Inilah Kiai-kiai yang
Mendirikan NU
Gerakan para kiai
Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) mendirikan organisasi merupakan lanjutan dari
gerakan-gerakan para kiai sebelumnya. Kelanjutan dari gerakan Wali Songo dan
ulama penyebar Islam lainnya. Selama ratusan tahun, sambung-menyambung, para
ulama bergerak mempertahankan Islam di Nusantara.
Karena keadaan terus
berubah, tantangannya pun berbeda, cara para kiai Aswaja bergerak dalam
mempertahankan dan menyebarkan Islam pun berubah juga. Jika sebelumnya hanya
melalui pesantren dan tidak bergerak sendiri-sendiri, para kiai mencoba dengan
mendirikan organisasi. Ini hanyalah persoalan cara, tapi intinya adalah
mempertahankan Islam itu sendiri. Buktinya, pesantren dipertahankan, organisasi
dijalankan.
Tantangan baru itu
adalah penjajahan bangsa Eropa. Mereka tidak hanya mengeruk kekayaan alam di Nusantara,
tetapi menyebarkan agama dan budaya mereka dengan begitu masif karena
terorganisir dengan baik. Dengan demikian, motif mendirikan organisasi adalah
untuk menahan persebaran agama yang dibawa penjajah. Pada saat yang sama,
berusaha lepas dari belenggu penjajahan (nasionalisme).
Motif mempertahankan
agama, adalah Islam Ahlussunah wal Jamaah dengan mazhab empat. Sebab pada saat
itu, di Timur Tengah muncul paham baru yang menggagas pembaruan dalam Islam
dengan slogan kembali pada Al-Qur’an dan hadits dan antitaqlid kepada mazhab
empat. Di Arab Saudi muncul pula paham Wahabi.
Paham tersebut
semakin kuat dan masif ketika disokong kekuasaan. Sejak Ibnu Saud, Raja Najed
menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat
dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya,
bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Paham tersebut juga
mendapat pengikut kuat di Nusantara yang mengampanyekan antibidah dimana-mana.
Taqlid adalah penyebab kemunduran, melarang tahlilan, dan tradisi-tradisi
keagamaan lain yang jelas-jelas memiliki dasar dari ajaran Islam sendiri, yang
selama ini dilakukan paham Ahlussunah wal Jamaah.
Para ulama Ahlussunah
wal Jamaah di Nusantara, risau dengan kebijakan Arab Saudi tersebut. Mereka
kemudian merencanakan untuk mengirimkan utusan ke Tanah Suci Makkah, menemui
penguasa saat itu untuk meminta menghentikan kebijakan itu. Rencana untuk
mengirim utusan dilaksanakan di kediaman KH Wahab Hasbullah di Kertopaten,
Surabaya pada16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926, untuk membentuk
Komite Hijaz.
Pada pertemuan itu,
mereka memikirkan utusan yang akan dikirimkan itu atas nama apa. Karena belum
ada wadah kelompok tersebut, mereka sepakat membentuk organisasi bernama
Nahdlatul Ulama, kebangkitan ulama berdasarkan usulan KH Mas Alwi Abdul
Aziz.
Setelah menyepakati
mendirikan organisasi, mereka kemudian menyepakati mengirimkan utusan ke Tanah
Suci Mekkah untuk menyampaikan lima permohonan. Pertama, memohon diberlakukan
kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz. Kedua, memohon untuk tetap diramaikan
tempat-tempat bersejarah . Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh
dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif yang harus
diserahkan jamaah haji. Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di
negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran
terhadap undang-undang tersebut. Kelima, memohon balasan surat
kepada kedua delegasi tersebut.
Berdasarakan buku
Pertumbuhan dan Perkembangan NU karya Choirul Anam, para kiai yang hadir dalam
pertemuan Kertopaten, Surabaya itu adalah KH Hasyim Asy’ari Tebuireng (Jombang,
Jawa Timur) KH Bishri Syansuri (Jombang, Jawa Timur), KH Asnawi (Kudus, Jawa
Tengah) KH Nawawi (Pasuruan, Jawa Timur) KH Ridwan (Semarang, Jawa Tengah) KH
Maksum (Lasem, Jawa Tengah) KH Nahrawi (Malang, Jawa Tengah) H. Ndoro Munthaha
(Menantu KH Khalil) (Bangkalan, Madura), KH Abdul Hamid Faqih (Sedayu, Gresik,
Jawa Timur) KH Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon, Jawa Barat) KH Ridwan
Abdullah (Jawa Timur), KH Mas Alwi (Jawa Timur), dan KH Abdullah Ubaid dari
(Surabaya, Jawa Timur) Syekh Ahmad Ghana’im Al Misri (Mesir), dan beberapa
ulama lainnya yang tak sempat tercatat namanya. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar