Ibrahim al-Khawwash, Ulama Sufi Pemilik
Segudang Kata Mutiara
Siapa yang tak kenal dengan tembang “tombo
ati”, anak-anak yang lahir tahun 90-an pasti tak asing lagi dengan tembang Jawa
itu, apalagi setelah tembang itu digubah dengan pop religi ala Opick dan muncul
sebagai musik latar belakang di berbagai acara pada bulan Ramadhan.
Namun siapa sangka, tembang ini berasal dari
seorang ulama abad ke-3 Hijriyah bernama Ibrahim al-Khawwash. Al-Khawwash tidak
pernah terkenal di telinga anak zaman 90-an, mungkin karena yang mereka tahu
adalah tembang “tombo ati” berasal dari salah satu anggota Wali Songo. Ya,
hanya cukup sampai di situ.
Nama Ibrahim al-Khawwash baru diketahui
ketika kita membaca kitab al-Adzkar an-Nawawi karya Imam an-Nawawi.
Namanya disebut sebagai orang yang mengucapkan dawā’ul qalb atau obat hati,
yang dalam bahasa Jawa disebut tombo ati.
Dalam kitab Siyār al-Salaf al-Shalihin karya
Ismail bin Muhammad al-Ashbahani disebutkan bahwa al-Khawwash adalah teman baik
Junaid al-Baghdadi, seorang sufi yang menjadi mahaguru beberapa tarekat di
Indonesia.
Jika kita telisik dalam kitab tarajim (kitab
yang memuat riwayat para ulama, khususnya ulama hadits), kita akan menemukan
dua nama Ibrahim al-Khawwash: pertama, Ibrahim bin Muhammad al-Khawwash; dan
kedua, Ibrahim bin Ahmad Abu Ishaq al-Khawwash.
Ibrahim al-Khawwash yang pertama (Ibrahim bin
Muhammad al-Khawwash) adalah seorang perawi hadits yang sering meriwayatkan
hadits-hadits palsu. Bahkan menurut Ibnu Thahir, “Semua hadits yang
diriwayatkan olehnya adalah kepalsuan yang dibuat olehnya sendiri.”
Sedangkan Ibrahim al-Khawwash yang kedua
(Ibrahim bin Ahmad Abu Ishaq al-Khawwash) adalah orang yang penulis maksud
dalam judul tulisan ini, pemilik “tombo ati” yang sebenarnya.
Untuk membedakan antara keduanya, para ulama
menambahkan julukan “al-Amadi” untuk Ibrahim al-Khawwash yang pertama,
sedangkan untuk Ibrahim al-Khawwash yang kedua, para ulama menambahkan julukan
“al-Zāhid” atau “al-Sūfī”.
Ibrahim al-Khawash al-Zahid memiliki banyak
majelis. Ia sering kali bepergian ke Makkah. Al-Khawwash disebut-sebut sebagai
tetuanya masyayikh tarekat. Salah dua muridnya yang terkenal adalah Jakfar
al-Khuldi dan Abu Bakar al-Razy. Al-Khawwash memiliki banyak kitab karangan
tentang tasawwuf.
Salah satu karamahnya adalah ia pernah
didatangi Nabi Khidir. Saat itu Nabi Khidir ingin berteman bersamanya. Namun ia
takut merusak rahasia kepercayaan Nabi Khidir kepadanya. Maksudnya, ia takut
jika kebersamaannya dengan Nabi Khidir, membuat Nabi Khidir tahu keburukannya,
sehingga keburukan itu dapat merusak kepercayaannya. Karena itu, ia memutuskan
hubungannya. Kisah ini ia ceritakan kepada muridnya, al-Khuldi.
Mimsyad ad-Dinawari, sebagaimana disebutkan
Syamsuddin al-Zahabi dalam Tarikh al-Islam wa Wafayāt al-Masyāhir wa al-Aʽlam,
juga pernah bercerita bahwa suatu hari ia keluar rumah, namun tiba-tiba hujan
salju begitu deras. Ia pun menyelamatkan diri dan menuju bukit Nuba. Saat
sampai di sana, ia melihat seorang laki-laki di puncak bukit.
Laki-laki itu duduk, namun di sekelilingnya
sama sekali tidak ada salju, padahal saat itu sedang hujan salju. Ad-Dinawari
pun penasaran, ia mendatangi laki-laki itu. Setelah mendekat, ia baru tahu
bahwa laki-laki itu adalah Ibrahim al-Khawwash.
Ad-Dinawari yang tak percaya dengan keadaan
al-Khawwash itu kemudian bertanya, “Mengapa kamu bisa seperti itu?”
“Ini karena khidmah (membantu) orang-orang
fakir,” jawab al-Khawwash.
Selain diakui memiliki banyak karamah,
Ibrahim al-Khawwash juga memiliki banyak kata mutiara. Kata-kata mutiara itu
dipopulerkan oleh kedua muridnya, yaitu Ibrahim al-Khuldi dan Abu Bakar
al-Razi. Di antara kata-kata mutiara miliknya adalah:
مَنْ
لَمْ يَصْبِرْ لَمْ يَظْفَرْ
Artinya, “Siapa yang tidak bersabar, maka ia
tidak akan mendapatkan (cita atau keinginannya).”
مَنْ
لَمْ تَبْكِ الدُّنْيَا عَلَيْهِ لَمْ تَضْحَكِ الْآخِرَةُ إِلَيْهِ
Artinya, “Siapa yang tidak pernah sengsara di
dunia, ia tidak akan bahagia di akhirat.”
لَيْسَ
الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إِنَّمَا الْعِلْمُ لِمَنِ اتَّبَعَ الْعِلْمَ
وَاسْتَعْمَلَهُ وَاقْتَدَى بِالسُّنَنِ وَإِنْ كَانَ قَلِيلَ الْعِلْمِ
Artinya, “Ilmu itu bukan karena banyaknya
riwayat, tetapi ilmu adalah milik orang yang mengikuti ilmu kemudian
menggunakannya dan mengikuti dengan sunnah-sunnah walaupun ilmu yang dimiliki
sedikit.”
التَّاجِرُ
بِرَأْسِ مَالِ غَيْرِهِ مُفْلِسٌ
Artinya, “Pedagang yang berdagang dengan
modal dari orang lain, maka ia adalah pedagang yang bangkrut.”
دَوَاءُ
الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءٍ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ
الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عَنِ السِّحْرِ، وَمُجَالَسَةُ
الصَّالِحِينَ
Artinya, “Obat hati itu ada lima: mambaca
Quran dengan merenungi (tadabbur) maknanya, mengosongkan perut (puasa),
menegakkan malam (dengan beribadah), berdzikir khusyuk di waktu sahur, dan
bergaul dengan orang-orang saleh.”
Kata mutiara yang terakhir inilah yang sering
kita ingat sebagai “tombo ati”, yang biasa kita dengar di sela-sela adzan dan
iqamah, juga sering kita dengar setiap bulan Ramadhan tiba di televisi. Masih
banyak lagi kata mutiara yang terucap dari sosok al-Khawwash ini. Beberapa di
antaranya dapat ditemukan dalam kitab Siyār al-Salaf al-Shalihin karya
Ismail bin Muhammad al-Ashbahani.
Al-Khawwash meninggal pada tahun 291 H. di
masjid jami’ kota Ray. Sebelum meninggal ia melakukan shalat, setelah
mendapatkan dua rakaat, ia pergi ke kamar mandi. Setelah mandi ia kembali
melakukan shalat dua rakaat, setelah itu ia mandi lagi, begitu seterusnya
hingga ia meninggal di kamar mandi dalam keadaan telah mandi. Wallahu A’lam. []
(Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar