Islam, Finlandia, dan Indonesia (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Perkembangan politik Finlandia terkait Islam dalam banyak hal
positif dan kondusif terhadap Islam. Meski jumlah kaum Muslim hanya sekitar 60
ribu dari sekitar 5,5 juta penduduk Finlandia, keadaan mereka lebih aman dan
harmonis dibandingkan saudara-saudara seiman di negara-negara Eropa tertentu
yang menghadapi peningkatan Islamofobia secara signifikan.
Memang kebanyakan Muslim Finlandia adalah migran atau keturunan
migran yang mulai datang dalam jumlah signifikan sejak 1990-an. Penduduk Muslim
‘asli’ Finlandia adalah keturunan bangsa Tatar (dalam bahasa Finlandia disebut
‘Suomen Tatarit dan dalam bahasa Swedia dipanggil ‘Finlandska Tatarer). Nenek
moyang Muslim Tatar Finlandia datang ke Finlandia sejak awal abad 19.
Banyak di antara generasi pertama mereka bekerja sebagai tentara
atau pegawai pemerintahan otonom Finlandia di bawah kekuasaan Tsar Rusia. Generasi
selanjutnya banyak yang menjadi petani dan pedagang di berbagai kota besar dan
kecil di Finlandia.
Oleh karena itu, kaum Muslim Tatar Finlandia cukup mapan secara
ekonomi seperti terlihat dalam figur Atik Ali yang memiliki gedung berlantai
tujuah di pusat kota Hensinki; lantai paling atas gedung ini dijadikan masjid,
dan ruang seminar di mana Dialog Antaragama dan Antarmedia diselenggarakan (17
September 2018).
Warga Muslim Tatar yang menonjol secara ekonomi dapat ditemukan
tidak hanya di Finlandia, tapi juga di Rusia dan Polandia misalnya. Oleh karena
itu, sebagai contoh, dermawan kaya Tatar yang menjadi tulang punggung utama
pembangunan Masjid Kathedral yang besar dan indah di Moskow.
Kaum Muslim Tatar dapat dikatakan sudah sepenuhnya terintegrasi
dalam masyarakat non-Muslim lokal, baik secara ekonomi maupun budaya. Namun,
mereka tetap teguh mempertahankan identitas keislaman. Pada 1925 mereka
mendirikan organisasi Suomen Islam Seurakunta (Finlandiya Islam Cemaati);
mendapat pengakuan dari pemerintah, Finlandia menjadi negara pertama Eropa yang
mengakui organisasi komunitas Muslim. Mereka memiliki masjid tak hanya di
Helsinki, tapi juga di Tampere dan Turku.
Memandang posisi kaum Muslim Tatar Finlandia itu, tidak heran
Dialog Antaragama dan Antarmedia I Indonesia-Finlandia diselenggarakan
Direktorat Diplomasi Publik, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik
Kemenlu RI dengan peran penting tokoh Muslim Tatar, Atik Ali yang juga ketua
Jaringan Muslim dan Majelis Antaragama Finlandia (CORE). Dialog diselenggarakan
sehari penuh di ruang konferensi gedung berlantai tujuh milik Atik Ali.
Dialog Antaragama menampilkan para pembicara Indonesia dan
beberapa tokoh gereja Protestan, Katolik, dan Yahudi. Para pembicara Indonesia
(Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Staf Khusus Presiden RI untuk Urusan Agama di
tingkat internasional; Gomar Gultom MA, Sekjen PGI; DR Philip K. Wijaya,
pimpinan Permabudhi, Buddha; Uni Zulfiani Lubis, Pemred IDN News, dan penulis
Resonansi ini) berbagi pengalaman terbaik Indonesia mengembangkan kerukunan dan
harmoni di antara umat beragama berbeda.
Sementara, para pembicara Finlandia banyak mengulas tentang
situasi kondusif di negara ini. Tidak hanya ada jaminan konstitusional
kebebasan beragama, tetapi juga pendidikan agama menjadi pelajaran wajib sejak
pendidikan dasar sampai menengah. Sedangkan, gurunya yang disediakan sekolah
harus seagama dengan muridnya.
Namun, para pembicara Finlandia juga menyinggung tantangan
menghadapi perubahan politik, ekonomi, dan media di Eropa yang sedikit banyak
berdampak pada kehidupan umat beragama di Finlandia. Meningkatnya politik
identitas ultrakanan antimigran dan anti-Muslim di bagian Eropa lain yang contagious—menyebar
menjangkiti wilayah lain seperti Finlandia—merupakan salah satu tantangan utama
yang memerlukan kerja sama di antara umat beragama berbeda dan Pemerintah
Finlandia.
Dialog selanjutnya untuk para dosen dan mahasiswa dilaksanakan
melalui kuliah umum di Universitas Helsinki (18/9/2018). Ceramah umum ini
menampilkan Ruhani Dzuhayatin; DR Mulki al-Sharmani, dosen Kajian Islam,
Fakultas Teologi, Universitas Helsinki, dan penulis Resonansi ini.
Ceramah kedua intelektual perempuan tersebut berfokus pada upaya
pemberdayaan kaum Muslimah di dunia Muslim. Jika perempuan Muslimah di
Indonesia dalam banyak segi telah berhasil mencapai kemajuan, sebaliknya di
banyak negara Muslim mereka masih jauh dari kesetaraan dengan laki-laki. Mereka
masih dimarginalisasikan dan menjadi sasaran praktik yang merendahkan atas nama
agama.
Dalam konteks itu, penulis Resonansi ini berbicara tentang negara
dengan sistem demokrasi yang mengakui kesetaraan perempuan dengan lelaki. Kaum
Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Dengan sistem dan
politik demokrasi, kaum perempuan dapat memainkan peran lebih besar dalam
penguatan masyarakat negara-bangsa yang multikultural. []
REPUBLIKA, 18 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar