Rabu, 31 Juli 2019

Kang Komar: Satu Peristiwa Multitafsir


Satu Peristiwa Multitafsir
Oleh: Komaruddin Hidayat

ADA adagium filsafat, man is an interpreter being. Manusia itu makhluk penafsir. Setiap hari mesti melakukan penafsiran terhadap peristiwa dan objek yang ada di sekitarnya.

Ketika masih kecil, saya tanpa sadar mulai belajar menafsirkan, jika melihat langit gelap, itu artinya mendung dan tanda-tanda mau turun hujan. Ketika masih tidur nyenyak mendengar ayam berkokok, itu tandanya hari sudah menjelang pagi, waktu subuh hampir tiba.

Demikianlah, sesungguhnya kita hidup dalam bangunan dunia makna produk penafsiran, baik produk penafsiran orang lain maupun diri kita masing-masing. Dalam doktrin dan wacana keagamaan, terdapat bahasa simbolik yang memerlukan penafsiran yang pada urutannya melahirkan beragam mazhab serta benturan pemikiran.

Begitu pun dalam panggung dan realitas politik keseharian, kita dihadapkan berbagai peristiwa dan adegan yang melahirkan multitafsir. Misalnya saja ketika media massa menyajikan gambar Jokowi dan Prabowo bertemu dan berbincang di dalam gerbong MRT pada 13 Juli 2019 lalu dari Stasiun Lebak Bulus menuju Senayan, maka bermunculanlah penafsiran dengan sudut pandang dan kesimpulan yang berbeda-beda.

Dua hari lalu, Megawati mengundang Prabowo ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat sambil menyantap nasi goreng. Sementara dalam waktu yang bersamaan, Surya Paloh mengundang Anies Baswedan makan siang ke kantor NasDem, Menteng, tak jauh dari kediaman Megawati.

Apa makna dan pesan dari peristiwa itu? Lagi-lagi, masyarakat bebas menafsirkan. Karena ketiganya ketua umum parpol, kecuali Anies yang gubernur DKI, maka tak terelakkan para pengamat menilai semua itu sebagai adegan, lobi, dan manuver politik. Apakah dalam konteks rekonsiliasi, membincang penyusunan kabinet mendatang ataukah Pilpres 2024 nanti?

Peristiwanya satu dan sama, namun penafsirannya berbeda-beda. Ketika perbedaan penafsiran itu datang dari pengamat ternama, lalu disiarkan oleh media massa, maka resonansinya kian meluas, padahal semua itu jangan-jangan jauh dari kebenaran. Semua itu hanya menduga-duga.

Di antara kesan dan penafsiran yang muncul adalah retaknya Koalisi 02 sewaktu pemilu yang lalu. Ada lagi pendukung barisan massa 212 yang menganggap Prabowo pengkhianat, entah apa dan siapa sesungguhnya yang dikhianati itu. Surya Paloh tampil bermesraan dengan Anies Baswedan, sosok yang pernah diidolakan oleh barisan 212, sedangkan Surya Paloh yang notabenenya bos sebuah televisi swasta, juga pernah mereka kafirkan.

Surya Paloh dengan NasDem-nya sudah bekerja all out untuk memenangkan pencalonan Jokowi, sedangkan pendukung Prabowo Subianto secara emosional dan all out berusaha menjegal Jokowi, bahkan sampai mempermasalahkan kesahihan pilpres, lalu membawa ke MK.

Sekarang suasananya sudah banyak mengalami perubahan. Orang pun bertanya, bagaimana sikap dan pilihan Jokowi dan parpol lainnya menafsirkan dan menyikapi situasi ini? Mereka yang dulu diposisikan sebagai pasukan "cebong", "kampret" dan "jamaah 212" apakah masih berseteru atau sudah kembali ke habitat masing-masing melupakan pesta pemilu?

Kelihatannya emosi rakyat sudah mereda. Kini lingkaran elite partai yang lagi kencang putar otak, lobi dan bermanuver untuk memperoleh dividen dari saham politik yang mereka setorkan. Yang menarik, yang tadinya berseberangan juga berusaha mendekat dan melebur dengan berbagai dalih yang dikemukakan.

Ada pelajaran sangat berharga bagi rakyat, yaitu janganlah terlalu emosional dan menyakralkan pilihan politik dan tokoh-tokohnya. Jangan-jangan mereka itu berpolitik tak lebih bagaikan berdagang, maunya untung banyak dan tak mau rugi, lalu emosi dan suara rakyat dikapitalisasi untuk menambah besarnya saham politik. []

KORAN SINDO, 26 Juli 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar