Sejarah Mata Uang Logam dan
Uang Kertas
Setelah ditemukannya koin emas dan perak
(nuqud) sebagai alat untuk tukar menukar yang mengandung dua unsur fungsi,
yakni berfungsi sebagai alat tukar (mutaqawwam) dan nilai tukar (qîmatul
mitsli), secara perlahan keberadaan koin ini mengalami perubahan fungsi. Namun,
perubahan fungsi ini tidak menghilangkan fungsi utama yaitu sebagai alat tukar
dan nilai tukar.
Karena bahan emas di alam jumlahnya terbatas,
maka dibuatlah sebuah cara agar koin (nuqud) ini juga berperan sebagai satuan
hitung yang kecil. Akhirnya dibuatlah sebuah koin dengan bahan yang berkualitas
lebih rendah dari emas, yaitu perak (al-wâriq). Selanjutnya, koin ini diberi
nilai satuan hitung diatasnya yang menunjukkan nilai tukar uang itu. Dengan
begitu, koin baru ini (al-wâriq) berubah menjadi 3 fungsi, yaitu: (1) sebagai
alat tukar, (2) sebagai nilai tukar, dan (3) sebagai satuan hitung.
Berangkat dari sini, satuan-satuan lebih kecil lagi mulai dibuat dengan bahan
yang lebih rendah nilainya dibanding perak. Akhirnya ditemukanlah bahan yang
terbuat dari tembaga. Uang yang terbuat dari tembaga ini selanjutnya disebut
fulus. Orang Barat menyebutnya valas. Dewasa ini marak dilaksanakan perdagangan
valas, yang sejatinya adalah memperdagangkan uang tembaga ini untuk
dimanfaatkan bagi kebutuhan lain yang lebih bernilai dibanding ia berwujud
sebagai uang. Tapi, ini adalah asumsi awal. Bisa jadi, di lapangan tidak
demikian adanya.
Berdasarkan asumsi ini, maka menurut pembaca,
jika ada pertanyaan mengapa pemerintah mengeluarkan satuan mata uang logam 100
dan 500 rupiah dengan dua bahan yang berbeda? Sebenarnya, jawabannya adalah
erat kaitannya dengan perdagangan valas ini. Hikmah dasar yang bisa kita tarik
dari sini adalah kearifan masyarakat mau menggunakan mata uang logam sehingga
tetap memiliki nilai, sebenarnya turut membantu tidak jatuhnya nilai tukar
rupiah di perdagangan valas. Tentu ini membutuhkan kajian tersendiri.
Insyaallah kelak akan disampaikan.
Mari kita kembali kepada sejarah mata uang.
Semenjak manusia mulai hidup tersebar ke berbagai pelosok daerah dan negara,
manusia menjadi semakin sulit untuk melakukan pertukaran bila harus menggunakan
uang logam. Hal ini disebabkan, karena uang logam tidak terbuat dari bahan yang
praktis untuk dibawa. Dalam kapasitas perdagangan yang besar, dibutuhkan keping
logam yang banyak pula, sehingga menyulitkan bagi pedagang untuk membawanya.
Faktor kesulitan ini selanjutnya di atasi dengan membuat sebuah alat tukar yang
praktis, ringan di bawa dan mudah disimpan dan harus memiliki nilai manfaat
yang menentukan nilai tukar. Pada akhirnya lahirlah uang kertas (al-aurâqul
mâliyah).
Jika pada uang logam, ada “nilai bahan” yang
berperan dalam menjaga “nilai tukar” koin, maka pada uang kertas, nilai apa
yang bisa membuat uang kertas ini tetap memiliki jaminan “nilai tukar” barang.
Jika sebelumnya, andai mata uang emas tidak digunakan dalam perdagangan, koin
emas sendiri bisa dilebur oleh pemiliknya untuk dijadikan perhiasan. Dengan
demikian, “nilai bahan” emas tetap memiliki “nilai manfaat”. Namun, pada uang
kertas ini, penyandaran kepada “nilai bahan” (‘ain al-mitsli) adalah jelas
tidak mungkin, karena pada dasarnya ia hanya berupa kertas yang di atasnya
dituliskan satuan nilai, sehingga apabila tulisannya itu hilang, maka “nilai
tukar”-nya menjadi hilang juga (bi lâ naf’in). Itulah sebabnya kemudian
disusunlah sistem jaminan (dlamman). Tentu barang yang menjadi jaminan adalah
berupa barang berharga, yang terdiri atas emas dan perak. Pada akhirnya, setiap
orang yang memiliki lembar uang kertas itu, menjadi “bermakna” bahwa ia
memiliki sebuah benda yang dijaminkan dengan bukti kepemilikan berupa uang
kertas tersebut. Persoalannya kemudian, di mana benda yang dijaminkan itu
berada?
Saat awal belum adanya perbankan, benda-benda
yang dijaminkan ini berada di tukang pandai besi yang piawai dalam menyetak
emas batangan. Orang yang memiliki uang kertas, bisa mengambil logam mulia ini
di tukang pandai yang sesuai dengan yang tertera di kertas yang ia bawa.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa peran
dan fungsi uang menjadi berubah. Ia tidak lagi hanya memiliki fungsi: 1) alat
tukar (mutaqawwam), 2) nilai tukar (‘iwâdl al-mitsli) dan 3) sebagai satuan
hitung (qîmah). Uang kertas memiliki fungsi tambahan selain dari ketiga fungsi
tersebut. Fungsi tambahan itu adalah 4) ia berperan sebagai “tanda bukti
kepemilikan” atas suatu bagian logam mulia (emas) yang terdapat di sebuah
tukang pandai besi tertentu. Namun, keberadaan fungsi yang keempat ini tidak
dapat dipisahkan dari fungsi utama uang sebagaimana yang sudah disebutkan
terdahulu, yaitu sebagai benda yang memiliki “nilai tukar” (qîmatul mitsli).
Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar