Amanat Ketum PBNU Menyambut Hari Santri 2018
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم
الله الحمد لله الصلاة والسلام على سيدنا ومولانا وحبيبنا وشفيعنا محمد رسول الله
وعلى
اله وصحابته ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا إلى يوم النهضة. أما بعد
Hari ini, tiga tahun lalu, Presiden Republik
Indonesia Ir. H. Joko Widodo menerbitkan keputusan bersejarah. Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 22 Oktober 2015 tentang
Hari Santri. Keputusan yang bertepatan dengan tanggal 9 Muharram 1437 Hijriah
itu merupakan bukti pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam
perjuangan merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Republik
Indonesia. Itulah mengapa keluarga besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat
Indonesia saat ini mengekspresikan rasa syukur dengan memperingati Hari Santri.
Pengakuan terhadap kiprah ulama dan santri
tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadaratussyekh KH Muhammad
Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Di hadapan
konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, di Kantor Hoofdbestuur
Nahdlatoel Oelama, Jalan Boeboetan VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi Jihad NU
digaungkan Hadaratussyekh dengan pidato yang menggetarkan:
“...Berperang menolak dan melawan
pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang
Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang
berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh.
Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe
djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian
sadja…).”
Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato
Hadaratussyekh itu, tidak akan pernah ada peristiwa heroik perlawanan rakyat
tanggal 10 November di Surabaya yang kelak dikenal dan diperingati sebagai Hari
Pahlawan.
Kiprah santri teruji dalam mengokohkan
pilar-pilar NKRI berdasarkan Pancasila dan bersendikan Bhinneka Tunggal Ika.
Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari berbagai ancaman. Tahun
1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Dârus
Salâm. Pernyataan ini adalah legitimasi fiqih berdirinya NKRI berdasarkan
Pancasila. Tahun 1945, demi persatuan dan kesatuan bangsa kaum santri setuju
menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Tahun 1953, kaum santri memberi gelar
Presiden Indonesia Ir. Soekarno sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah,
pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak DI/TII
sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda
depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme.
Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori
penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus
nasional (mu’âhadah wathaniyyah). Selepas Reformasi, kaum santri menjadi
bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari
khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa—bukan negara agama, bukan negara
suku— yang mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di
hadapan konstitusi, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan
golongan.
Untuk menginsafkan semua pihak dan
mengingatkan kita sendiri selaku kaum santri, kenyataan itu perlu diungkapkan:
betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa
kiprah kaum santri, dengan sikap sosialnya yang moderat (tawassuth),
toleran (tasâmuh), proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl),
dan wajar (iqtishâd), NKRI belum tentu eksis hingga hari ini.
Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika sekarang remuk dan porak
poranda karena ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam
wasathiyyah.
Momentum Hari Santri hari ini perlu
ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham kebangsaan yang bersintesis
dengan keagamaan. Spirit “nasionalisme bagian dari iman” (حب الوطن من الايمان)
perlu terus digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang
mempertentangkan Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak bisa
dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama mustahil tanpa berpijak di atas
tanah air, karena itu Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari
Santri juga harus digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan,
asketisme dan spiritualisme yang melekat sebagai karakter kaum santri. Etos ini
penting di tengah merebaknya korupsi, narkoba, LGBT dan hoaks yang mengancam
masa depan bangsa.
Hari ini santri juga hidup di tengah era
digital. Internet adalah bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan
manusia sejagat dalam dunia maya. Ia punya aspek manfaat dan mudharat yang sama
besar. Internet dapat digunakan untuk menebarkan pesan-pesan kebaikan dan
dakwah Islam, tetapi juga bisa dipakai untuk merusak harga diri dan martabat
kemanusiaan dengan ujaran kebencian, fitnah dan hoaks. Santri perlu
‘memperalat’ teknologi informasi sebagai media dakwah dan sarana menyebarkan
kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan
dengan upaya untuk menjaga agama (حفظ الدين والعقل), jiwa (حفظ النفس), nalar (حفظ
العقل), harta (حفظ المال),
keluarga (حفظ النسل), dan martabat (حفظ العرض) seseorang. Kaidah fiqih: al-muhâfadhah
ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah senantiasa relevan
sebagai bekal kaum santri menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Singkatnya, santri harus siap mengemban
amanat yang sangat berat, namun mulia: yaitu amanah agama dan tanah air. Juga
amanah kalimatul haq. Berani mengatakan “iya” terhadap kebenaran walaupun semua
orang mengatakan “tidak” dan sanggup menyatakan “tidak” pada kebatilan walaupun
semua orang mengatakan “iya”. Itulah karakter dasar santri sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzaab ayat 72 yang bumi, langit dan gunung
tidak berani memikulnya.
إِنَّا
عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ
أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah amanatkan kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Alhamdulillah, selama ini santri sanggup
mengemban amanat ini. Terbukti, walaupun Mbah Hasyim Asy’ari disiksa Jepang
untuk hormat ke arah matahari terbit (seikerei), beliau tegas menolak.
Kiai Wahid Hasyim hingga Gus Dur juga demikian, selalu menyatakan kalimatul
haq, tidak pernah tergiur dengan godaan duniawi apa pun.
Untuk itu kaum santri jangan pernah
sekali-kali tertipu godaan dunia dan terperdaya syaitan. Berterik lantang
seakan-akan berjuang demi agama, demi Allah SWT, demi bangsa, demi negara,
untuk menegakkan kalimatul haq. Padahal sejatinya yang dilakukan
merupakan bentuk tipu daya kehidupan dunia dan sedang manari di atas gendang
syaitan.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Fathiir ayat 5:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah
benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan
sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang
Allah.”
Khusus untuk anak-anakku para Santri yang
saat ini turut larut dalam kegembiraan perayaan Hari Santri, kalian adalah
bagian penting sejarah perubahan bangsa Indonesia mendatang. Nikmati
kesederhanaan hidup di Pesantren, meskipun makan dengan lauk seadanya dan
sehari-hari mengenakan sarung dan sandal jepit. Sebab, tempaan yang kalian
terima di pesantren akan menjadi bagian penting sejarah hidup kalian untuk
menjadi pribadi yang mandiri, berempati dan berkarakter. Suatu pribadi yang
dibutuhkan dalam penegakan agama, pengelolaan bangsa dan negara
Akhirnya, mewakili santri se-Nusantara, saya
Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan terima
kasih kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo yang sudah menetapkan hari santri
sebagai hari nasional. Saya tegaskan, penetapan hari santri bukan intervensi
pemerintah terhadap pesantren. Tetapi merupakan bentuk penghargaan kepada
santri dan kaum pesantren yang terus menanamkan keluhuran akhlak dan
kemandirian sebagai jati dirinya, sehingga membentuk karakter bangsa.
Peringatan Hari Santri tahun 2018 ini juga
terasa begitu istimewa. Karena seiring peringatan hari santri tahun keempat ini
ditetapkan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai RUU usul
inisiatif DPR. Penetapan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini kita nilai
sebagai berkah dan karunia agung dari Allah SWT. Nahdlatul Ulama bersyukur dan
menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
berjuang melahirkan rancangan undang-undang ini di DPR.
Akhirnya, mari kita berjuang bersama. Agar
santri tidak hanya menjadi shoutul haq, melainkan sekaligus menjadi qororul haq
(pemegang kebijakan). Selamat Hari Santri 2018. Terima kasih Presiden Jokowi.
شكرا
ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله
الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar