Rabu, 31 Juli 2019

(Do'a of the Day) 28 Dzulqa'dah 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma astaghfiruka li dzanbii, wa as'aluka rahmataka

Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu terhadap dosaku dan aku memohon kepada-Mu akan rahmat-Mu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 62.

(Ngaji of the Day) Benarkah Tak Boleh Jeda Sama Sekali dalam Ijab Kabul Nikah?


Benarkah Tak Boleh Jeda Sama Sekali dalam Ijab Kabul Nikah?

Seorang pengantin laki-laki dengan suara jelas dan tegas mengucapkan “saya terima nikah dan kawinnya....”. Usai kalimat kabul itu diucapkan sang penghulu yang memimpin proses pernikahan itu berseru dalam nada tanya, “Sah?” Dan para hadir yang ada di majelis itu serempak menjawab, “Sah!” Namun di tengah pernyataan para hadir yang menyebutkan keabsahan ijab kabul itu sebuah suara berbeda menyusup dengan jelas, “Ulangi!”.

Atas suara yang berbeda itu sang penghulu bertanya, “Mengapa diulangi? Apa alasannya?” Lalu orang yang meminta diulangi menuturkan bahwa ijab kabul itu tidak sah lantaran masih ada jarak antara ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang disampaikan oleh pengantin laki-laki. Menurutnya salah satu syarat ijab kabul perkawinanan adalah bersambungnya kalimat ijab dan kabul tanpa ada pemisah berupa diamnya pengantin laki-laki sebelum mengucapkan kalimat ijabnya, meski cuma sebentar.

Kejadian seperti itu sangat jamak terjadi di masyarakat ketika digelar prosesi ijab kabul sebuah pernikahan. Ada sebagaian masyarakat yang memahami bahwa bersambungnya kalimat ijab dan kabul harus benar-benar bersambung tanpa ada senggang waktu barang sedetik pun. Namun ada pula yang masih bisa menerima bahwa kesenjangan waktu yang tak lama antara ijab dan kabul tidak berakibat pada ketidakabsahan sebuah akad perkawinan.

Tidak jarang tuntutan untuk mengulang akad nikah karena alasan ijab kabul yang kurang nyambung menjadikan pengantin laki-laki menjadi grogi dan kehilangan kepercayaan diri sehingga ketika ia mengulangi akad nikahnya justru kalimat ijab yang diucapkannya semakin tidak tertata dengan baik. Ijab yang sebenarnya telah sah pada kali pertama justru menjadi kehilangan keabsahan ketika pengucapan kali kedua dan seterusnya, karena grogi dan hilangnya percaya diri.

Lalu bagaimana semestinya ketentuan fiqih yang mengatur tentang keabsahan ijab dan kabul dalam sebuah akad pernikahan?

Di dalam fiqih memang telah ditentukan beberapa persyaratan yang menjadikan sebuah akad nikah itu sah. Di antara persyaratannya adalah bersambungnya kalimat kabul yang diucapkan oleh wali mempelai wanita atau yang mewakili dengan kalimat ijab yang dinyatakan oleh mempelai laki-laki atau yang mewakili. Ketersambungan ini menjadi wajib karena kalimat ijab dan kabul adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Permasalahannya kemudian adalah apa batasan sebuah ijab kabul dikatakan bersambung atau tidak? Berapa lama jeda waktu yang masih bisa ditoleransi untuk mengatakan bahwa ijab kabul itu bersambung? Dalam hal ini masyarakat berbeda-beda dalam memahami dan mengaplikasikannya pada prosesi akad pernikahan. Ada sebagian yang masih bisa menerima diamnya pengantin laki-laki dalam waktu yang relatif singkat dan ada juga yang secara ketat melarang adanya jeda waktu antara ijab dan kabul meski hanya satu detik saja. Bagi golongan kedua ini huruf terakhir dari kalimat ijab harus benar-benar bersambung dengan huruf pertama dari kalimat kabul.

Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitabnya Al-Fiqhul Manhajî menuturkan:

ومن شروط الصيغة أيضا أن يتصل الإيجاب من الولي بالقبول من الزوج، فلو قال ولي الزوجة: زوّجتك ابنتي، فسكت الزوج مدة طويلة، ثم قال: قبلت زواجها، لم يصح العقد، لوجود الفاصل الطويل بين الإيجاب والقبول، مما يجعل أمر رجوع الوليّ في هذه المدة عن الزواج أمراً محتملاً، أما السكوت اليسير: كتنفس، وعطاس، فإنه لا يضرّ في صحة العقد

Artinya: “Juga temasuk syaratnya shighat adalah bersambungnya ijab dari wali dengan kabul dari suami. Maka apabila wali dari istri mengatakan “aku nikahkah engkau dengan anak perempuanku”, lalu sang suami terdiam dalam waktu yang lama baru kemudian menjawab “saya terima nikahnya”, maka akad nikahnya tidak sah karena adanya waktu pemisah yang lama antara ijab dan kabul di mana pada rentang waktu ini memungkinkan sang wali menarik kembali akad nikahnya. Adapun diam yang sebentar seperti bernapas dan bersin tidak mengapa dalam keabsahan akad nikah.” (Musthafa Al-Khin, dkk., Al-Fiqhul Manhajî, Damaskus, Darul Qalam, 2013, Jil. II, hal. 53)

Sementara Imam Nawawi menuturkan dalam Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab:

اذا تخلل بين الايجاب والقبول زمان طويل لم يصح. وان تخلل بينهما زمان يسير يجري مجري بلع الريق وقطع النفس صح لأن ذلك لا يمكن الاحتراز منه

Artinya: “Apabila antara ijab dan kabul diselai waktu yang lama maka tidak sah akad nikahnya. Dan apabila di antara keduanya diselai waktu yang singkat yang setara waktunya menelan ludah dan berhenti bernapas maka sah akadnya, karena tidak mungkin untuk menghindar dari hal itu.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darul Hadis, 2010, Juz XVI, hal. 474) 

Dari dua keterangan di atas secara garis besar bisa dipahami bahwa syarat bersambungnya ijab dan kabul tidak mutlak harus tanpa ada jeda. Adanya jeda waktu yang relatif singkat untuk sekadar bernapas, bersin atau menelan ludah masih bisa ditoleransi dan akad nikah tetap dihukumi sah. Maka bila setelah sang wali mengucapkan kalimat kabul dan mempelai laki-laki sejenak berhenti untuk sekadar mengambil napas atau menelan ludah, umpamanya, akad nikah tetap dianggap sah karena antara ijab dan kabul masih dianggap bersambung, tidak terpisah dengan jeda waktu yang lama.

Adapun batasan waktu jeda yang dianggap lama—sebagaimana ditulis Musthafa Al-Khin di atas—adalah masa di mana memungkinkan sang wali menarik kembali dan membatalkan perkawinan. Sementara menurut Wahbah Az-Zuhaili waktu jeda yang lama itu masa yang menunjukkan mempelai laki-laki enggan mengucapkan kalimat kabul. Masih menurut Az-Zuhaili bahwa jeda waktu yang lama menjadikan kalimat kabul keluar dari statusnya sebagai jawaban dari kalimat ijab yang diucapkan oleh wali (Wahbah Az-Zuhaii, Al-Fiqhul Islâmî wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, 1985, Juz VII, hal. 50). Ini dikarenakan ijab dan kabul merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Memang tidak salah bila untuk kehati-hatian meminta diulang kembali akad nikah karena alasan adanya jeda waktu antara ijab dan kabul. Namun mestinya itu dilakukan bila jeda waktu yang ada memang benar-benar lama lebih dari apa yang dituturkan di atas, serta tidak terkesan memaksakan harus benar-benar bersambung antara ijab dan kabul tanpa ada jeda sedikitpun. Dengan demikian maka mempelai laki-laki akan tetap percaya diri dan akad nikah akan berjalan lebih baik dan lebih mantap keabsahannya.

Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

(Buku of the Day) Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia


Mencintai Kedamaian Beragama


Judul                : Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia.
Penulis             : Dr Aksin Wijaya
Penerbit            : Mizan
Cetakan            : 1 Juni 2018
Tebal                : xxx + 262 halaman
ISBN                 : 978-602-441-067-4
Peresensi          : Tauhedi As’ad, Mahasiswa Program Doktor IAIN Jember; Tenaga Pengajar di Unej dan IKIP Jember

Di era kontemporer, media sosial dan digitalime sangat berdampak baik dan buruk sehingga masyarakat mendapatkan hidangan beragam kejadian dan peristiwa yang berhubungan dengan keadaan beragama kita. Kekerasan yang terjadi di masyarakat kita karena faktor cara memahami teks keagamaan yang keliru, cara pandang mereka seringkali digunakan untuk membasmi terhadap pandangan yang berbeda sehingga menimbulkan tindakan kekerasan baik kekerasan wacana maupun kekerasan fisik.

Tidak sedikit kondisi beragama merasa terancam karena adanya peristiwa akhir-akhir ini terjadi, seperti bom bunuh diri, bersikap intorelansi, dan klaim paling suci, yang lain kufur serta pantas masuk neraka. Ajaran agama seharusnya menjadi kedamian untuk manusia, akan tetapi faktanya dalam sejarah agama-agama seringkali terjadi tindak kekerasan dan banyak korban jiwa disebabkan cara memahami keagamaan kurang benar.

Karya buku ini, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia, bahwa Aksin Wijaya menjelaskan alasan menggunakan tindakan kekerasaan atas nama agama dan Tuhan yakni cara dalam menalar dan nalar Islam yang mengeideologi. Sedangkan cara menalar Islam dengan memahami yang benar, sementara nalar Islam yang mengeideologi membuat sekte dan aliran bagi golongan menyakini sebagai satu-satunya cara memahami Islam yang paling benar.

Tentunya Islam sebagai ajaran agama yang damai berubah menjadi sektarian dan sakral didalam memahami Islam itu sendiri, akhirnya berimplikasi terhadap fanatisme golongan atau menjadi kelompok pemikiran garis keras didalam beragama yang ditandai dengan dirinya yang paling suci dan lain sebagainya. (hlm. XII).

Menalar Islam yang mengideologi akan berdampak terhadap cara penafsiran mereka khususnya penggunakan kata Jihad yang maknanya semakin kabur. Penafsiran mereka atas jihad disesuaikan dengan ideologi mereka sendiri, doktrin kekerasan ditanamkan, keyakinan pemahaman kekerasan mejadi jihad bahkan jihad kekerasan atas nama agama dan Tuhan menjadi perbincangan publik sehingga berdampak terhadap kondisi bangsa dan negara kita. 

Kesalahan berpikir mereka diakibatkan karena doktrinisasi keagamaan jalan pintas tanpa adanya pemahaman agama yang mendalam dan benar, bahkan mereka bersedia menjadi pengantin tindakan kekerasan untuk menyerang generasi muda dengan iming-iming bidadari di surgamaka mereka diberikan label syahid.

Didalam buku ini menyatakan, cara berpikir yang dikotomis akan melahirkan dua kutub perlawan yaitu mengklaim diantara baik-buruk, putih-hitam, benar-salah dan suci-kotor. Artinya cara berpikir mereka berpikir antagonis terhadap sebuah kebenaran tunggal sehingga seringkali mereka menyalahkan dan menyesatkan atau menghabiskan yang dinggap berbeda ideologi, memposisikan musuh yang harus dilawan secara radikal.

Radikalisme muncul karena dari tindakan kekerasan wacana sebagai sebuah pemahaman keagamaan doktriner menjadi ke tindakan kekerasan fisik sebagai bentuk aksi dengan jihad fi sabilillah. Dengan demikian, tructh-claim menjadi pilihan mereka diyakini sebagai pemilik kebenaran absolut yang harus di ikuti oleh pihak musuh.

Perlu diketahui bahwa, ada dua perasaan yaitu perasaan memusuhi yang lahir dari dimensi tanah-jazadnya dan perasaan mencintai yang lahir dari dimensi ruh-ilahiyah. Sedangkan perasaan memusuhi mendorong orang untuk melakukan agresi sehingga melahirkan kekerasan, sementara perasaan mencintai mendorong orang untuk saling mencintai sehingga melahirkan kedamaian. Kedua perasaan manusia itu mengalami pergumulan terus-menerus, dan manusia senantiasa ditarik untuk lebih condong pada salah satu dari kedua perasaan tersebut. (hlm. 166)

Menurut penulis, menolak tindakan kekerasaan apapun demi tegaknya kedamain, baik kekerasaan wacana melalui pernyataan, pengetahuan yang berhubungan dengan kekusaan untuk mengendalikan negara dan masyarakat. Kekerasan fisik dilakukan secara fisik melalui tindakan kekerasan atau menindas,dan pada umumnya dilakukan dua jalur baik jalur ideologi dan budaya.

Refresif bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan kebijakan akan melahirkan tindakan kekerasaan fisik karena masyarakat bertindak kekerasan dalam rangka menuntut-mencari keadilan dan pemerataan sosial-ekonomi. Karena itu, sejatinya Islam lahir ke dunia untuk kedamaian manusia sebagaimanamakna Islam itu sendiri bermakna damai-selamat dan disebutkan didalam teks al-Quran.

Kata Islam identik kata salam bermakna damai dan sebanyak157 kali dengan rincian 79 kali berbentuk kata benda, 50 kali benbentuk kata sifat dan berbentuk kata kerja sebanyak 28 kali. Jadi kata salam bermakna damai dalam bentuk kata benda lebih banyak daripada kata kerja dan kata sifatkarena kata salam menunjukkan untuk menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai Islam didalam kehidupan sosial-politik dan budaya yang pluralistik. []

(Ngaji of the Day) Bolehkah Perempuan Berprofesi sebagai Hakim?


Bolehkah Perempuan Berprofesi sebagai Hakim?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Salam takzim kami kepada masyaikh NU. Teman perempuan saya ada yang bercita-cita menjadi hakim, namun dia membaca sebuah artikel yang di dalamnya menyebutkan yang intinya profesi hakim itu bukan untuk perempuan. Yang saya tanyakan bagaimana Islam memandang terhadap profesi perempuan yang ada di Indonesia ini, bahwa perempuan bisa menjadi apa pun seperti hakim, mubaligah, mufti di MUI, dan lain-lain? Terima kasih banyak.

Solihul Huda

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Jabatan hakim merupakan salah satu unsur vital yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam soal penegakan keadilan. Keberadaan profesi ini sangat penting karena putusannya bersifat mengikat dan menentukan.

Ulama menaruh perhatian luar biasa terhadap profesi hakim. Para ulama bersepakat untuk sejumlah syarat profesi hakim, yaitu kemampuan menalar, kematangan, independensi, keselamatan indra vital dalam bekerja (penglihatan, pendengaran, dan pembicaraan).

Tetapi para ulama berbeda pendapat perihal syarat hakim yang berkaitan dengan integritas, gender, dan kecakapan berijtihad. 

اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة، والاجتهاد

Artinya, “Imam-imam mazhab sepakat bahwa hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran, penglihatan, dan percakapan yang baik. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal syarat ‘adalah’ (sejenis kesalehan), jenis kelamin laki-laki, dan kemampuan ijtihad,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 481).

Dalam konteks pertanyaan di atas, ulama berbeda pendapat perihal gender. Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki menjadi syarat sah seorang hakim.

Adapun Mazhab Hanafi memberikan peluang bagi perempuan untuk berprofesi sebagai hakim. Mazhab Hanafi menafsil kasus yang boleh ditangani oleh hakim perempuan, yaitu kasus perdata. Sedangkan kasus pidana, bagi Mazhab Hanafi, tidak boleh ditangani oleh hakim perempuan.

Ulama yang memberikan peluang bagi perempuan untuk berprofesi sebagai hakim dalam kasus apapun baik perdata maupun pidana adalah Imam Ibnu Jarir At-Thabari.

Menurut Imam At-Thabari, perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam profesi hakim. Menurutnya, ulama sepakat bahwa perempuan boleh menjadi mufti. Seharusnya perempuan juga bisa menjadi hakim.

وقال ابن جرير الطبري: يجوز أن تكون المرأة حاكماً على الإطلاق في كل شيء، لأنه يجوز أن تكون مفتية فيجوز أن تكون قاضية.

Artinya, “Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan, perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak ata kasus apa saja dengan logika bahwa sebagaimana kebolehan menjadi ahli fatwa atau mufti, perempuan juga boleh menjadi hakim,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 483).

Hakim merupakan profesi penting yang memerlukan keterampilan khusus. Oleh karenanya, pengangkatan seorang hakim mesti didahului syarat-syarat formal yang dibuat oleh negara untuk memastikan mutu, kompetensi, keahlian, kecakapan yang dibutuhkan di samping integritas dan kode etik yang harus dipatuhi.

Dengan demikian, peluang seseorang untuk diangkat menjadi hakim terbuka bagi siapa saja warga negara Indonesia yang mempersiapkan diri dengan pendidikan khusus, disiplin tertentu, dan pelatihan keterampilan terkait.

Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU