Selasa, 09 Oktober 2018

BamSoet: Mengejar Ketertinggalan, Mewujudkan Pemerataan


Mengejar Ketertinggalan, Mewujudkan Pemerataan
Oleh: Bambang Soesatyo

AMBIVALEN, tidak pro­porsional, dan cen­derung me­nye­sat­kan; itulah yang bisa dimaknai dari sikap se­jum­lah kalangan yang me­nya­lah­kan pemerintah karena terus mengakselerasi pem­ba­ngunan infrastruktur. Pun me­nye­dih­kan karena esensi kri­tik-kritik itu bertolak belakang dengan apre­siasi publik yang mulai me­rasakan manfaat dari pem­ba­ngun­an infrastruktur saat ini.

Bagi para praktisi bisnis, akselerasi pembangunan in­fras­truktur saat ini merupakan upa­ya mengejar ketertinggalan Indo­nesia jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Se­dangkan bagi masyarakat ke­ba­nyakan, terutama di luar Jawa, pembangunan infrastruktur di Sumatera, Kalimantan, Sula­we­si, hingga Papua serta Nusa Teng­gara Barat dan Timur (NTB-NTT) adalah upaya dan kerja negara mewujudkan pe­me­rataan pembangunan. Keti­ka memulai masa kepresi­de­nannya, Presiden Joko Widodo sudah menegaskan bahwa pe­merintahannya menerapkan pembangunan yang ber­orien­ta­si Indonesiasentris.

Sesuai karakter geografis negara, visi Indonesiasentris tentu saja diawali dengan kerja negara melengkapi pulau-pu­lau lain di luar Jawa dengan ra­gam infrastruktur yang relevan dengan kebutuhan daerah. Je­las bahwa ada tujuan sangat stra­tegis yang ingin dicapai ke­ti­ka pemerintah bersikukuh te­rus membangun infrastruktur seperti jalan, jaringan rel kereta api, pelabuhan, tol laut, bandar udara, meningkatkan rasio elek­trifikasi nasional, hingga realisasi proyek Palapa Ring timur-barat.  Semua proyek infrastruktur itu bertujuan meng­hubungkan pelosok-pe­losok daerah yang sebelumnya terisolasi agar  bisa terkoneksi dengan daerah lain demi ter­wu­judnya kontinuitas wilayah Negara Kesatuan Republik In­do­­nesia (NKRI) yang terben­tang dari Sabang hingga Me­rau­ke. Inilah nilai tambah paling utama dari akselerasi pem­ba­ngun­an infrastruktur itu. Jadi, bukan asal mem­bangun.

Sudah barang tentu semua infrastruktur itu menjadi fak­tor pendukung aktivitas ma­sya­rakat, mulai dari kegiatan so­sial, budaya, hingga aktivitas eko­nomi, utamanya melan­car­kan lalu lintas barang dan jasa.

Kebutuhan Daerah 

Keberanian politik meng­akse­lerasi pembangunan infra­struktur itu sudah ditunjukkan. Dalam dokumen Rencana Pem­bangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pembangunan infrastruktur me­nargetkan tercapainya pe­nu­runan biaya logistik dari 23,5% ke 19%. Target ini coba diwujudkan melalui pe­nye­dia­an 2.650 kilometer jalan, pem­ba­ngunan 3.258 kilometer jalur kereta api, pengembangan 24 pelabuhan, pembangunan 15 bandara baru, serta ketahanan energi melalui penyediaan 35.000 MW listrik, pem­ba­ngun­an kilang minyak baru, dan penyediaan layanan broad­band  di seluruh penjuru Tanah Air.

Sebagian proyek infra­struktur dalam RPJMN 2015-2019 itu sudah memasuki tahap realisasi. Ada yang sudah sele­sai, lainnya masih dira­m­pung­kan. Tercatat di Kalimantan ada 24 proyek, di Sulawesi 27 pro­yek, di Maluku dan Papua 13 pro­yek, di Sumatra 61 proyek, dan sejumlah proyek di NTB serta NTT.

Realisasi semua proyek itu pasti menghadapi kendala dan risiko pembiayaan. Salah satu kendala yang paling menonjol adalah pembebasan tanah. Se­dang­kan risiko pembiayaan mulai terlihat belakangan ini, terutama sejak terjadi gejolak nilai tukar valuta, khususnya depresiasi rupiah terhadap do­lar AS. Lalu, apakah program pembangunan infrastruktur yang digagas pemerintah itu harus dipersalahkan hanya karena rupiah mendadak ter­de­presiasi?

Benar bahwa ada dampak dari depresiasi rupiah terhadap pembiayaan proyek-proyek infrastruktur. Karena adanya dampak itulah, pemerintah me­lakukan penyesuaian di sana-sini, termasuk menunda rea­li­sa­si puluhan proyek yang ter­daf­tar dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Tetapi, penye­suaian-penyesuaian yang wajar se­perti itu jangan dijadikan alas­an untuk menilai rencana dan realisasi pembangunan infrastruktur sebagai kebijakan yang ngawur. Kalau gejolak nilai tukar tidak terjadi sekarang, apakah pembangunan infra­struktur juga akan tetap dinilai ngawur?

Hampir lebih dari dua de­kade lamanya sejumlah eko­nom atau pakar, bahkan juga para praktisi bisnis melihat, me­nilai hingga mengeluhkan mi­nim­nya ragam infrastruktur di dalam negeri. Dan, selama itu pula, persoalan infrastruktur hanya diomongkan, didis­ku­si­kan, atau diseminarkan.   Kalau sekarang ada yang cenderung menyalahkan inisiatif pem­ba­ngunan infrastruktur, mereka ambivalen.

Sudah menjadi fakta betapa tertinggalnya Indonesia diban­ding banyak negara lain. Banyak potensi daerah tidak bisa di­mak­simalkan nilai tambahnya akibat minimnya infrastruktur. Amati juga ketimpangan in­fra­struktur antara Jawa dengan luar Jawa. Untuk rentang waktu yang sangat lama, jalan bebas hambatan (tol) hanya ada di be­berapa provinsi atau kota di Ja­wa. Kota dan provinsi lain di luar Jawa bahkan tak pernah tahu kapan bisa dilengkapi dengan infrastruktur serupa. Maka, jalur jalan Trans Sumatera, Trans Kalimantan, dan Trans Su­lawesi patut dimaknai s­e­ba­gai upaya negara mewujudkan pemerataan pembangunan infra­struktur.

Inisiatif pemerataan pem­bangunan itu sudah direa­li­sa­si­kan. Karena belum seluruhnya rampung, suarakanlah kritik yang proporsional dan tidak menyesatkan. Proyek-proyek infrastruktur itu sangat dibu­tuh­kan oleh semua daerah se­hingga tak layak untuk diper­sa­lahkan. Bukankah Indonesia sedang mengejar keter­ting­gal­an infrastruktur? []

KORAN SINDO, 8 Oktober 2018
Bambang Soesatyo | Ketua DPR RI; Wakil Ketua Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar