Arah Dua
Pola Kehidupan (11)
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Pada
suatu ketika, beberapa perkembangan keadaan menuju kepada sebuah titik kulminasi
yang bagi para sejarawan akan menjadi sangat menarik. Menurut Martin Van
Bruinessen, ahli keIslaman yang sangat teliti itu, dalam abad 17 dan 18 masehi
para pengikut tarekat Naqsyabandiah mulai mengadakan ekspansi. Setelah
memindahkan pengikut tarekat mereka dari India ke tanah Kurdi dengan titik
pusat di Diyar Bakr, mereka lalu mendirikan pusat di Aleppo (Halab) di pantai
Laut Tengah Syria sekarang. Dari Aleppo tarekat itu lalu “meneruskan
perjalanan” ke arah Selatan, yaitu ke Mekkah dan Madinah. Karuan saja, segera
kedua tempat itu menjadi pusat pengetahuan Islam yang bermahzabkan fi’qh
Syafi’i. Ketika mereka “mulai mapan” di kedua tempat itu, segera berdatangan
murid-murid berupa para santri dari tanah Jawa dan seluruh Asia Tenggara.
Sekitar
seabad setelah itu, pemerintah Belanda memberlakukan sistem tanam paksa. Secara
tidak langsung mereka mengembangkan pertanian kapitalistik di Indonesia,
terutama di pulau Jawa. Usaha-usaha perkebunan tebu, kopi, teh dan tembakau
bermunculan dengan pemilik perusahaan para pemodal dari negeri Belanda. Mereka
menyewa tanah secara bergantian di Jawa, dan pemerintah mewujudkan sarana
perhubungan untuk mengirimkan hasil-hasil pertanian olahan pabrik-pabrik yang
mereka miliki, menggunakan jalan raya, kereta api dan pelabuhan dengan sangat
cepat. Hasil sepertanian itu, menumbuhkan dengan cepat sebuah “kelas baru” di
masyarakat yaitu kelas menengah atas yang memperoleh uang sewa bagi
tanah-tanah mereka yang ditanami oleh pabrik-pabrik itu. Kelas menengah ke atas
itu bukanlah para ningrat maupun pejabat pemerintahan kolonial, karenanya tidak
dididik di sekolah-sekolah pemerintah.
Kalau
para pengusaha Tionghoa mendirikan sekolah-sekolah dagang “Handle Schoolen ” di
daerah perkotaan, maka “orang-orang kaya baru” (HKB) itu lalu mengirimkan
anak-anak mereka ke pondok-pondok pesantren yang tekenal, untuk kemudian
dikirim ke Mekkah dan Madinah. Ini relatif bersamaan waktunya dengan dibukanya
Terusan Suez, yang memungkinkan pelayaran tetap antara Eropa dan kawasan Asia
Tenggara. Dengan cepat dikirimkanlah puluhan ribu santri dari Asia Tenggara ke
tanah suci. Dengan segera, hubungan tetap antara Mekkah dan Madinah di satu
pihak dan kawasan Asia Tenggara dipihak lain, berkembang menjadi hubungan
ekonomi dan pendidikan yang sangat kuat, yang akhirnya menopang solidaritas
Islam di kedua kawasan itu. Kemudian terbentuk kesadaran yang mengobarkan
semangat kaum muslim untuk menghadapi apa yang kemudian dikenal sebagai
“imperalisme barat” atas kawasan-kawasan Islam di mana-mana. Cara hidup “orang-orang
barat” yang sangat materialistik itu, segera dihadapkan kepada pembentukan
nilai-nilai spiritual dan sosial dikalangan kaum elite muslimin, yang amat
kritis sikapnya terhadap perkembangan dunia. Apa yang dirasakan sebagai
“ancaman” nagi nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan manusia, segera
terbentuk sebagai “nilai-nilai alternatif” untuk menghadapi komersialisasi
semua aspek kehidupan oleh peradaban Barat. Seolah-olah “kebudayaan barat”
dekaden dan hanya mementingkan uang. Padahal dalam kenyataannya budaya Barat
maupun Timur sama-sama memiliki aspek material dan non-materialnya. Sikap untuk
mengembangkan milik sendiri dan menjauhi budaya lain itu akhirnya berkembang
menjadi sikap ultra-chauvinistik, yang terlalu kaku dan tidak dapat menerima perubahan-perubahan.
Dalam
suasana seperti itulah para Kyai lulusan Timur Tengah kembali ke Indonesia.
Seperti dikemukakan oleh disertasi Mona Abaza, Islamic Education Perceptions
and Exchanges Indonesian Students in Cairo, mengenai tiga generasi lulusan Al-Azhar
di Kairo yang memberikan “warna” yang berlain-lainan. Lulusan pertama, membuka
cakrawala pemikiran kaum muslim mengenai diri mereka sendiri. Merekalah yang
patut dianggap sebagai perintis pendidikan Islam modern di Indonesia. Lulusan
kedua, merintis pengertian-pengertian yang mementingkan arti pengetahuan
non-agama yang modern, untuk digabungkan dengan perombakan-perombakan pemikiran
agama, seperti dibawakan oleh angkatan yang dipimpin oleh Prof. DR. A. Mukti
Ali. Sedangkan angkatan yang ketiga dari Al-Azhar, justru menganggap
bahwa antara pengetahuan agama dan pengetahuan-pengetahuan lainnya tidak
ada bedanya. Terutama Ilmu pengetahuan sosial, yang sulit dipisahkan mana yang
agama dan mana yang bukan.
Dalam
perkembangan yang penuh kegalauan itu, para pemimpin gerakan Islam bergulat
dengan berbagai masalah dasar-dasar: haruskah mereka berpikiran menurut agama
Islam? Dimana harus diletakkan tempat Indonesia dalam pergaulan Internasional?
Apakah bentuk struktur ekonomi yang harus dibangun untuk mencapai keadilan
sosial? dan sederet pertanyaan lain. Ini membuat mereka untuk beberapa waktu
lamanya tidak berpikir tentang sistem perekonomian yang harus dikembangkan
bangsa Indonesia dan orientasi dari sistem itu. Dengan demikian seolah-olah
semua pemikiran diarahkan pada perjuangan politik belaka. Dan memang hampir
seluruh perhatian dan waktu dicurahkan untuk menentukan hubungan antara Islam
dan negara dan hubungan pendidikan dan agama. Hampir tak tersisa waktu untuk
memikirkan hal-hal lain.
Waktu
dihabiskan untuk perdebatan mengenai tingkah laku dan pola kehidupan para
pemimpin umat. Sudahkah pola hidup mereka sesuai dengan “warisan” ajaran yang
diterima dari nabi Muhammad SAW. Karena sibuk “mengurusi” hal-hal semacam itu,
para pemimpin itu tidak punya waktu luang dan perhatian. Sebagai akibat timbul
semacam dikotomi antara para warga gerakan ‘Islam tradisional’ dan para anggota
gerakan ‘Islam pembaharu’. Akhirnya perdebatan yang berjalan bukan tentang
orientasi kehidupan bangsa, melainkan tentang mana yang benar antara
tradisionalisme agama dengan gerakan-gerakan inovasi. Rentetan dari keadaan
itu, muncul aliran-aliran yang bertindak seakan-akan mereka berideologi
nasionalis, sosialis, komunis, dan Islam. Mereka saling bersaing memperebutkan
pengikut, tanpa mengingat bahwa masing-masing “ideologi” yang dibawakan
oleh tiap-tiap gerakan secara teoritis tidak bersambung dengan ideologi semula.
Kaum
komunis di negeri ini hanya mengenal sekelumit tentang komunisme sebagai
ideologi; demikian pula dengan kaum nasionalis. Hanya kebencian dan penolakan
kepada kapitalisme yang menyatukan mereka. Sedangkan pengikut gerakan agama pun
tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan-ketentuan ideologi agamnya. Dengan
demikian pertimbangan-pertimbangan orientatif tentang corak hidup yang harus
diambil bangsa ini, luput dari perhatian. Apakah orientasi niaga-laut ataukah
orientasi agraris yang harus diberi tekanan utama, hampir-hampir tidak dibahas
oleh mereka. Selama ini Nyanyian “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” akhirnya hanya
menjadi sekedar sekilas nyanyian anak-anak tanah air kita. Jika dicermati tidak
pernah muncul perbedaan ‘ideologis’ di antara mereka, yang tampak di depan
hanyalah ungkapan-ungkapan setempat, yang menggambarkan budaya kita. Ada budaya
laut seperti yang dicontohkan oleh orang-orang Bugis dengan perahu Phinisi
mereka. Tetapi tetap tidak menggoyahkan keterlibatan sentral pada sistem
agraris.
Setelah
hutan-hutan kita dibabat oleh para pemegang HPH (hak penguasahaan hutan) yang
terdiri dari para kroni pemerintahan orde baru dan pengelolaan barang tambang
kita juga dirusak oleh pihak yang sama. Maka tinggal kekayaan laut-lah yang
seharusnya menjadi dasar bagi kebangkitan kembali ekonomi kita sebagai bangsa.
Kita harus memulai kembali menyusun tata niaga laut kita, guna menghindari
pengurasan kekayaan laut untuk kepentingan orang lain. Kita harus banyak
membangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di berbagai tempat di pulau-pulau yang
besar guna memungkinkan masyarakat memanfaatkan hasil laut itu untuk
kepentingan mereka. Dan dengan demikian memungkinkan tumbuhnya upaya
memperlebar jaringan transportasi dan komunikasi umum. Ikan memang tidak dapat
dijadikan substitusi ekspor, jadi dengan demikian tekanan ekonomi kita tidak
lagi bersifat keluar melainkan ke dalam, dengan membuka bagian terbesar
dari ekonomi kita bagi penumbuhan pasar dalam negeri yang kuat dan luas. Memang
ini mudah dikatakan, tapi sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta,
8 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar