Hukum Operasi Plastik dalam
Islam
Operasi plastik dipahami oleh masyarakat umum
sebagai istilah medis yang mengacu pada praktik bedah yang dilakukan pada
bagian tubuh tertentu untuk memperbaiki atau mengembalikan anggota tubuh
tertentu ke bentuk semula atau bentuk yang dikehendaki.
Adapun operasi plastik pada wajah atau face
off dalam istilah medis adalah upaya merekontruksi wajah yang rusak karena
suatu musibah agar kembali seperti semula.
Face off tersebut merupakan penemuan
teknologi kedokteran yang dilakukan dengan sistem bedah dan bila perlu dengan
mengganti bagian wajah yang rusak dengan bagian tubuh lainnya.
Perihal ini pernah diputuskan oleh para kiai
melalui putusan lanjutan bahtsul masail Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah
Al-Waqi’iyyah Munas Alim Ulama di Gedung PBNU Jakarta pada 21-22 Rajab 1427
H/16-16 Agustus 2006 M.
Ketika itu, para kiai mengatakan bahwa
praktik face off ini lebih sering dilakukan oleh kaum perempuan. Dalam Fathul
Bari Syarah Shahihil Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani disebutkan qaul Imam
Ath-Thabari bahwa perempuan tidak boleh mengubah sesuatu dari bentuk asal yang
telah diciptakan Allah SWT, baik menambah atau mengurangi agar kelihatan bagus.
Seperti, seorang perempuan yang alisnya berdempetan, kemudian ia menghilangkan
(bulu alis) yang ada di antara keduanya, agar kelihatan cantik atau sebaliknya
(kelihatan jelek dengan berdempetannya).
Atau seorang perempuan yang memiliki gigi
lebih lalu ia mencabutnya; atau giginya panjang lalu ia memotongnya; atau
perempuan itu berjenggot atau berkumis atau berbulu di bawah bibirnya lalu
mencabutnya; dan seorang perempuan yang rambutnya pendek atau tipis lalu ia
memanjangkannya atau menebalkannya dengan rambut orang lain; Semua itu
adalah termasuk perbuatan yang dilarang, karena mengubah apa yang telah diciptakan
oleh Allah SWT.
At-Thabari berpendapat pula, terkecuali jika
ada bagian tubuh yang menimbulkan madarat dan rasa sakit. Seperti, seorang
perempuan yang memiliki gigi lebih atau giginya panjang yang mengganggunya
ketika makan, atau memiliki jemari lebih yang mengganggunya atau menjadikan
sakit maka boleh mencabut atau memotongnya. Dalam masalah yang terakhir ini,
laki-laki sama dengan perempuan.
Lalu bagaimana hukum face off (merekontruksi
wajah) agar kembali seperti semula. Mereka dalam forum tersebut menyatakan
bahwa merekontruksi wajah agar kembali seperti semula hukumnya boleh mengutip
sejumlah pandangan ulama, salah satunya Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini.
يَجُوزُ
نَقْلُ الْعُضْوِ مِنْ مَكَانٍ مِنْ جِسْمِ الْإِنْسَانِ إِلَى مَكَانٍ آخَرَ مِنْ
جِسْمِهِ مَعَ مُرَاعَاةِ التَّأَكُّدِ مِنْ أَنَّ النَّفْعَ الْمُتَوَقَّعِ مِنْ
هذِهِ الْعَمَلِيَّةِ أَرْجَحُ مِنَ الضَّرَرِ الْمُتَرَتَّبِ عَلَيْهَا
وَبِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ ذلِكَ لِإِيجَادِ عُضْوٍ مَفْقُودٍ أَوْ لِإِعَادَةِ
شَكْلِهِ أَوْ وَظِيْفَتِهِ الْمَعْهُودَةِ لَهُ أَوْ لِإِصْلَاحِ عَيْبٍ أَوْ
إِزَالَةِ دَمَامَةٍ تُسَبِّبُ لِلشَّخْصِ أَذًى نَفْسِيٍّا أَوْ عُضْوِيًّا
Artinya, “Boleh memindah anggota badan dari
satu tempat di tubuh seseorang ke tempat lain di tubuhnya, disertai
pertimbangan matang, manfaat yang diharapkan dari operasi semacam ini lebih
unggul dibanding bahayanya. Disyaratkan pula operasi itu dilakukan untuk
membentuk anggota badan yang hilang, untuk mengembalikannya ke bentuk semula,
mengembalikan fungsinya, menghilangkan cacat, atau menghilangkan bentuk jelek
yang membuat seseorang mengalami tekanan jiwa atau gangguan fisik,” (Lihat
Syekh Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr:
tanpa catatan tahun], jilid VIII, halaman 5124).
Forum lanjutan Munas NU ini juga mengutip
pandangan Syekh Abdul Karim Zaidan, salah seorang guru besar fiqih dan ushul
fiqih di Iraq, perihal operasi medis dalam rangka merekonstruksi wajah atau
anggota tubuh lainnya karena yang cacat karena kecelakaan tertentu.
قَدْ
تُصَابُ الْمَرْأَةُ بِشَيْءٍ مِنَ التَّشْوِيهِ فِي وَجْهِهَا أَوْ بِأَجْزَاءٍ
ظَاهِرَةٍ مِنْ بَدَنِهَا نَتِيجَةَ حَرْقٍ أَوْ جَرْحٍ أَوْ مَرَضٍ وَهذَا
التَّشْوِيهُ لَايُطَاقُ احْتِمَالُهُ لِمَا يُسَبِّبُهُ مِنْ أَدًى مَعْنَوِيٍّ
لِلْمَرْأَةِ فَهَلْ يَجُوزُ إِجْرَاءُ عَمَلِيَّاتٍ جِرَاحِيَّةٍ لِإِزَالَةِ
هَذَا التَّشْوِيهِ وَلَوْ أَدَّتْ هَذِهِ الْعَمَلِيَّاتُ إِلَى شَيْءٍ مِنَ
التَّحْسِينِ وَالتَّجْمِيلِ لِأَنَّ الْقَصْدَ الْأَوَّلَ إِزَالَةُ التَّشْوِيهِ
الَّذِي حَصَلَ وَحَتَّى لَوْ قَصَدَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ إِجْرَاءٍ مِنْ هذِهِ
الْعَمَلِيَّاتِ تَحْصِيلُ شَيْءٍ مِنَ التَّحْسِينِ بِإِزَالَةِ هذَا
التَّشْوِيهِ فَتَبْقَى هذِهِ الْعَمَلِيَّاتُ فِي دَائِرَةِ الْمُبَاحِ لِأَنَّ
رَغْبَةَ الْمَرْأَةِ فِي تَحْسِينِ وَجْهِهَا جَائِزَةٌ جَاءَ فِي فِقْهِ الْحَنَابِلَةِ
وَلَهَا حَلْقُ وَجْهٍ وَحَفِّهِ وَتَحْسِينِهِ وَتَحْمَيرِهِ
Seorang perempuan terkadang mengalami suatu
cacat di muka, atau anggota badannya yang luar, akibat luka bakar, luka robek,
atau penyakit lain. Cacat ini tidak bisa dibiarkan oleh seorang perempuan
karena menyebabkan tekanan batin baginya. Maka apakah ia boleh menempuh operasi
untuk menghilangkannya? Operasi tersebut boleh ditempuhnya, meskipun akan
mengarah pada mempercantik dan memperelok diri. Sebab, tujuan utamanya
menghilangkan cacat. Bahkan, andaikata dengan operasi itu ia berniat untuk
mempercantik diri dengan hilangnya cacat tersebut, maka operasi itu tetap dalam
taraf diperbolehkan. Sebab kecenderungan perempuan mempercantik wajahnya
diperbolehkan. Dalam fiqh madzhab Hanbali ada keterangan, ‘Bagi perempuan boleh
mencukur (rambut) wajah, mengikisnya sampai habis, mempercantik dan
memerahkannya,’” (Lihat Syekh Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil
Mar’ah wa Baitil Mal, [Beirut, Muassasatur Risalah: tanpa catatan tahun] jilid
III, halaman 410).
Keterangan dari Syekh Abdul Karim Zaidan ini
juga membolehkan operasi plastik dalam rangka mempercantik diri di
klinik-klinik kecantikan. Syekh Abdul Karim Zaidan memandang bahwa operasi
plastik untuk pada wajah demi kecantikan masih dalam batas-batas kewajaran yang
dibenarkan oleh syariat sebagaimana dikutip dari pandangan Mazhab Hanbali.
Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar