Praktik Transaksi Murabahah dalam
Perbankan Syariah
Jual beli murabahah, biasanya diistilahkan oleh
pihak perbankan syari’ah sebagai profit and lost sharing, yaitu praktik berbagi
keuntungan dan/kerugian atas resiko usaha antara pihak pemodal (nasabah) dengan
pihak yang dimodali (bank). Praktik murabahah ini didasarkan pada keputusan
Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Sebagaimana dulu pernah disampaikan, bahwa bai’
murabahah merupakan mekanisme jual beli alternatif pengganti dari sistem kredit
(utang) yang biasa dipakai oleh perbankan konvensional berikut sistem riba
utang (riba nasiah). Produk murabahah merupakan produk pembiayaan (funding)
yang paling banyak diterapkan oleh Perbankan Syariah dalam berbagai
aktivitasnya. Berdasarkan laporan Buku Standart Produk Murabahah yang diterbitkan
oleh Departemen Perbankan Syariah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diakui
bahwa 60 persen produk pembiayaan perbankan syari’ah bergantung pada produk
murabahah ini. Inilah makanya, untuk kasus perbankan syari’ah, selalu berkaitan
dengan praktik diferensiasi murabahah ini.
Murabahah diterapkan melalui mekanisme jual
beli barang secara cicilan (muajjalan) dengan penambahan margin keuntungan bagi
bank. Margin ini sifatnya adalah tetap (konstan), meski terdapat keterlambatan
cicilan dari pihak yang diberi modal oleh perbankan. Ini yang membedakannya
dari sistem bunga pada perbankan konvensional yang akan senantiasa bertambah
seiring waktu berjalan. Hanya saja, kemudian ada beban ta’zir (denda) yang
nantinya akan diberlakukan oleh perbankan syariah kepada nasabah yang dimodali
tersebut sebagai akibat dari keterlibatannya. Namun, ada kontradiksi terkait
dengan denda ini dari aspek fiqihnya. Kelak, akan diulas juga dalam
tulisan-tulisan berikutnya.
Dalam Fatwa DSN MUI No. 4 Tahun 2000, produk
pembiayaan murabahah diperkenalkan seiring dengan kebutuhan masyarakat terhadap
bantuan penyaluran dana dari bank, dengan minat bebas riba. Untuk menampungnya,
akhirnya ditawarkan praktik jual beli. Dalam praktik jual beli ini, bank
syariah berperan selaku penjual, sedangkan nasabah / masyarakat yang
membutuhkan berperan sebagai pembeli. Adapun kesepakatan harga dibangun dengan
kesepakatan antara keduanya, sehingga harga beli barang sudah ditentukan
besarannya di muka. Harga beli ini sudah ditambah dengan keuntungan bagi bank
atas barang yang dijual tersebut sebagai laba jual-beli. Selanjutnya, pembeli
membeli barang tersebut dengan harga cicilan. Legitimasi terhadap bolehnya
praktik ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 280, yaitu:
وإن كان
ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة
Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan.”
Rupanya keputusan Fatwa tersebut menjadikan
ayat ini sebagai bagian dari dalil ashal muamalat murabahah, sehingga kemudian
dihadirkan qaidah fiqhiyah di dalamnya:
الأصل في
المعاملات الإباحة إلا أن يدل الدليل على تحريمها
Artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah
adalah boleh kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Adapun salah satu dasar dari kitab turats
(literatur tradisional) yang dipakai dalam fatwa tersebut, adalah pendapat Ibnu
Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid (2/161):
أجمع
جمهور العلماء على أن البيع صنفان : مساومة ، ومرابحة . وأن المرابحة هي أن يذكر
البائع للمشتري الثمن الذي اشترى به السلعة ، ويشترط عليه ربحا ما للدينار أو
الدرهم
Artinya: “Para ulama telah berijma’ bahwasanya
jual beli ada dua, yaitu: musawamah dan murabahah. Murabahah terjadi jika
penjual menyebutkan sebuah harga barang kepada pembelinya, kemudian disertai
syarat laba dalam rupa dinar atau dirham.”
Berdasarkan ibarat di atas, para ulama
bersepakat bahwasannya jual beli musawamah dan murabahah adalah yang
diperbolehkan oleh syara’. Namun, dalam kelanjutan teks itu, ada mahal khilaf
(perbedaan pendapat) ulama dalam praktik murabahah, yaitu pada aspek
penentuan harga beli. Lebih jelasnya, bisa disimak pada kitab yang sama sebagai
berikut:
واختلفوا
من ذلك بالجملة في موضعين : أحدهما : فيما للبائع أن يعده من رأس مال السلعة مما
أنفق على السلعة بعد الشراء مما ليس له أن يعده من رأس المال . والموضع الثاني : إذا كذب البائع للمشتري فأخبره
أنه اشتراه بأكثر مما اشترى السلعة به ، أو وهم فأخبر بأقل مما اشترى به السلعة ،
ثم ظهر له أنه اشتراها بأكثر .
Artinya: “Terjadi khilaf di kalangan ulama’
pada praktik jual beli musawamah dan murabahah dalam dua hal, yaitu: 1) cara
penjual menghitung harga pokok barang yang diberikan setelah terjadinya
pembelian dengan hitungan yang bukan harga pokok sebenarnya dari barang
tersebut. 2). Ketika penjual (sengaja) berbohong kepada pembelinya dengan jalan
memberitahukan harga pokok lebih besar dari harga sebenarnya, atau sebaliknya
terjadi keraguan, sehingga penjual memberitahu pembeli dengan harga pokok lebih
rendah dari harga sebenarnya, padahal harga sebenarnya lebih besar.”
Konteks dari berlakunya ibarat ini adalah
bilamana antara kedua belah pihak, yakni perbankan dan nasabahnya sama-sama
tidak tahu seberapa besar harga dasar (ra’su al-mâl). Namun, bilamana kedua belah
pihak sama-sama mengetahui harga dasar-nya, maka para ulama’ sama-sama
bersepakat dalam kebolehannya.
Mengantisipasi kasus khilaf di atas, Majelis
Ulama Indonesia memberikan beberapa pedoman pelaksanaan yang harus dipatuhi
oleh perbankan, yaitu:
1. Bank harus membeli sendiri barang yang
dibutuhkan oleh nasabah
2. Bank menjual barang yang sudah dibelinya
kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga pembelian ditambah
keuntungan. Dalam hal ini, pihak bank diwajibkan memberi tahu pihak nasabah
secara jujur harga pokok barang (ra’su al-mâl) ditambah dengan biaya yang
diperlukan dalam membelinya (transport/ongkos kirim barang).
3. Bilamana pihak Bank tidak bisa melakukan
pembelian sendiri, pihak bank bisa menyuruh pihak ketiga mewakilinya untuk
membelikan, dan selanjutnya aqad murabahah dilakukan setelah barang diterima
oleh perbankan.
Mencermati terhadap ketentuan ini, sejatinya
upaya perbankan keluar dari khilaf ini bisa dibenarkan dari sisi fiqih
turatsnya, karena sudah ada unsur kehati-hatian di dalamnya, yakni kehadiran
barang yang dibeli ditambah dengan kemungkinan biaya tambahan lainnya berupa
transportasi atau jasa pihak ketiga.
Bagaimana selanjutnya aqad jual beli murabahah
ini dilaksanakan oleh nasabah dan perbankan, serta bagaimana mekanisme
pembeliannya. Insyaallah akan disampaikan dalam tulisan berikutnya. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Kab. Gresik, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar