Pemikiran
Abu Yusuf soal Ekonomi Negara dalam Kitab Al-Kharaj
Nama
lengkapnya adalah Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm ibn Habîb ibn Khunais ibn Sa’ad
al-Anshârî al-Jalbi al-Kûfî al-Baghdâdî. Beliau lahir di Kûfah, sebuah kota di
Irak pada tahun 731 M (113 H) dan wafat pada tahun 798 M (182 H) dalam usia 63
tahun. Nisbah al-Anshâri diperoleh karena ibunya masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan kaum Anshâr, Madînah. Bapaknya sendiri berasal dari kabilah
Bujailah.
Abû
Yûsuf al-Kûfi (w. 182 H) berasal dari keluarga sederhana dan tumbuh kembang di
Kûfah, yang pada masanya merupakan pusat peradaban Islam sehingga banyak
cendekiawan Muslim yang berkumpul di sana, salah satunya adalah Imam Abû
Hanîfah (w. 148 H) dan Abû Yûsuf (w. 182 H) sendiri tercatat sebagai salah satu
santrinya. Ditilik dari tahun kelahiran, Abû Yûsuf hidup di masa peralihan
kekuasaan dari Daulah Bani Umayyah ke Daulah Bani Abbasiyah. Sekilas gambaran
suasana Kûfah di masa Abû Yûsuf, di era Bani Umayyah, Kûfah merupakan tempat
yang sering dipergunakan untuk debat oleh para intelektual Muslim melawan
intelektual yang berasal dari Yunâni dan Româwi. Sampai di sini maka bisa
dibayangkan, bahwa Kûfah memang sudah berkembang tradisi intelektual dan tradisi
pemikiran Muslim kala itu.
Perjalanan
rihlah ilmiah yang pernah dilakukannya antara lain adalah ia berguru kepada
Imam Abû Hanîfah selama kurang lebih 17 tahun. Guru beliau yang lain adalah Abu
Muhammad ‘Athâ Ibn al-Saib Al-Kûfi, Sulaimân bin Mahram Al-A’mâsy, Hisyâm Ibn
Urwah, Muhammad Ibn Abd al-Rahmân Ibn Abî Lailâ, Muhammad Ibn Ishâq Ibn Yassâr
Ibn Jabbâr, dan Al-Hajjâj bin Arthâh. Abû Yusuf juga dicatat pernah berguru
kepada Imam Mâlik bin Anas (w. 179 H).
Beberapa
karya Abû Yûsuf yang terkenal antara lain antara lain adalah kitab al-Atsâr.
Kitab ini syarat dengan paradigma fiqih mazhab Hanâfi, termasuk pemikiran dari
Abû Yûsuf sendiri. Kitab ini sekaligus menunjukkan supremasi beliau sebagai
seorang yang pantas menyandang qâdli al-qudlât (hakim agung) pada masa Daulah
Abbasiyah. Karya lainnya adalah Ikhtilâf Abî Hanîfah wa Ibn Lailâ yang
berisikan kitab muqâran (perbandingan pendapat) antara Abû Hanîfah dan Abû
Lailâ, yang keduanya sama-sama merupakan guru dari Abû Yûsuf. Kitab Al-Radd
‘ala Siyâr al-Auza’î, berisikan sebuah narasi yang berisi bantahan atas
pendapat al-Auzâ’i yang saat itu, al-Auzâ’i adalah seorang qâdlî di Syam
(Siria). Adab al-Qadlî berisikan narasi tata krama seorang qâdli, menyerupai
kitab adab berfatwanya Imam al-Nawâwi dari kalangan Syafî’iyah.
Sementara
itu kitab al-Kharrâj menjelaskan tentang hukum perpajakan dan cukai dan ditulis
atas permintaan langsung dari Khalîfah Harûn al-Râsyîd, sebagai kitab pedoman
dalam menghimpun pemasukan dan pendapatan negara yang berasal dari kharrâj,
‘usyr dan jizyah. Kitab ini sekaligus merupakan kitab panduan tata kelola
keuangan negara yang pertama sebelum Yahya Ibn Adam Al-Qurasyi (w. 203 H)
menulis kitab dengan judul yang sama. Kitab al-Jawâmi’ merupakan kitab yang
berisi perdebatan tentang kedudukan ra’yu dan rasio (‘aql) dalam penggalian
hukum Islam. Asal-asalnya kitab ini merupakan surat yang ditulis dan ditujukan
langsung kepada Yahya ibn Khâlid al-Barmâki, Perdana Menteri dari Khalifah
Harun al-Râsyîd.
Karena
Abû Yûsuf terkenal sebagai ahli tata kelola keuangan negara, maka dalam
kesempatan ini, pembahasan kita spesifikkan ke al-Kharrâj sebagai salah satu
kitab karyanya. Di tangan penulis, kitab al-Kharrâj diterbitkan tahun 1979 oleh
peneribit Dâr al-Ma’rifah, Beirut, Libanon. Kitab ini tersusun setebal 244
halaman lengkap dengan daftar isi dan indeks kitab.
Kitab
al-Kharrâj merupakan jawaban dari beberapa masalah yang diajukan oleh Khalifah
Harûn al-Rasyîd dan beberapa di antaranya adalah masalah yang dibuat sendiri
oleh Abû Yûsuf. Di awal muqaddimahnya, Abû Yûsuf menegaskan:
أن
أمير الزمنين أيده الله تعالى سألني أن اضع كتابا جامعا يعمل به في جباية الخراج
العشور والصدقات والجوالي وغير ذلك مما يجب عليه النظر فيه والعمل به وإنما أراد
بذلك رفع الظلم عن رعيته والصلاح لأمرهم
Artinya:
“Sesungguhnya Amirul Mukminin - semoga Allah SWT meneguhkannya – telah
memintaku untuk menyusun sebuah kitab kumpulan pedoman aplikatif penerapan
al-kharaj, al’usyur, shadaqat, jawâli dan semacamnya, yang memuat hal-hal yang
wajib untuk diperhatikan dan terapkan. Khalifah menghendaki penyusunan ini guna
menghindari tindakan al-dhulm terhadap rakyatnya dan mengupayakan reformasi
terhadap urusan mereka.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf
Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li
al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 3)
Dasar
yang dipergunakan untuk berargumen oleh penulisnya adalah sintesa antara ‘aqlî
(rasio) dan naqli (wahyu) yang sekaligus menunjukkan perbedaaannya dengan
al-Kharrâj yang ditulis oleh Ibn Adam. Ibn Adam hanya memanfaatkan dalil naqli
guna mengulas pendapatnya dengan metode tautsiq (penguatan/dokumentasi)
terhadap riwayat-riwayat hadits, pendapat sahabat dan tabi’in. Mungkin
disebabkan karena saat itu, metode kritik hadits belum berkembang, maka Ibn
Adam tidak melakukan kritik sanad dan matannya. Tapi karyanya menjadi bagian
dari perbendaharaan kekayaan intelektual Muslim.
Metode
Ibn Adam ini tidak dipergunakan oleh Abû Yûsuf. Beliau lebih memilih upaya
merasionalisasikan i’lal al-hadits sehingga hadits-hadits yang dinukil oleh Abû
Yûsuf sedikit banyak sudah mendapatkan koreksi dan kritik sehingga al-Kharrâj
merupakan kitab hasil seleksi data. A’mâlu al-shahâbi (praktik sahabat)
mendapatkan bagian tersendiri dari data yang dipergunakan oleh Abû Yûsuf, jadi
seolah bahwa kitab al-Kharrâj ini adalah buah dari hasil studi kasus.
Menurut
pengertian leksikal, sebenarnya al-Kharrâj memiliki arti pajak tanah yang
dipungut dari wilayah yang dikuasai oleh Islam. Namun, dalam praktiknya,
menurut Abû Yûsuf al-Kharrâj memiliki dua dimensi makna, pertama dipandang sebagai
al-amwâl al-‘âmmah (keuangan publik) dan al-amwâl al-khâshah (keuangan khusus).
Sumber keuangan publik bagi pemerintahan meliputi: ghanimah, fai’, al-kharaj,
al-jizyah, ‘usyr al-tijârah dan shadaqah. Adapun sumber keuangan khusus, dapat
diketahui saat beliau mengupas soal sewa tanah atau kompensasi pemanfaatan
tanah negara oleh asing. Menilik dua dimensi ini, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan al-Kharrâj menurut Abû Yûsuf adalah kurang lebih sama
dengan istilah pajak penghasilan saat ini (common taxation). Kedua dimensi ini
merupakan sumber finansial negara.
Di
dalam kitab ini, Abû Yûsuf menjelaskan bahwa sumber perekonomian negara juga
bisa diperoleh melalui: (1) pengelolaan sumber daya alam (tanah dan air) dan
(2) peningkatan efektivitas lapangan kerja dan penyediaan tenaga kerja.
Swakelola sumber daya alam dimaksimalkan melalui pembukaan lahan pertanian, dan
pemanfaatan tanah. Sementara untuk meningkatkan efektivitasnya, perlu
diupayakan pembuatan sistem irigasi pertanian.
Persoalan
masyarakat kecil kurang mendapat perhatian dari Abû Yûsuf. Sumber penghasilan
negara lebih mengedepankan pada jalinan relasi produktif antara umat Islam
dengan kaum dzimmi dalam dâr al-islâm atau relasi produktif antara umat Islam
dengan komunitas non Muslim dalam dâr al-harb. Untuk penghasilan dari relasi
level pertama, diperoleh dari al-kharaj dan jizyah. Sementara penghasilan dari
akibat relasi level kedua, diperoleh dari ghanîmah. Cukai ditetapkan oleh
pemerintah terhadap para pedagang kâfir harbî (orang kafir yang memerangi umat
Islam) yang membawa barang dagangannya ke negara Islam. Sementara itu, umat
Islam hanya berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai bagian dari membangun
solidaritas antara sesama Muslim.
Menurut
Abû Yûsuf, ada tiga pemegang hak kuasa atas diri kaum Muslim di Dâr al-Islâm,
antara lain: rakyat, pemimpin (imam) dan lembaga-lembaga negara atau lembaga
pemerintahan, seperti Hizb al-jaisy (Departemen Angkatan Bersenjata), Dawâwîn
(Para Dewan). Setiap departemen memiliki tugas dan peran masing-masing yang
sudah ditetapkan. Job diskripsi secara umum mencakup penetapan rasio jizyah
yang boleh diterima, pengelolaan harta ghanîmah dalam perbendaharaan negara,
penetapan gaji dan tunjangan bagi khalifah dan seluruh perangkatnya, penetapan
hak guna tanah dan hak guna bangunan, membuat saluran irigasi dan reboisasi
tanah.
Konsep
kepemilikan dalam negara sudah dibagi menjadi beberapa macam, mencakup banyak
aspek di antaranya: kepemilikan permodalan yang juga diatur oleh negara
(istighlâl), kepemilikan aktual, kepemilikan individu, kepemilikan khusus
terhadap barang bergerak, kepemilikan umum dan kepemilikan bersama. Semua jenis
kepemilikan ini bersifat tidak permanen.
Ada
tiga relasi elemen yang mendapat perhatian serius oleh Abû Yûsuf agar semua
sistem negara tersebut dapat berjalan dengan baik. Ketiga faktor ini harus
saling bekerjasama dalam menjaga dan mewujudkan tujuan negara, yaitu agama
(religi), ekonomi dan militer. Tiga faktor ini merupakan penopang kuat atau
lemahnya suatu negara. []
Ustadz
Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini
menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU
Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar