Benarkah Tak Boleh Jeda
Sama Sekali dalam Ijab Kabul Nikah?
Seorang pengantin laki-laki dengan suara
jelas dan tegas mengucapkan “saya terima nikah dan kawinnya....”. Usai kalimat
kabul itu diucapkan sang penghulu yang memimpin proses pernikahan itu berseru
dalam nada tanya, “Sah?” Dan para hadir yang ada di majelis itu serempak
menjawab, “Sah!” Namun di tengah pernyataan para hadir yang menyebutkan
keabsahan ijab kabul itu sebuah suara berbeda menyusup dengan jelas, “Ulangi!”.
Atas suara yang berbeda itu sang penghulu
bertanya, “Mengapa diulangi? Apa alasannya?” Lalu orang yang meminta diulangi
menuturkan bahwa ijab kabul itu tidak sah lantaran masih ada jarak antara ijab
yang diucapkan oleh wali dan kabul yang disampaikan oleh pengantin laki-laki.
Menurutnya salah satu syarat ijab kabul perkawinanan adalah bersambungnya
kalimat ijab dan kabul tanpa ada pemisah berupa diamnya pengantin laki-laki
sebelum mengucapkan kalimat ijabnya, meski cuma sebentar.
Kejadian seperti itu sangat jamak terjadi di
masyarakat ketika digelar prosesi ijab kabul sebuah pernikahan. Ada sebagaian
masyarakat yang memahami bahwa bersambungnya kalimat ijab dan kabul harus
benar-benar bersambung tanpa ada senggang waktu barang sedetik pun. Namun ada
pula yang masih bisa menerima bahwa kesenjangan waktu yang tak lama antara ijab
dan kabul tidak berakibat pada ketidakabsahan sebuah akad perkawinan.
Tidak jarang tuntutan untuk mengulang akad
nikah karena alasan ijab kabul yang kurang nyambung menjadikan pengantin
laki-laki menjadi grogi dan kehilangan kepercayaan diri sehingga ketika ia
mengulangi akad nikahnya justru kalimat ijab yang diucapkannya semakin tidak
tertata dengan baik. Ijab yang sebenarnya telah sah pada kali pertama justru
menjadi kehilangan keabsahan ketika pengucapan kali kedua dan seterusnya,
karena grogi dan hilangnya percaya diri.
Lalu bagaimana semestinya ketentuan fiqih
yang mengatur tentang keabsahan ijab dan kabul dalam sebuah akad pernikahan?
Di dalam fiqih memang telah ditentukan
beberapa persyaratan yang menjadikan sebuah akad nikah itu sah. Di antara
persyaratannya adalah bersambungnya kalimat kabul yang diucapkan oleh wali
mempelai wanita atau yang mewakili dengan kalimat ijab yang dinyatakan oleh
mempelai laki-laki atau yang mewakili. Ketersambungan ini menjadi wajib karena
kalimat ijab dan kabul adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Permasalahannya kemudian adalah apa batasan
sebuah ijab kabul dikatakan bersambung atau tidak? Berapa lama jeda waktu yang
masih bisa ditoleransi untuk mengatakan bahwa ijab kabul itu bersambung? Dalam
hal ini masyarakat berbeda-beda dalam memahami dan mengaplikasikannya pada
prosesi akad pernikahan. Ada sebagian yang masih bisa menerima diamnya
pengantin laki-laki dalam waktu yang relatif singkat dan ada juga yang secara
ketat melarang adanya jeda waktu antara ijab dan kabul meski hanya satu detik
saja. Bagi golongan kedua ini huruf terakhir dari kalimat ijab harus
benar-benar bersambung dengan huruf pertama dari kalimat kabul.
Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitabnya
Al-Fiqhul Manhajî menuturkan:
ومن
شروط الصيغة أيضا أن يتصل الإيجاب من الولي بالقبول من الزوج، فلو قال ولي الزوجة:
زوّجتك ابنتي، فسكت الزوج مدة طويلة، ثم قال: قبلت زواجها، لم يصح العقد، لوجود
الفاصل الطويل بين الإيجاب والقبول، مما يجعل أمر رجوع الوليّ في هذه المدة عن
الزواج أمراً محتملاً، أما السكوت اليسير: كتنفس، وعطاس، فإنه لا يضرّ في صحة
العقد
Artinya: “Juga temasuk syaratnya shighat
adalah bersambungnya ijab dari wali dengan kabul dari suami. Maka apabila wali
dari istri mengatakan “aku nikahkah engkau dengan anak perempuanku”, lalu sang
suami terdiam dalam waktu yang lama baru kemudian menjawab “saya terima
nikahnya”, maka akad nikahnya tidak sah karena adanya waktu pemisah yang lama
antara ijab dan kabul di mana pada rentang waktu ini memungkinkan sang wali
menarik kembali akad nikahnya. Adapun diam yang sebentar seperti bernapas dan
bersin tidak mengapa dalam keabsahan akad nikah.” (Musthafa Al-Khin, dkk.,
Al-Fiqhul Manhajî, Damaskus, Darul Qalam, 2013, Jil. II, hal. 53)
Sementara Imam Nawawi menuturkan dalam
Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab:
اذا
تخلل بين الايجاب والقبول زمان طويل لم يصح. وان تخلل بينهما زمان يسير يجري مجري
بلع الريق وقطع النفس صح لأن ذلك لا يمكن الاحتراز منه
Artinya: “Apabila antara ijab dan kabul
diselai waktu yang lama maka tidak sah akad nikahnya. Dan apabila di antara
keduanya diselai waktu yang singkat yang setara waktunya menelan ludah dan
berhenti bernapas maka sah akadnya, karena tidak mungkin untuk menghindar dari
hal itu.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo,
Darul Hadis, 2010, Juz XVI, hal. 474)
Dari dua keterangan di atas secara garis
besar bisa dipahami bahwa syarat bersambungnya ijab dan kabul tidak mutlak
harus tanpa ada jeda. Adanya jeda waktu yang relatif singkat untuk sekadar
bernapas, bersin atau menelan ludah masih bisa ditoleransi dan akad nikah tetap
dihukumi sah. Maka bila setelah sang wali mengucapkan kalimat kabul dan
mempelai laki-laki sejenak berhenti untuk sekadar mengambil napas atau menelan
ludah, umpamanya, akad nikah tetap dianggap sah karena antara ijab dan kabul masih
dianggap bersambung, tidak terpisah dengan jeda waktu yang lama.
Adapun batasan waktu jeda yang dianggap
lama—sebagaimana ditulis Musthafa Al-Khin di atas—adalah masa di mana
memungkinkan sang wali menarik kembali dan membatalkan perkawinan. Sementara menurut
Wahbah Az-Zuhaili waktu jeda yang lama itu masa yang menunjukkan mempelai
laki-laki enggan mengucapkan kalimat kabul. Masih menurut Az-Zuhaili bahwa jeda
waktu yang lama menjadikan kalimat kabul keluar dari statusnya sebagai jawaban
dari kalimat ijab yang diucapkan oleh wali (Wahbah Az-Zuhaii, Al-Fiqhul Islâmî
wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, 1985, Juz VII, hal. 50). Ini dikarenakan ijab
dan kabul merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Memang tidak salah bila untuk kehati-hatian
meminta diulang kembali akad nikah karena alasan adanya jeda waktu antara ijab
dan kabul. Namun mestinya itu dilakukan bila jeda waktu yang ada memang
benar-benar lama lebih dari apa yang dituturkan di atas, serta tidak terkesan
memaksakan harus benar-benar bersambung antara ijab dan kabul tanpa ada jeda
sedikitpun. Dengan demikian maka mempelai laki-laki akan tetap percaya diri dan
akad nikah akan berjalan lebih baik dan lebih mantap keabsahannya.
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar