Kamis, 18 Oktober 2018

Azyumardi: Islam, Finlandia, dan Indonesia (2)


Islam, Finlandia, dan Indonesia (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Perkembangan politik Finlandia terkait Islam dalam banyak hal positif dan kondusif terhadap Islam. Meski jumlah kaum Muslim hanya sekitar 60 ribu dari sekitar 5,5 juta penduduk Finlandia, keadaan mereka lebih aman dan harmonis dibandingkan saudara-saudara seiman di negara-negara Eropa tertentu yang menghadapi peningkatan Islamofobia secara signifikan.

Memang kebanyakan Muslim Finlandia adalah migran atau keturunan migran yang mulai datang dalam jumlah signifikan sejak 1990-an. Penduduk Muslim ‘asli’ Finlandia adalah keturunan bangsa Tatar (dalam bahasa Finlandia disebut ‘Suomen Tatarit dan dalam bahasa Swedia dipanggil ‘Finlandska Tatarer). Nenek moyang Muslim Tatar Finlandia datang ke Finlandia sejak awal abad 19.

Banyak di antara generasi pertama mereka bekerja sebagai tentara atau pegawai pemerintahan otonom Finlandia di bawah kekuasaan Tsar Rusia. Generasi selanjutnya banyak yang menjadi petani dan pedagang di berbagai kota besar dan kecil di Finlandia.

Oleh karena itu, kaum Muslim Tatar Finlandia cukup mapan secara ekonomi seperti terlihat dalam figur Atik Ali yang memiliki gedung berlantai tujuah di pusat kota Hensinki; lantai paling atas gedung ini dijadikan masjid, dan ruang seminar di mana Dialog Antaragama dan Antarmedia diselenggarakan (17 September 2018).

Warga Muslim Tatar yang menonjol secara ekonomi dapat ditemukan tidak hanya di Finlandia, tapi juga di Rusia dan Polandia misalnya. Oleh karena itu, sebagai contoh, dermawan kaya Tatar yang menjadi tulang punggung utama pembangunan Masjid Kathedral yang besar dan indah di Moskow.

Kaum Muslim Tatar dapat dikatakan sudah sepenuhnya terintegrasi dalam masyarakat non-Muslim lokal, baik secara ekonomi maupun budaya. Namun, mereka tetap teguh mempertahankan identitas keislaman. Pada 1925 mereka mendirikan organisasi Suomen Islam Seurakunta (Finlandiya Islam Cemaati); mendapat pengakuan dari pemerintah, Finlandia menjadi negara pertama Eropa yang mengakui organisasi komunitas Muslim. Mereka memiliki masjid tak hanya di Helsinki, tapi juga di Tampere dan Turku.

Memandang posisi kaum Muslim Tatar Finlandia itu, tidak heran Dialog Antaragama dan Antarmedia I Indonesia-Finlandia diselenggarakan Direktorat Diplomasi Publik, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemenlu RI dengan peran penting tokoh Muslim Tatar, Atik Ali yang juga ketua Jaringan Muslim dan Majelis Antaragama Finlandia (CORE). Dialog diselenggarakan sehari penuh di ruang konferensi gedung berlantai tujuh milik Atik Ali.

Dialog Antaragama menampilkan para pembicara Indonesia dan beberapa tokoh gereja Protestan, Katolik, dan Yahudi. Para pembicara Indonesia (Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Staf Khusus Presiden RI untuk Urusan Agama di tingkat internasional; Gomar Gultom MA, Sekjen PGI; DR Philip K. Wijaya, pimpinan Permabudhi, Buddha; Uni Zulfiani Lubis, Pemred IDN News, dan penulis Resonansi ini) berbagi pengalaman terbaik Indonesia mengembangkan kerukunan dan harmoni di antara umat beragama berbeda.

Sementara, para pembicara Finlandia banyak mengulas tentang situasi kondusif di negara ini. Tidak hanya ada jaminan konstitusional kebebasan beragama, tetapi juga pendidikan agama menjadi pelajaran wajib sejak pendidikan dasar sampai menengah. Sedangkan, gurunya yang disediakan sekolah harus seagama dengan muridnya.

Namun, para pembicara Finlandia juga menyinggung tantangan menghadapi perubahan politik, ekonomi, dan media di Eropa yang sedikit banyak berdampak pada kehidupan umat beragama di Finlandia. Meningkatnya politik identitas ultrakanan antimigran dan anti-Muslim di bagian Eropa lain yang contagious—menyebar menjangkiti wilayah lain seperti Finlandia—merupakan salah satu tantangan utama yang memerlukan kerja sama di antara umat beragama berbeda dan Pemerintah Finlandia.

Dialog selanjutnya untuk para dosen dan mahasiswa dilaksanakan melalui kuliah umum di Universitas Helsinki (18/9/2018). Ceramah umum ini menampilkan Ruhani Dzuhayatin; DR Mulki al-Sharmani, dosen Kajian Islam, Fakultas Teologi, Universitas Helsinki, dan penulis Resonansi ini.

Ceramah kedua intelektual perempuan tersebut berfokus pada upaya pemberdayaan kaum Muslimah di dunia Muslim. Jika perempuan Muslimah di Indonesia dalam banyak segi telah berhasil mencapai kemajuan, sebaliknya di banyak negara Muslim mereka masih jauh dari kesetaraan dengan laki-laki. Mereka masih dimarginalisasikan dan menjadi sasaran praktik yang merendahkan atas nama agama.

Dalam konteks itu, penulis Resonansi ini berbicara tentang negara dengan sistem demokrasi yang mengakui kesetaraan perempuan dengan lelaki. Kaum Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Dengan sistem dan politik demokrasi, kaum perempuan dapat memainkan peran lebih besar dalam penguatan masyarakat negara-bangsa yang multikultural. []

REPUBLIKA, 18 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar