Jumat, 19 Juli 2019

Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (6)


Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (6)

Menghadapi Belanda, Menjaga Aqidah Umat

Pada suatu hari, ketika Djalaluddin sedang mengobati pasiennya di sebuah desa, tiba-tiba seorang hulubalang menghampirinya. Hulubalang tersebut mengatakan bahwa Djalaluddin dipanggil oleh controleur Belanda Gunung Tua yang sedang mengadakan peninjauan keliling kampung.

Kebetulan controleur itu mendapat laporan bahwa Djalaluddin sedang berada di kawasan itu. Ketika hulubalang itu disuruh memanggil Djalaluddin, maka si controleur menunggu di suatu tempat di sisi desa.

Awalnya Djalaluddin tidak mau memenuhi panggilan tersebut karena merasa khawatir akan diperangkap. Tapi hulubalang tersebut memberikan alasan bahwa jika Djalaluddin tidak mau, tentu dirinya akan mendapatkan siksaan.

”Sang controleur sengaja menunggu di sana dan menyuruhku kemari untuk menjemput Datu,” kata si hulubalang dengan penuh harap.

”Ada urusan apa tuan controleur memanggil saya? Kenapa tidak langsung saja dia kemari?” tanya Djalaluddin penuh sidik.

”Saya tidak tahu, mungkin ada yang penting. Saya tidak sanggup memaksa Datu. Hanya saya mohon agar Datu bersedia memenuhi panggilan itu. Kalau rakyat biasa tentu akan saya paksa, tapi terhadap Datu, saya tak sanggup membuat kekerasan. Saya sudah lama mengenal nama Datu di daerah ini, seorang laki-laki alim yang telah banyak memberikan pertolongan. Harap lah Datu bersedia datang kehadapan tuan controleur itu. Kalau sekiranya Datu mendapat bahaya di sana nanti, biarlah anak dan istriku sebagai taruhannya,” jawab si hulubalang dengan panjang lebar dan dengan nada yang sangat memelas.

Djalaluddin terdiam sebentar. Menurutnya, ucapan si hulubalang itu penuh harapan, mengiba-iba, padahal mempunyai sosok seorang jagoan. Timbul pertanyaan mengapa tidak langsung saja si hulubalang menangkap dirinya? Mengapa pula si Belanda itu harus menunggu jauh-jauh begitu?

Setelah dipertimbangkan, Djalaluddin memantapkan diri untuk memenuhi panggilan tersebut. Ia kemudian memerintahkan si hulubalang pergi terlebih dahulu menghadap ke tuan controleur tersebut dan mengatakan bahwa ia akan menyusul kemudian walau lagi-lagi terjadi peristiwa yang di luar nalar, Djalaluddin lebih tiba lebih dahulu daripada si hulubalang.

***

”Kamu orang nama Djalaluddin?” tanya si controleur setelah sedikit lama memandangi orang yang ada di hadapannya.

”Ya, benar tuan!” jawab Djalaluddin tenang dan kemudian bertanya, ”Ada keperluan apa saya dipanggil?”

”Kami sudah banyak dengar, kamu punya nama sudah beken dalam masyarakat ramai. Kamu orang sudah tolong itu penyakit menular. Lantas kami mau kasih persen sama kamu orang. Persen apa kamu suka?” tanya si controleur.

”Kalau tuan bermaksud begitu, terlebih dahulu saya ucapkan banyak terima kasih. Hanya saya minta, supaya tuan jangan mengutip blasting (sejenis pungutan) dari masyarakat yang sedang ditimpa kesusahan,” jawab Djalaluddin dengan tenang.

Kelihatan si controleur agak tersentak. Lalu sambil mengangguk-nganggukkan kepala dan tersenyum kecil, ia berkata, ”Ya...ya...kamu orang memang aneh. Nanti akan kami pertimbangkan.”

Djalaluddin kemudian pulang tanpa menerima hadiah apa-apa kecuali sebungkus tembakau.

Sebenarnya maksud dari udangan si controleur adalah untuk mempengaruhi Djalaluddin secara halus karena adanya kekhawatiran jika Djalaluddin akan membangun kekuatan di Padang Lawas sampai ke Luat Harangan dan Sipiongot.

Tetapi setelah diselidiki dengan seksama ternyata tidak ada bukti-bukti yang dapat membuktikan kekhawatiran tersebut, yang ada hanya rasa simpati masyarakat yang begitu besar kepada Djalaluddin.

Dua minggu kemudian, si controleur memanggil kembali Djalaluddin. Panggilan kedua ini hanya untuk mengabarkan bahwa Belanda akan meninggalkan daerah Padang Lawas dengan alasan yang tidak jelas.

Kuat dugaan bahwa Belanda merasa merugi jika terus-menerus bercokol di daerah tersebut karena antara pendapatan dan pengeluaran jauh lebih banyak pengeluaran. Ada lagi dugaan bahwa pihak Belanda mengkhawatirkan jika pada suatu waktu rasa simpati masyarakat kepada Djalaluddin dengan mudah dapat dimobilisasi oleh Djalaluddin untuk melawan Belanda.

Ini memang hanya dugaan-dugaan, namun yang jelas, Belanda telah meninggalkan daerah Padang Lawas walau pada tahun 1856 kembali lagi ke  wilayah tersebut.

Sepeninggalan Belanda, Djalaluddin tetap meneruskan dakwahnya. Ia berdakwah di tiga wilayah, yaitu Padang Lawas, Sipiongot dan Sipirok. Ketiga wilayah tersebut menjadi wilayah segitiga dakwahnya.

Ketiga daerah itu merupakan daerah segitiga hutan rimba. Sulit dipahami bagaimana caranya ia dapat melalui kawasan yang begitu liar tanpa mendapatkan gangguan. Ada cerita rakyat yang beredar bahwa ia dalam perjalanannya menunggangi harimau keramat.

Pada suatu hari di tahun 1861, Djalaluddin mendengar kabar bahwa di Sipirok terjadi keresahan di kalangan masyarakat. Ia pun segera bertolak ke Sipirok. Ternyata memang benar ada keresahan yang ditimbulkan oleh Belanda untuk maksud adu domba dengan membentuk kepala Huria (Kuria) di Sipirok Godang, Baringin, dan Parau Sorat.

Dengan adanya kepala-kepala Huria tersebut, maka pertikaian antara ketiga raja yang bersaudara kandung dan bermarga Siregar semakin menegangkan. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa pendeta Van Asselt memasukkan dua orang penduduk Sipirok menjadi penganut agama Kristen. Maka Djalaluddin semakin berusaha keras untuk memberi penerangan-penerangan agar masyarakat yang telah memeluk agama Islam tidak terpengaruh untuk pindah agama.

Pertemuan dengan Dr IL Nommensen

Pada tahun 1864, Dr IL Nommensen, apostel di tanah Batak dan Ephorus HKBP pertama yang berasal dari Eropa melakukan misi dengan mendirikan pemondokan di Bunga Bondar yang berdekatan dengan Sibadoar yang penduduk kedua desa itu akhirnya banyak yang memeluk agama Kristen.

Mengetahui sepak terjang Dr IL Nommensen ini yang mulai merambah wilayah Sipirok, Djalaluddin tidak tinggal diam. Pada tahun 1862, Djalaluddin melakukan dialog dengan Dr IL Nommensen seputar ”perikemanusian” di Luat Sipirok.

Dari hasil dialog tersebut, dengan penuh kesadaran, Dr IL Nommensen beranjak dari Luat Sipirok dan bermukim di Pearaja Tarutung. (bersambung...)

*) Rakhmad Zailani Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar