Selasa, 30 Oktober 2018

(Ngaji of the Day) Hari Santri: Tinjauan Fiqih atas Fatwa Resolusi Jihad


Hari Santri: Tinjauan Fiqih atas Fatwa Resolusi Jihad

Gegap gempita peringatan Hari Santri melanda seluruh pelosok negeri. Berbagai aktivitas dan acara peringatan Hari santri dari tahun ke tahun memang semakin semarak, sejak Presiden Ir H Joko Widodo meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Namun demikian apa spirit utama dari Hari Santri sebenarnya sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada sekarang?

Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari

Hari santri tidak bisa lepas dari Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari. Fatwa jihad yang dimaksud bukan Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945, akan tetapi fatwa jihad sebulan sebelumnya yaitu pada tanggal 24 (atau dalam sebagian versi 14 atau 17) September 1945. Fatwa tersebut memuat tiga poin penting, yaitu: 


1. Hoekoemnja  memerangi  orang  kafir  jang  merintangi  kepada kemerdekaan  kita  sekarang  ini  adalah  fardoe ‘ain  bagi  tiap2 orang  Islam jang moengkin meskipun bagi orang fakir.

2. Hoekoemnja orang  jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplot2nja, adalah mati syahid.

3. Hoekoemnja orang  jang  memetjah  persatoean  kita  sekarang  ini  wajib diboenoeh.

Hukum memerangi penjajah adalah wajib, bila mati maka syahid dan pemecah belah persatuan bangsa wajib dibunuh. Inilah tiga substansi Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh Syekh KH M Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, yang nyata-nyata mewariskan spirit bela NKRI dan lawan pemecah belah negeri. 

Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama 

Demikian pula Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama juga mewariskan spirit bela NKRI dan lawan pemecah belah negeri. Hal ini tampak dalam Resoloesi N.U. Tentang Djihad fi Sabilillah yang dirumuskan dalam Rapat Besar Wakil-wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpoenan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, yang memutuskan dua hal penting, yaitu:

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannya.

2. Supaja memerintahkan melandjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Mungkin ada yang berasumsi, secara harfiah Resolusi Jihad NU hanya menampakkan spirit bela NKRI, dan tidak secara terang-terangan menampakkan semangat melawan pemecah belah negeri. Namun asumsi ini terbantahkan dengan pidato berbahasa Arab Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari selepas ditetapkannya Resolusi Jihad, sebagaimana catatan KH Saifuddin Zuhri, yang terjemahnya adalah:

“Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah ... Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian uat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambutpun. Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya ... Maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapapun orangnya.” (Lihat KH Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, [Jakarta, Gunung Agung: 1987], halaman 339-343).

Dari pidato ini tampak nyata bahwa Resolusi Jihad juga jelas-jelas membawa semangat melawan pemecah belah negeri. Sebagai seorang ahli fikih dan ahli hadits, tentu Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari punya dasar-dasar yang kuat dalam merumuskan fatwa dan resolusi jihad tempo dulu.

Bukankah, Rasulullah SAW juga pernah memberi legalitas membunuh para pembangkang negara dalam sabdanya? 

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. رواه مسلم.

Artinya, “Tidak halal jiwa seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alla dan Aku adalah utusan-Nya, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang mempunyai pasangan sah namun berzina, jiwa dibunuh karena membunuh jiwa lain, dan orang yang meninggalkan agama yang memisahkan diri dari jamaah,” (HR Muslim).

Di mana kemudian kalimat “orang yang meninggalkan agama yang memisahkan diri dari jamaah” oleh Imam An-Nawawi dipahami mencakup setiap orang yang keluar dari jamaah (ketaatan terhadap negara) dengan melakukan bid’ah, pemberontakan atau penyimpangan-penyimpangan lainnya, (Lihat Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, [Bairut, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi: 1392 H], cetakan kedua, juz XI, halaman 165)

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa, spirit utama Hari Santri adalah jaga nkri, lawan pemecah belah negeri. []

Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar