Hari Santri: Tinjauan Fiqih
atas Fatwa Resolusi Jihad
Gegap gempita peringatan Hari Santri melanda
seluruh pelosok negeri. Berbagai aktivitas dan acara peringatan Hari santri
dari tahun ke tahun memang semakin semarak, sejak Presiden Ir H Joko Widodo
meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.
Namun demikian apa spirit utama dari Hari Santri sebenarnya sehingga dapat
diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada sekarang?
Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim
Asy’ari
Hari santri tidak bisa lepas dari Fatwa Jihad
Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari. Fatwa jihad yang dimaksud bukan Resolusi
Jihad NU 22 Oktober 1945, akan tetapi fatwa jihad sebulan sebelumnya yaitu pada
tanggal 24 (atau dalam sebagian versi 14 atau 17) September 1945. Fatwa
tersebut memuat tiga poin penting, yaitu:
1. Hoekoemnja memerangi
orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan
kita sekarang ini adalah fardoe ‘ain bagi
tiap2 orang Islam jang moengkin meskipun bagi orang fakir.
2. Hoekoemnja orang jang meninggal
dalam peperangan melawan NICA serta komplot2nja, adalah mati syahid.
3. Hoekoemnja orang jang
memetjah persatoean kita sekarang ini wajib
diboenoeh.
Hukum memerangi penjajah adalah wajib, bila
mati maka syahid dan pemecah belah persatuan bangsa wajib dibunuh. Inilah tiga
substansi Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh Syekh KH M Hasyim Asy’ari di
Tebuireng Jombang, yang nyata-nyata mewariskan spirit bela NKRI dan lawan
pemecah belah negeri.
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama
Demikian pula Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama
juga mewariskan spirit bela NKRI dan lawan pemecah belah negeri. Hal ini tampak
dalam Resoloesi N.U. Tentang Djihad fi Sabilillah yang dirumuskan dalam Rapat
Besar Wakil-wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpoenan Nahdlatul Ulama seluruh
Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, yang memutuskan dua
hal penting, yaitu:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah
Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta
sepadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan
Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannya.
2. Supaja memerintahkan melandjutkan
perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia
Merdeka dan Agama Islam.
Mungkin ada yang berasumsi, secara harfiah
Resolusi Jihad NU hanya menampakkan spirit bela NKRI, dan tidak secara
terang-terangan menampakkan semangat melawan pemecah belah negeri. Namun asumsi
ini terbantahkan dengan pidato berbahasa Arab Hadhratus Syekh KH M Hasyim
Asy’ari selepas ditetapkannya Resolusi Jihad, sebagaimana catatan KH Saifuddin
Zuhri, yang terjemahnya adalah:
“Apakah ada dari kita orang yang suka
ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia
mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada
kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah ... Demikianlah,
maka sesungguhnya pendirian uat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan
dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada
mereka, tidak akan surut seujung rambutpun. Barang siapa memihak kepada kaum
penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan
mengacau barisannya ... Maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang
sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapapun orangnya.” (Lihat
KH Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, [Jakarta, Gunung Agung: 1987],
halaman 339-343).
Dari pidato ini tampak nyata bahwa Resolusi
Jihad juga jelas-jelas membawa semangat melawan pemecah belah negeri. Sebagai
seorang ahli fikih dan ahli hadits, tentu Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari
punya dasar-dasar yang kuat dalam merumuskan fatwa dan resolusi jihad tempo
dulu.
Bukankah, Rasulullah SAW juga pernah memberi
legalitas membunuh para pembangkang negara dalam sabdanya?
لاَ
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي
رَسُولُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ
بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. رواه مسلم.
Artinya, “Tidak halal jiwa seorang muslim
yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alla dan Aku adalah utusan-Nya, kecuali
karena salah satu dari tiga hal: orang yang mempunyai pasangan sah namun
berzina, jiwa dibunuh karena membunuh jiwa lain, dan orang yang meninggalkan
agama yang memisahkan diri dari jamaah,” (HR Muslim).
Di mana kemudian kalimat “orang yang
meninggalkan agama yang memisahkan diri dari jamaah” oleh Imam An-Nawawi
dipahami mencakup setiap orang yang keluar dari jamaah (ketaatan terhadap
negara) dengan melakukan bid’ah, pemberontakan atau penyimpangan-penyimpangan
lainnya, (Lihat Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin
Al-Hajjaj, [Bairut, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi: 1392 H], cetakan kedua, juz
XI, halaman 165)
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa,
spirit utama Hari Santri adalah jaga nkri, lawan pemecah belah negeri. []
Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar