Status Hewan Kurban dari
Non-Muslim
Kurban adalah jenis hewan tertentu yang
disembelih mulai hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13
Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah).
Menurut mazhab Syafi’i hukum berkurban adalah
sunnah ‘ain bagi yang tidak memiliki keluarga dan sunnah kifayah bagi setiap
anggota keluarga yang mampu. Sunnah kifayah adalah kesunnahan yang sifatnya
kolektif. Artinya, jika salah satu anggota keluarga sudah ada yang
melakukannya, maka sudah dapat menggugurkan hukum makruh bagi yang lainnya.
Kurban bisa menjadi wajib apabila seseorang pernah nazar untuk melaksanakannya.
Berkurban memiliki sisi positif tidak hanya
berkaitan dengan penghambaan kepada Sang Khaliq, tapi juga sebagai bentuk
solidaritas kepada sesama. Oleh karenanya, pahala berkurban sangat besar sebagaimana
dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi.
Dalam realitasnya, saat musim kurban
berlangsung, tidak hanya kalangan umat Islam yang berpartisipasi, tapi
non-Muslim juga kadang ikut ambil bagian. Biasanya pengusaha non-Muslim atau
dari kalangan yang lain turut serta menyumbangkan binatang kurban, mereka
memasrahkannya kepada ustadz, kiai atau tokoh agama lainnya untuk disembelih
dan dibagikan pada saat momen lebaran haji.
Pertanyaannya adalah, bagaimana status kurban
non-Muslim tersebut? Apa sikap yang harus dilakukan tokoh agama saat dipasrahi
binatang kurban dari non-Muslim?
Berkurban adalah salah satu bentuk ibadah
yang membutuhkan niat. Oleh karenanya disyaratkan pelakunya harus Muslim. Ini
adalah ketentuan umum untuk setiap ibadah yang membutuhkan niat. Memang ada
beberapa persoalan tertentu bahwa niatnya non-Muslim dinyatakan sah, tapi
ibadah kurban tidak masuk dalam persoalan yang dikecualikan tersebut.
Syekh Muhammad bin Ali Ba’athiyah berkata:
فائدة
من شروط النية إسلام الناوي ولا يشترط إسلامه في عدة صور ذكرها صاحب كتاب المواكب
العلية وهي خمس صور
“Faidah. Di antara syarat-syarat niat adalah
islamnya orang yang niat. Tidak disyaratkan islamnya dalam beberapa persoalan
yang disebutkan oleh pengarang kitab al-Mawakib al-Aliyyah, yaitu ada lima
kasus,” (Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah, Ghayah al-Muna
Syarh Safinah al-Saja, hal. 159).
Meski tidak sah atas nama kurban, bukan
berarti sumbangan binatang kurban yang diberikan oleh non-Muslim tidak memiliki
manfaat sama sekali. Binatang tersebut tetap boleh diterima atas nama sedekah.
Dari sedekah itu, non-Muslim tetap mendapat manfaat pahalanya. Para ulama
menegaskan, amal ibadah non-Muslim yang tidak membutuhkan niat, seperti
sedekah, dicatatkan pahalanya untuk sang pelaku, bisa bermanfaat di dunia
dengan memperbanyak rezeki dan meringankan siksaan di akhirat.
Syekh Sulaiman al-Jamal menegaskan:
ـ
«من أحيا أرضا ميتة فله فيها أجر وما أكلت العوافي» أي طلاب الرزق «منها فهو له
صدقة» رواه النسائي وغيره وصححه ابن حبان
“Orang yang menghidupi bumi mati maka ia
mendapat pahalanya. Apa yang dimakan para pencari rezeki dari tanah tersebut
adalah sedekah untuknya,” (Hadits riwayat al-Nasai dan lainnya, disahihkan oleh
Ibnu Hibban).
ـ
(قوله أي طلاب الرزق)
أي من إنسان أو بهيمة أو طير وفيه دليل على أن الذمي ليس له الإحياء لأن الأجر لا
يكون إلا للمسلم اهـ. إسعاد اهـ. زيادي
“Ucapan Syekh Zakariyya, para pencari rezeki,
maksudnya manusia, binatang atau burung. Di dalam hadits tersebut menunjukan
bahwa kafir dzimmi tidak diperbolehkan menghidup-hidupi bumi mati, karena
pahala tidak dapat didapat kecuali oleh seorang muslim.”
أقول وقد
تمنع دلالته على منع إحياء الذمي وقوله فهو له صدقة لا يؤخذ منه التخصيص بالمسلم
لأن الكافر له الصدقة ويثاب عليها أما في الدنيا فبكثرة المال والبنين وأما في
الآخرة فبتخفيف العذاب كباقي المطلوبات التي لا تتوقف على نية بخلاف ما يتوقف
عليها فإنه لا يصح خصوصا
“Aku berkata, petunjuk bahwa hadits tersebut
melarang menghidupi bumi mati bagi kafir dzimmi ditolak. Sabda Nabi; maka
sedekah baginya; tidak bisa diambil kesimpulan mengkhususkan kepada muslim,
sebab orang kafir sah bersedekah dan mendapat pahala atasnya. Adapun di dunia,
dengan banyaknya harta dan anak. Adapun di akhirat, dengan diringankan siksa
seperti anjuran-anjuran syariat lainnya yang tidak membutuhkan niat, berbeda
dengan ibadah yang membutuhkan niat, maka tidak sah dilakukan oleh orang
kafir,” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 3, hal. 561).
Berkaitan dengan penerimaan distribusi
binatang kurban dari non-Muslim oleh tokoh agama, hukumnya diperbolehkan.
Binatang tersebut halal dengan catatan yang menyembelih orang Islam. Secara
teori, kebolehan menerima binatang kurban dari non-Muslim juga disyaratkan
tidak berdampak merugikan umat Islam, seperti ditemukan indikasi kuat adanya
konspirasi terselebung untuk menghancurkan umat Islam. Namun di negara
demokrasi seperti Indonesia, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut jarang
sekali terjadi. Umumnya, penerimaan daging kurban dari non-Muslim
dilakukan atas dasar menjaga hubungan baik dan toleransi antarumat beragama.
Imam al-Bukhari dalam kitab sahihnya
menegaskan kebolehan menerima pemberian hadiah dari non-Muslim dengan mengutip
beberapa hadits yang menjadi tendesi atas pendapatnya. Sang pemimpin pakar
hadits itu menegaskan:
بَاب
قَبُولِ الْهَدِيَّةِ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ ﷺ هَاجَرَ
إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام بِسَارَةَ فَدَخَلَ قَرْيَةً فِيهَا مَلِكٌ أَوْ
جَبَّارٌ فَقَالَ أَعْطُوهَا آجَرَ وَأُهْدِيَتْ لِلنَّبِيِّ ﷺ شَاةٌ
فِيهَا سُمٌّ وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ ﷺ بَغْلَةً
بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ
“Bab (kebolehan) menerima hadiah dari
orang-orang musyrik. Abu Hurairah berkata dari Nabi bahwa Nabi Ibrahim Hijrah
bersama Sarah (istrinya), lalu memasuki daerah yang di dalamnya ada sosok raja
atau sang diktator, sang raja berkata, berilah dia hadiah. Nabi Muhammad diberi
hadiah kambing yang terdapat racunnya. Abu Hamid berkata; Raja Ayla memberi
hadiah kepada Nabi keledai putih dan selimut serta menyurati Nabi di Negara
mereka,” (HR. al-Bukhari).
Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
komentarnya atas referensi di atas mengatakan bahwa pendapat al-Bukhari tegas
mengenai kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Menurut al-Asqalani, al-Bukhari
secara tidak langsung memvonis lemah riwayat lain yang melarang pemberian
non-Muslim.
Dalam karya monumentalnya, Fath al-Bari,
Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
ـ
(قوله باب قبول الهدية من المشركين) أي جواز ذلك وكأنه أشار إلى ضعف الحديث الوارد
في رد هدية المشرك
“Ucapan al-Bukhari; bab menerima hadiah dari
orang-orang musyrik. Maksudnya kebolehan menerimanya. Al-Bukhari seakan-akan
memberi isyarat tentang lemahnya hadits yang menolak hadiah orang musyrik,”
(Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 5, hal. 230).
Al-Asqalani juga mengutip beberapa pendapat ulama
yang mengkomparasikan beberapa hadits yang bertentangan mengenai masalah
tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadits yang melarang
menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat
bertujuan menghancurkan orang Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan
hadits yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan kepentingan
mendakwahkan Islam.
Pakar hadits dari Asqalan tersebut
menegaskan:
وأورد
المصنف عدة أحاديث دالة على الجواز فجمع بينها الطبري بأن الامتناع فيما أهدي له
خاصة والقبول فيما أهدي للمسلمين وفيه نظر لأن من جملة أدلة الجواز ما وقعت الهدية
فيه له خاصة وجمع غيره بأن الامتناع في حق من يريد بهديته التودد والموالاة
والقبول في حق من يرجى بذلك تأنيسه وتأليفه على الإسلام وهذا أقوى من الأول
“Sang pengarang menyebutkan beberapa hadits
yang menunjukan kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Al-Imam al-Thabari
mengkomparasakan bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara
khusus diberikan kepada beliau, dan hadits yang menerima diarahkan kepada
pemberian untuk orang-orang Islam secara umum. Pendapat ini perlu dikaji ulang,
sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus
diberikan kepada Nabi. Ulama lain memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi
konteksnya adalah non-Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan
Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan
menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam. Ini adalah pendapat yang
lebih kuat dibandingkan yang pertama. (Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari, juz 5, hal. 231).
Walhasil, status hukum kurbannya non-Muslim
adalah tidak sah sebagai kurban. Namun distribusi binatang kurban dari mereka
tetap boleh diterima oleh orang Islam atas nama sedekah, bahkan menjadi langkah
yang tepat untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama. Binatang pemberian
non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya adalah orang
Islam. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar