal antar-manusia. Tiap
manusia pada dasarnya merupakan keturunan dari leluhur yang sama, yakni Nabi
Adam. Karena itu sudah sepantasnya mereka saling mengasihi satu sama lain dan
senantiasa melestarikan hubungan baik.
Dinamika kehidupan memang kadang menyajikan
kejutan yang tak mengenakkan. Pun dalam relasi kekeluargaan. Dalam situasi ini,
hendaknya seseorang tetap berpikir jernih, tidak gegabah memotong tali
kekeluargaan, sehingga tak hanya merusak keutuhan unit masyarakat paling kecil
itu tapi juga menerobos aturan agama yang amat menjunjung tinggi silaturahim. Wallahu
a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar