5 Tolok Ukur Seseorang
Dikatakan Mampu Berhaji
Adanya kemampuan merupakan salah satu syarat
wajib haji. Karena itu yang tidak termasuk kategori mampu, tidak wajib
melaksanakan haji. Allah subhanahu wata’ala menegaskan hal ini dalam
firman-Nya:
وَلِلهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
Baitullah,” (QS Ali Imran 97).
Berkaitan memahami kata mampu dalam ayat
diatas, ulama membaginya menjadi dua kategori. Pertama, mampu
melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Kedua, mampu melaksanakan haji
dengan digantikan orang lain.
Seseorang bisa disebut mampu melaksanakan
ibadah haji dengan dirinya sendiri apabila memenuhi lima syarat sebagai
berikut.
1. Kesehatan Jasmani
Ibadah haji adalah ibadah yang membutuhkan
tenaga ekstra, sehingga kondisi tubuh harus benar-benar sehat dan memungkinkan
untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji.Orang yang lumpuh, tua renta atau
memiliki penyakit permanen yang membuatnya tidak memungkinkan menjalani
aktivitas manasik dan menempuh perjalanan jauh, bukan kategori orang yang mampu
menjalankan haji dengan sendiri, tapi hukumnya menyesuaikan kemampuan finansial
yang dimiliki. Bila ia memiliki dana yang cukup untuk menyewa orang lain agar
menggantikan hajinya, maka wajib dilakukan.
Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin berkata:
ـ
(الخامس) وهو في الحقيقة السادس (أن يبيت على الراحلة بلا مشقة شديدة) وإلا لم يجب
عليه بنفسه بل هو معضوب وسيأتي
“Syarat wajib kelima adalah orang yang
berhaji dapat menetap di kendaraan dengan tanpa kepayahan yang sangat, andai
tidak seperti itu maka tidak wajib untuk melaksanakan haji dengan dirinya
sendiri.Akan tetapi ia adalah orang lumpuh dan akanada penjelasannya
nanti.”(Al-Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra al-Karim, juz 2,
hal. 88).
2. Sarana Transportasi yang Memadai
Orang yang bertempat tinggal jauh dari tanah
suci dengan jarak 2 marhalah (+81 km) atau lebih, maka kewajiban haji
baginya disyaratkan adanya sarana transportasi yang layak untuk bisa digunakan
pergi haji, baik dengan menyewa atau memilikinya sendiri. Ketentuan ini juga
berlaku bagi orang rumahnya dekat dengan tanah suci, namun tidak mampu menempuh
perjalanan menuju tanah haram dengan berjalan kaki.Dalam konteks jamaah haji di
Indonesia,syarat kedua ini bisa diartikan memiliki biaya sewa pesawat dan alat
transportasi yang dibutuhkan selama menjalani manasik.
Syekh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari
berkata:
والراحلة
أو ثمنها إن كان بينه وبين مكة مرحلتان أو دونهما وضعف عن المشي
“Dan adanya kendaraan atau ongkosnya ketika
jarak antara ia dan Makkah 2 marhalah atau dibawah 2 marhalahtetapi ia tidak
mampu untuk berjalan.”(Syekh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Muin
Hamisy Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Al-Hidayah, juz 2, hal. 282).
Sarana transportasi yang dimaksud ini
disyaratkan melebihi kebutuhan sandang pangan, bagi dirinya dan keluarga yang
wajib ditanggung nafkahnya, terhitung sejak keberangkatan sampai pulang
menunaikan ibadah haji.Demikian pula disyaratkan melebihi dari utangnya serta
harta yang wajib ditunaikan untuk membantu faqir miskin yang mengalami darurat
sandang pangan. Dalam fiqih, membantu mereka hukumnya fardhu kifayah (wajib
kolektif).
Dengan demikian, orang yang keluarganya
terkatung-katung, tetangganya kelaparan atau utangnya menumpuk, tidak
berkewajiban berangkat haji. Perlu kesadaran yang maksimal bahwa agama hanya
mewajibkan haji bagi orang yang mempunyai ongkos pembiayaan haji setelah nafkah
wajib dan tanggungan kepada orang lain terpenuhi, sehingga tidak berdampak
mengorbankan hak-hak orang lain yang wajib ditunaikan.
Syekh Abdullah bin Husain Thohir bin Muhammad
bin Hasyim Ba’alawi Berkata:
يجب
الحج والعمرة في العمر مرة على المسلم الحر المكلف المستطيع بما يوصله ويرده إلى
وطنه فاضلا عن دينه ومسكنه وكسوته اللائقين ومؤنة من عليه مؤنته مدة ذهابه وإيابه.
“Wajib haji dan umrah seumur hidup sekali
bagi muslim, merdeka, mukallaf dan mampu terhadap hal yang dapat mengantarkan
dan memulangkannya ke tanah airnya, yang melebihi utangnya, tempat tinggalnya,
sandangnya yang layak dan dari biaya orang yang wajib dibiayai selama pergi dan
pulang haji,”(Syekh Abdullah bin Husain Thahir bin Muhammad bin Hasyim
Ba’alawi, Sullam Al-Taufiq, Kediri, Maktabah Al-Salam, hal. 60-61).
Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad
Syatha Al-Dimyati berkata:
والمراد
بمن يجب نفقته الزوجة والقريب والمملوك المحتاج لخدمته وأهل الضرورات من المسلمين
ولو من غير أقاربه لما ذكروه في السير من أن دفع ضرورات المسلمين بإطعام جائع
وكسوة عار ونحوهما فرض على من ملك أكثر من كفاية سنة وقد أهمل هذا غالب الناس حتى
من ينتسب إلى الصلاح
“Yang dikehendaki dari orang yang wajib
dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk
melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan
kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam babAl-Sair(jihad) bahwa membantu
orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang
kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan
selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan
satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang
disebut-sebut saleh sekalipun.” (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad
Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Tholibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282).
Ketentuan di atas berdasarkan sabda Nabi Muhammad
SAW ketika beliau menjelaskan ayat “Man Istatha’a Ilaihi Sabila”.
Disebutkan dalam sebuah riwayat beliau bersabda:
عن
أنس بن مالك رضي الله عنه قال قيل يا رسول الله ما السبيل؟ أي في هذه الآية ؟ قال
صلى الله عليه وسلم الزاد والراحلة. رواه الحاكم وقال صحيح على شرط الشيخين.
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A beliau
berkata : “Ditanyakan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam,
wahai Rasulullah apa makna Al-Sabil dalam ayat ini ?. Beliau menjawab; bekal
dan kendaraan.(H.R Al-Hakim, hadits shahih yang memenuhi standar kualifikasi
versi al-Bukhari dan Muslim).
3. Aman
Aman yang dimaksud adalah terjaminnya
keselamatan nyawa, harta dan harga diri seseorang, selama perjalanan dan
pelaksanaan ibadah haji, sehingga andai saja terjadi beberapa hal yang
dikhawatirkan mengancam keamanan seperti peperangan, perampokan atau cuaca
buruk yang menghambat perjalanan menuju tanah suci, maka tidak wajib
melaksanakan haji. Saat ini terjaminnya keamanan calon jamaah haji sudah sangat
baik dengan pengawasan maksimal oleh pihak-pihak yang bertugas. Demikian pula
dengan proses perjalanan menuju Makkah-Madinah, sudah sedemikian canggih dengan
servis pelayanan yang menjamin keselamatan jamaah haji. Maka hampir dipastikan
tidak ada kendala yang signifikan untuk masalah ini.
Syekh Zainuddin Al-Malibariberkata:
ويشترط
أيضا الوجوب أمن الطريق على النفس والمال ولو من رصدى وإن قلّ ما يأخذه وغلبة
السلامة لراكب البحر فإن غلب الهلاك لهيجان الأمواج في بعض الأحوال أو استويا لم
يجب بل يحرم الركوب فيه له ولغيره.
“Dan disyaratkan bagi wajibnya haji, amannya
jalan bagi diri sendiri dan harta walaupun dari perampok, walaupun hanya
sedikit yang diambil.Serta dugaan kuat keselamatan bagi orang yang menaiki
perahu, maka bila kemungkinan besar terjadi kematian karena dahsyatnya ombak di
sebagian keadaan atau prosentasenya sama, maka tidak wajib, bahkan haram
melaksanakan perjalanan jalur laut bagi dirinya dan orang lain.” (Syekh
Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Muin Hamisy Hasyiyah Ianah
at-Thalibin, juz 2, hal. 282 Al-Hidayah)
4. Perginya Perempuan dengan Suami, Mahram,
atau Beberapa Perempuan yang Dapat Dipercaya
Dalam ibadah haji, syari’at memberikan
perhatian khusus bagi jamaah haji wanita. Perempuan yang akan melaksanakan haji
disyaratkan harus didampingi suami, mahram atau sekelompok wanita yang bisa
dipercaya, hal ini tidak lain karena adanya larangan bagi wanita menempuh
perjalanan dengan sendirian (terlebih perjalanan jauh seperti haji), sehingga
sangat mengkhawatirkan keselamatan nyawa, harga diri dan hartanya.
Maka, bila tidak ada suami, mahram atau
beberapa perempuan yang bisa dipercaya yang menemaninya, seorang wanita tidak
wajib haji.
Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi
berkata:
وفي
المرأة أن يخرج معها زوج أو محرم أو نسوة ثقات
“Dan bagi perempuan dia harus keluar
bersamaan dengan suami, mahrom atau beberapa perempuan yang dapat
dipercaya.”(Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Minhaj
Al-Thalibin Hamisy Hasyiyah Qalyubi dan Umairah, Al-Hidayah, juz 2, hal.
113)
5. Rentang Waktu yang Memungkinkan untuk
Menempuh Perjalanan Haji
Waktu haji yang terbatas membuat
pelaksanaannya tidak seleluasa ibadah umrah. Sehingga, dalam syarat wajib haji,
harus ada waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan dari tanah air
menuju Makkah.
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Ali
Al-Jawi berkata:
سابعها
وجود الزمن الذي يسع السيرالمعهود للنسك من بلده إلى مكة
“Syarat wajib ke-7 adalah adanya waktu yang
mencukupi untuk perjalanan haji dari negaranya ke Makkah,” (Syekh Abu Abdil
Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Ali Al-Jawi, Nihayah Al-Zain, Al-Haramain,
hal. 202).
Demikian penjelasan mengenai batasan mampu
melaksanakan haji. Sekian semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar