Bolehkah Perempuan
Berprofesi sebagai Hakim?
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Salam takzim kami kepada masyaikh NU. Teman
perempuan saya ada yang bercita-cita menjadi hakim, namun dia membaca sebuah
artikel yang di dalamnya menyebutkan yang intinya profesi hakim itu bukan untuk
perempuan. Yang saya tanyakan bagaimana Islam memandang terhadap profesi
perempuan yang ada di Indonesia ini, bahwa perempuan bisa menjadi apa pun
seperti hakim, mubaligah, mufti di MUI, dan lain-lain? Terima kasih banyak.
Solihul Huda
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga
Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Jabatan hakim merupakan salah
satu unsur vital yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam soal penegakan
keadilan. Keberadaan profesi ini sangat penting karena putusannya bersifat
mengikat dan menentukan.
Ulama menaruh perhatian luar biasa terhadap
profesi hakim. Para ulama bersepakat untuk sejumlah syarat profesi hakim, yaitu
kemampuan menalar, kematangan, independensi, keselamatan indra vital dalam
bekerja (penglihatan, pendengaran, dan pembicaraan).
Tetapi para ulama berbeda pendapat perihal
syarat hakim yang berkaitan dengan integritas, gender, dan kecakapan
berijtihad.
اتفق
أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً
بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة، والاجتهاد
Artinya, “Imam-imam mazhab sepakat bahwa
hakim disyaratkan berakal, baligh, merdeka, muslim, memiliki pendengaran,
penglihatan, dan percakapan yang baik. Tetapi mereka berbeda pendapat perihal
syarat ‘adalah’ (sejenis kesalehan), jenis kelamin laki-laki, dan kemampuan
ijtihad,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh,
[Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 481).
Dalam konteks pertanyaan di atas, ulama
berbeda pendapat perihal gender. Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali
menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki menjadi syarat sah seorang hakim.
Adapun Mazhab Hanafi memberikan peluang bagi
perempuan untuk berprofesi sebagai hakim. Mazhab Hanafi menafsil kasus yang
boleh ditangani oleh hakim perempuan, yaitu kasus perdata. Sedangkan kasus
pidana, bagi Mazhab Hanafi, tidak boleh ditangani oleh hakim perempuan.
Ulama yang memberikan peluang bagi perempuan
untuk berprofesi sebagai hakim dalam kasus apapun baik perdata maupun pidana
adalah Imam Ibnu Jarir At-Thabari.
Menurut Imam At-Thabari, perempuan memiliki
peluang yang sama dengan laki-laki dalam profesi hakim. Menurutnya, ulama
sepakat bahwa perempuan boleh menjadi mufti. Seharusnya perempuan juga bisa
menjadi hakim.
وقال
ابن جرير الطبري: يجوز أن تكون المرأة حاكماً على الإطلاق في كل شيء، لأنه يجوز أن
تكون مفتية فيجوز أن تكون قاضية.
Artinya, “Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan,
perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak ata kasus apa saja dengan logika
bahwa sebagaimana kebolehan menjadi ahli fatwa atau mufti, perempuan juga boleh
menjadi hakim,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh,
[Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 483).
Hakim merupakan profesi penting yang
memerlukan keterampilan khusus. Oleh karenanya, pengangkatan seorang hakim
mesti didahului syarat-syarat formal yang dibuat oleh negara untuk memastikan
mutu, kompetensi, keahlian, kecakapan yang dibutuhkan di samping integritas dan
kode etik yang harus dipatuhi.
Dengan demikian, peluang seseorang untuk
diangkat menjadi hakim terbuka bagi siapa saja warga negara Indonesia yang
mempersiapkan diri dengan pendidikan khusus, disiplin tertentu, dan pelatihan
keterampilan terkait.
Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan
baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar