Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (5)
Menikah dengan Boru
Tulang
Bertahun-tahun
lamanya Djalaluddin di Paran Padang untuk mengajarkan agama Islam dan juga
terus belajar untuk meningkatkan kapasitas diri. Pada tahun kelima, ia berniat
berumah tangga. Namun sebelum menikah, walaupun belum jelas siapa perempuan
yang akan ia nikahi, ia ingin berziarah ke makam ibunya dan bersilaturrahmi
dengan keluarga ibunya di Sibadoar untuk meminta restu.
Awalnya, rencana
Djalaluddin ke Sibadoar ditentang oleh saudara-saudara mendiang ayahnya di
Paran Padang karena dikhawatirkan jika dendam lama itu akan terungkit kembali.
Tetapi karena Djalaluddin tetap teguh pada keinginannya, akhirnya ia
mendapatkan izin dari saudara-saudara ayahnya tersebut.
Namun ketika
Djalaluddin sampai di Sibadoar, ia disambut dingin, hambar. Kelihatannya, semua
sanak famili dari pihak ibunya ini kurang senang kepadanya. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh dendam lama yang masih ada dan belum terbalas.
Mengetahui hal
tersebut, Djalaluddin ingin mendamaikan kedua keluarganya ini salah satunya
dengan menikahi gadis dari Sibadoar yang pernah dikenalnya waktu kanak-kanak
dulu, yaitu boru tulang (putri dari abang mendiang ibunya).
Menurut adat,
perempuan yang mempunyai hubungan famili seperti itulah yang paling baik
dipilih untuk djadikan istri. Kebetulan si gadis itu berhati polos, tidak turut
campur tangan terhadap dendam orang tua. Si gadis itu juga menyukai
Djalaluddin.
Djalaluddin kemudian
melamar boru tulang itu, tetapi keluarga calon mertuanya keberatan. Secara
tegas, lamaran tersebut ditolak karena alasan dendam yang belum terbalas.
Tetapi, penolakan tersebut tidak membuat mundur Djalaluddin. Cinta kedua insan
ini terlalu kuat untuk dihalangi. Keduanya kemudian kabur, melarikan diri ke
Paran Padang.
Akhirnya pernikahan
keduanya dilaksanakan juga di Paran Padang dengan cara yang sederhana, di mana
sanak famili kedua belah pihak yang telah sekian lama saling mendendam itu
secara terpaksa harus mencari jalan damai sehingga tujuan Djalaluddin untuk
mendamaikan kedua sanak familinya ini berhasil.
Apalagi menjelang
pernikahan, Djalaluddin telah berhasil mengislamkan calon istrinya yang
sebelumnya berpaham pelbegu. Dengan adanya pernikahan ini, sampai sekarang,
hubungan dua desa itu terjalin damai.
Ujian Rumah Tangga
dan Ketegaran Berdakwah
Sejak pernikahan itu,
Djalaluddin semakin matang. Sebagai seorang alim yang merangkap datu (tabib),
membuat dirinya semakin dikenal masyarakat. Inilah mungkin bentuk pengabulan
Allah SWT terhadap harapan ayahnya menjelang dieksekusi, dihukum pancung,
“Mudana dengan do ugamo Silom na ro i, lehenma gogo dohot hasangapan tu anakku
si sada-sada on.” (Kalau memang baik agama Islam yang datang itu, berikanlah
kekuatan dan wibawa kepada putra tunggalku ini).
Djalaluddin pun terus
berdakwah. Tanpa pamrih, ia terus berdakwah ke desa-desa yang berada di wilayah
Sipirok. Ia berdakwah dengan keteladanan sehingga disukai masyarakat dan
namanya pun semakin terkenal.
Namun, Allah SWT
selalu menguji hamba-hamba-Nya untuk mencapai derajat yang lebih tinggi lagi
dari derajat yang sudah dicapai sebelumnya. Istri tercinta Djalaluddin
diwafatkan Allah SWT setelah mempunyai dua orang putri yang bernama Siti Rofah
dan Renggana yang sedang menginjak remaja. Djalaluddin menerima ini sebagai
ujian agar ia semakin bertawakkal.
Beberapa tahun
setelah istrinya wafat, Djalaluddin menikah lagi dengan seorang gadis, boru
Harahap, dari Paran Batu yang kemudian wafat setelah mempunyai seorang putri
bernama Nurmia.
Setelah dua kali
menikah dan ditinggal wafat istri-istrinya, Djalaluddin tetap tegar menjalankan
hidupnya dan terus berdakwah sampai ke pelosok-pelosok tanah Sipirok. Ia selalu
mendapat undangan dari segala penjuru desa untuk mengadakan upacara-upacara
agama sampai mendapat panggilan untuk mengobati orang sakit atau orang yang
kesurupan.
Namun semangat
mengembara tetap membara di dalam diri Djalaluddin. Ia ingin mengembara lagi,
pergi keluar dari kampung halamannya, Paran Padang, bahkan keluar dari wilayah
Sipirok. Tujuan awalnya adalah ke Padang Lawas.
Keinginannya ini
sempat tertunda-tunda karena Belanda telah menguasai penuh Mandailing, Angkola,
dan Padang Lawas. Tidak ada lagi perlawanan dari penduduk pribumi.
Setelah situasi
dianggap memungkinkan, Djalaluddin memantapkan diri untuk kembali mengembara.
Disampaikanlah keinginannya itu kepada saudara-saudaranya di Paran Padang,
terutama kepada amang tuanya, Ja Pattis.
Keberangkatan
Djalaluddin kali ini ke Padang Lawas memiliki alasan kuat, yaitu wilayah
tersebut sedang terjangkit wabah penyakit yang mengerikan.
”Saya terpaksa juga
harus berangkat ke sana,” kata Djalaluddin kepada saudara-saudara sepupunya.
“Suka hatimu
sendirilah. Tapi, jangan lagi dekati kerbau-kerbau milikku itu!” jawab
Panongonan, salah satu sepupunya, anak dari Ja Moppo, yang masih teringat
dengan perbuatan Djalaluddin meninggalkan kerbau-kerbau keluarganya di Padang
Lawas untuk mengikuti Tuanku Tambuse.
“Kenapa abang masih
menyinggung persoalan kerbau?” tanya Djalaluddin.
“Karena engkau dengan
cara diam-diam telah meninggalkannya dulu!”
“Apakah ada yang
hilang? Jangankan berkurang, kurasa kerbau-kerbau milik abang itu malah
bertambah banyak sejak kutinggalkan. Tidakkah abang lihat sendiri bahwa jumlah
kerbau itu semakin banyak semenjak kutinggalkan.”
”Ah, pandai bicara
saja kau. Memang bertambah banyak karena dijaga secara teliti oleh orang lain,”
balas Panongonan dengan nada yang melecehkan.
“Abang!” tiba-tiba
Djalaluddin berseru karena tersinggung dan kembali berkata,”Baiklah kalau
begitu. Peliharalah baik-baik semua kerbau-kerbau milikmu itu. Hanya pesanku,
jika bala penyakit datang menimpa, kuharap agar abang janganlah sesombong itu
lagi. Abang, jangankan kerbau, anak abang sendiri pun akan kujaga baik-baik,
akan kudoakan agar tetap selamat.”
“Sudahlah, jangan
perpanjang lagi, bikin naik darahku saja nanti!” potong Panongonan dengan wajah
merah padam.
“Kalau begitu,
baiklah. Lihatlah suatu masa kelak, salah seorang dari anak abang akan datang
menemuiku minta pertolongan!” ujar Djalaluddin sambil beranjak dari tempat
duduknya dan meninggalkan tempat pembicaraaan tersebut.
Setelah Djalaluddin
kepada semua amang tuanya dan udanya, Ja Galanggang II, dan juga kepada saudara
sepupunya, Tahuru, maka di siang hari ia meninggalkan tanah kelahirannya, Paran
Padang, menuju Padang Lawas.
Kehadiran Djalaluddin
kembali ke Padang Lawas disambut meriah dan gembira oleh masyarakat setempat.
Sambutan itu bukan tanpa alasan. Selain Djalaluddin memang sudah mereka kenal
dan dianggap menjadi bagian dari keluarga Padang Lawas, juga karena sedang
mewabahnya suatu penyakit yang menyerang peternakan. Sebagian besar kerbau dan
lembu telah mati, termasuk kerbau milik Panongonan.
Djalaluddin berusaha
mengatasi wabah penyakit yang dahsyat itu dengan cara yang unik. Pertama kali
yang dilakukan adalah dengan memasang bendera atau panji-panji di tengah-tengah
padang rumput yang luas. Kemudian ia mengadakan pemeriksaan tempat-tempat
ternak berada. Tidak lama kemudian, wabah penyakit itu hilang dari Padang
Lawas. (bersambung...)
Rakhmad Zailani Kiki.
Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala
Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar