Penjelasan Umum tentang
Kafarat, Fidyah, dan Dam (1)
Secara bahasa, kaffârah (Arab)—sebagian kita
mengenalnya dengan istilah kifârah atau kifarat—berasal dari kata kafran yang
berarti ‘menutupi’. Maksud ‘menutupi’ di sana adalah menutupi dosa.
Makna itu kemudian dipergunakan untuk makna
lain, bahkan untuk makna yang berseberangan, termasuk makna perbuatan yang tak
sengaja, seperti kesalahan dalam membunuh, sebagaimana dikemukakan dalam
Tahrîru Alfâzhit Tanbîh karya Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi
(wafat 676 H) [Damaskus, Darul Qalam: 1408 H], cetakan pertama, jilid I,
halaman 125).
Mayoritas ahli bahasa menyebut, kata
"kaffarah" juga masih satu rumpun dengan kata "kufur" atau
"kufrun" karena kesamaan makna, yakni "menutupi," hanya
saja berkonotasi negatif. Maksud ‘menutupi’ di sini adalah menutupi hak yang
semestinya diperlihatkan.
Kata kufur ini juga sering disandingkan
dengan kata nikmat, yang berarti menutupi nikmat Allah dengan tidak
menysukurinya. Namun, kufur yang paling besar adalah menutupi atau menentang
keesaan Allah, kenabian, dan syariat. Demikian menurut menurut Syekh Zainuddin
Al-Manawi dalam At-Tauqîf ‘alâ Muhimmâtit Ta‘ârîf, (Kairo, ‘Alamul Kutub: 1990
M], cetakan pertama, jilid I, halaman 282).
Lebih populer, istilah kaffarah atau kafarat
lebih dikenal sebagai penebus kesalahan, sanksi, atau denda atas pelanggaran
yang dilakukan. (Lihat A Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, [Surabaya,
Pustaka Progresif: 2002 M], cetakan ke-25, halaman 1218). Kemudian, jika
dilihat dari hakikatnya, kafarat hanya berhubungan dengan hak Allah sehingga
harus dibedakan dengan diat yang merupakan hak sesama makhluk, antara lain hak
keluarga korban pembunuhan.
Adapun fidyah adalah harta tebusan yang
dipersembahkan karena Allah akibat kelalaian dalam beribadah, sebagai kafarat
atas kelalaian dalam ibadah tersebut. Contoh dari kafarat ibadah puasa,
bercukur, atau mengenakan pakaian yang dijahit saat ihram. Lihat Ahmad Mukhtar
Abdul Hamid, Mu‘jamul Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu‘ashirah, [Kairo, ‘Alamu Kutub:
2008 M], cetakan pertama, jilid II, halaman 1682).
Secara umum, fidyah terbagi atas dua, ada
yang berupa takaran mud dan ada yang berupa dam. Fidyah yang berupa mud di
antaranya adalah fidyah puasa orang tua, fidyah karena mengakhirkan qadha,
mencabut satu helai rambut saat ihram, memotong satu kuku. Sedangkan fidyah yang
berupa dam antara lain karena berburu hewan Tanah Haram, karena bersenggama
saat ihram, mencukur rambut, mengenakan wewangian, memakai pakaian dijahit,
memotong kuku, meninggalkan ihram dari miqat, menebang pohon Tanah Haram,
meninggalkan thawaf qudum dan thawaf wada‘, dam tamattu dan qiran.
Dengan demikian, fidyah adalah harta tebusan
yang menjadi turunan dari kafarat. Sedangkan dam adalah turunan dari fidyah
atau bentuk dari kafarat akibat pelanggaran dalam ibadah haji.
Selanjutnya, Syekh Ahmad bin Ahmad
Al-Mahamili dalam Al-Lubab fîl Fiqhis Syâfi‘i (Madinah, Darul Bukhari: 1416 H],
terbitan pertama, halaman 184) menyebutkan bahwa secara umum kafarat ada empat:
(1) kafarat zhihar, (2) kafarat hubungan badan di bulan Ramadhan, (3) kafarat
pembunuhan, dan (4) kifarat yamin.
Itulah keempat jenis kafarat yang dikemukakan
oleh Syekh Ahmad bin Ahmad. Hanya saja, dalam beberapa kitab yang lain,
yaitu Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzab, ada jenis kafarat yang kelima, yakni
kafarat haji. Ini artinya, terdapat perbedaan dalam memandang kafarat haji.
Perbedaan ini, salah satunya, disebabkan
karena pelanggaran dalam ibadah haji oleh sebagian ulama tidak disebut sebagai
kafarat, melainkan sebagai dam atau fidyah. Dengan kata lain, dam merupakan
bentuk kafarat dalam pelanggaran ibadah haji sehingga dalam penggunaannya bisa
saling menggantikan.
Bentuk kafarat sendiri bisa dengan
memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi makan orang miskin. Dalam
praktiknya, ada kafarat yang harus berurutan, ada yang boleh dipilih salah
satunya sebagaimana petikan berikut:
وَيَدْخُلُ
الْعِتْقُ بِهَا فِي نَوْعَيْنِ الْأَوَّلُ الْكَفَّارَةُ تَرْتِيبًا بِنَصْبِهِ
تَمْيِيزًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ وَالْقَتْلِ وَالْجِمَاعِ فِي نَهَارِ
رَمَضَانَ وَالثَّانِي الْكَفَّارَةُ تَخْيِيرًا وَهُوَ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ
Artinya, “Masuknya memerdekakan budak ke
dalam kafarat terbagi menjadi dua keadaan. Pertama, ke dalam kafarat yang harus
dilakukan berurutan dan dibedakan pelaksanaannya, yakni kafarat zhihar, kafarat
pembunuhan, dan kafarat hubungan badan sengaja di siang hari. Kedua, masuk ke
dalam kafarat yang boleh dipilih, yakni kafarat yamin (sumpah),” (Lihat Syekh
Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib, [Tanpa catatan
kota, Darul Kitab Al-Islami], tanpa tahun, jilid III, mulai dari halaman 362).
Pertama, kafarat zhihar. Kata zhihar sendiri
diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Kemudian, istilah ini
dipergunakan ketika ada seorang suami menyamakan punggung istrinya dengan
punggung ibunya, seperti mengatakan, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku.”
Hanya bagian tubuh punggung yang disamakan, bukan yang lain, sebab hanya bagian
itu yang biasa dipakai menggendong. Hukumnya haram dilakukan berdasarkan ayat
yang artinya, “Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibu mereka.
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan
dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” (Surat
Al-Mujadilah ayat 2).
Pada zaman Jahiliyyah, zhihar menjadi cara
menceraikan istri seperti halnya ilâ. Namun, setelah Islam datang, hukumnya
diharamkan dan pelakunya terkena kafarat jika ingin menarik kembali ucapannya
berdasarkan lanjutan ayat di atas, “Orang-orang yang menzhihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan,” (Surat Al-Mujadilah ayat 2).
يَحْرُمُ
بِوُجُوبِ الْكَفَّارَةِ لَهُ وَطْءٌ مِنْ الْمُظَاهِرِ حَتَّى
يُكَفِّرَ بِالْإِطْعَامِ أَوْ غَيْرِهِ
Artinya, “Dengan adanya kewajiban kafarat,
haram bagi suami yang melakukan zhihar berhubungan badan sampak zhiharnya
ditutupi atau dikafarati dengan memberi makanan atau yang lainnya,”
(Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnâl Mathâlib fî Syarhi Raudhatit Thâlib,
[tanpa kota, Darul Kitab Al-Islami: tanpa tahun], jilid II, mulai dari halaman
360).
Adapun kafaratnya adalah memerdekakan seorang
budak perempuan mukmin yang normal tanpa cacat. Jika tidak mampu, seseorang
harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Jika tidak mampu, ia harus memberi makanan
kepada enam puluh orang miskin, masing-masing satu mud, berdasarkan ayat
berikut, “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih,” (Surat
Al-Mujadilah ayat 2-4).
Berbeda dengan kafarat yang lain, kafarat
zhihar tidak memberi pilihan. Artinya, ketiga bentuk kafaratnya harus ditempuh
sesuai urutan dan kemampuan, sebagaimana di atas. Wallahu ‘alam. []
(bersambung…)
Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh
Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin Jayagiri, Sukanegara, Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar