Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (6)
Menghadapi Belanda,
Menjaga Aqidah Umat
Pada suatu hari,
ketika Djalaluddin sedang mengobati pasiennya di sebuah desa, tiba-tiba seorang
hulubalang menghampirinya. Hulubalang tersebut mengatakan bahwa Djalaluddin
dipanggil oleh controleur Belanda Gunung Tua yang sedang mengadakan peninjauan
keliling kampung.
Kebetulan controleur
itu mendapat laporan bahwa Djalaluddin sedang berada di kawasan itu. Ketika
hulubalang itu disuruh memanggil Djalaluddin, maka si controleur menunggu di
suatu tempat di sisi desa.
Awalnya Djalaluddin
tidak mau memenuhi panggilan tersebut karena merasa khawatir akan diperangkap.
Tapi hulubalang tersebut memberikan alasan bahwa jika Djalaluddin tidak mau,
tentu dirinya akan mendapatkan siksaan.
”Sang controleur
sengaja menunggu di sana dan menyuruhku kemari untuk menjemput Datu,” kata si
hulubalang dengan penuh harap.
”Ada urusan apa tuan
controleur memanggil saya? Kenapa tidak langsung saja dia kemari?” tanya
Djalaluddin penuh sidik.
”Saya tidak tahu,
mungkin ada yang penting. Saya tidak sanggup memaksa Datu. Hanya saya mohon
agar Datu bersedia memenuhi panggilan itu. Kalau rakyat biasa tentu akan saya
paksa, tapi terhadap Datu, saya tak sanggup membuat kekerasan. Saya sudah lama
mengenal nama Datu di daerah ini, seorang laki-laki alim yang telah banyak
memberikan pertolongan. Harap lah Datu bersedia datang kehadapan tuan
controleur itu. Kalau sekiranya Datu mendapat bahaya di sana nanti, biarlah
anak dan istriku sebagai taruhannya,” jawab si hulubalang dengan panjang lebar
dan dengan nada yang sangat memelas.
Djalaluddin terdiam
sebentar. Menurutnya, ucapan si hulubalang itu penuh harapan, mengiba-iba,
padahal mempunyai sosok seorang jagoan. Timbul pertanyaan mengapa tidak
langsung saja si hulubalang menangkap dirinya? Mengapa pula si Belanda itu
harus menunggu jauh-jauh begitu?
Setelah
dipertimbangkan, Djalaluddin memantapkan diri untuk memenuhi panggilan
tersebut. Ia kemudian memerintahkan si hulubalang pergi terlebih dahulu
menghadap ke tuan controleur tersebut dan mengatakan bahwa ia akan menyusul
kemudian walau lagi-lagi terjadi peristiwa yang di luar nalar, Djalaluddin
lebih tiba lebih dahulu daripada si hulubalang.
***
”Kamu orang nama
Djalaluddin?” tanya si controleur setelah sedikit lama memandangi orang yang
ada di hadapannya.
”Ya, benar tuan!”
jawab Djalaluddin tenang dan kemudian bertanya, ”Ada keperluan apa saya
dipanggil?”
”Kami sudah banyak
dengar, kamu punya nama sudah beken dalam masyarakat ramai. Kamu orang sudah
tolong itu penyakit menular. Lantas kami mau kasih persen sama kamu orang.
Persen apa kamu suka?” tanya si controleur.
”Kalau tuan bermaksud
begitu, terlebih dahulu saya ucapkan banyak terima kasih. Hanya saya minta,
supaya tuan jangan mengutip blasting (sejenis pungutan) dari masyarakat
yang sedang ditimpa kesusahan,” jawab Djalaluddin dengan tenang.
Kelihatan si
controleur agak tersentak. Lalu sambil mengangguk-nganggukkan kepala dan
tersenyum kecil, ia berkata, ”Ya...ya...kamu orang memang aneh. Nanti akan kami
pertimbangkan.”
Djalaluddin kemudian
pulang tanpa menerima hadiah apa-apa kecuali sebungkus tembakau.
Sebenarnya maksud
dari udangan si controleur adalah untuk mempengaruhi Djalaluddin secara halus
karena adanya kekhawatiran jika Djalaluddin akan membangun kekuatan di Padang
Lawas sampai ke Luat Harangan dan Sipiongot.
Tetapi setelah
diselidiki dengan seksama ternyata tidak ada bukti-bukti yang dapat membuktikan
kekhawatiran tersebut, yang ada hanya rasa simpati masyarakat yang begitu besar
kepada Djalaluddin.
Dua minggu kemudian,
si controleur memanggil kembali Djalaluddin. Panggilan kedua ini hanya untuk
mengabarkan bahwa Belanda akan meninggalkan daerah Padang Lawas dengan alasan
yang tidak jelas.
Kuat dugaan bahwa
Belanda merasa merugi jika terus-menerus bercokol di daerah tersebut karena
antara pendapatan dan pengeluaran jauh lebih banyak pengeluaran. Ada lagi
dugaan bahwa pihak Belanda mengkhawatirkan jika pada suatu waktu rasa simpati
masyarakat kepada Djalaluddin dengan mudah dapat dimobilisasi oleh Djalaluddin
untuk melawan Belanda.
Ini memang hanya
dugaan-dugaan, namun yang jelas, Belanda telah meninggalkan daerah Padang Lawas
walau pada tahun 1856 kembali lagi ke wilayah tersebut.
Sepeninggalan
Belanda, Djalaluddin tetap meneruskan dakwahnya. Ia berdakwah di tiga wilayah,
yaitu Padang Lawas, Sipiongot dan Sipirok. Ketiga wilayah tersebut menjadi
wilayah segitiga dakwahnya.
Ketiga daerah itu
merupakan daerah segitiga hutan rimba. Sulit dipahami bagaimana caranya ia
dapat melalui kawasan yang begitu liar tanpa mendapatkan gangguan. Ada cerita
rakyat yang beredar bahwa ia dalam perjalanannya menunggangi harimau keramat.
Pada suatu hari di
tahun 1861, Djalaluddin mendengar kabar bahwa di Sipirok terjadi keresahan di
kalangan masyarakat. Ia pun segera bertolak ke Sipirok. Ternyata memang benar
ada keresahan yang ditimbulkan oleh Belanda untuk maksud adu domba dengan
membentuk kepala Huria (Kuria) di Sipirok Godang, Baringin, dan Parau Sorat.
Dengan adanya
kepala-kepala Huria tersebut, maka pertikaian antara ketiga raja yang
bersaudara kandung dan bermarga Siregar semakin menegangkan. Apalagi setelah
mendengar kabar bahwa pendeta Van Asselt memasukkan dua orang penduduk Sipirok
menjadi penganut agama Kristen. Maka Djalaluddin semakin berusaha keras untuk
memberi penerangan-penerangan agar masyarakat yang telah memeluk agama Islam
tidak terpengaruh untuk pindah agama.
Pertemuan dengan Dr
IL Nommensen
Pada tahun 1864, Dr
IL Nommensen, apostel di tanah Batak dan Ephorus HKBP pertama yang berasal dari
Eropa melakukan misi dengan mendirikan pemondokan di Bunga Bondar yang
berdekatan dengan Sibadoar yang penduduk kedua desa itu akhirnya banyak yang
memeluk agama Kristen.
Mengetahui sepak
terjang Dr IL Nommensen ini yang mulai merambah wilayah Sipirok, Djalaluddin
tidak tinggal diam. Pada tahun 1862, Djalaluddin melakukan dialog dengan Dr IL
Nommensen seputar ”perikemanusian” di Luat Sipirok.
Dari hasil dialog
tersebut, dengan penuh kesadaran, Dr IL Nommensen beranjak dari Luat Sipirok
dan bermukim di Pearaja Tarutung. (bersambung...)
*) Rakhmad Zailani
Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar