Islah
Politik dan Sosial
Oleh:
Azyumardi Azra
Pertemuan
Joko Widodo dan Prabowo Subianto, Sabtu (13/7/2019), adalah kejutan
menyenangkan yang ditunggu banyak pemimpin dan warga bangsa. Kedua mantan calon
presiden periode 2019-2024 itu bersaing sengit sejak sebelum pemilu presiden 17
April 2019 dan berlanjut hingga sesudah Mahkamah Konstitusi menolak seluruh
permohonan pasangan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno dalam perselisihan hasil
pemilu presiden pada 27 Juni. Penetapan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai
presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan
Umum tak serta-merta membawa ke rekonsiliasi.
Terkait
hal itu, pertemuan Jokowi dan Prabowo pada 13 Juli lalu di Stasiun Moda Raya
Terpadu (MRT) Lebak Bulus, yang dilanjutkan dengan naik kereta bersama dan
makan siang di kawasan Senayan, mesti disambut dengan syukur dan sukacita.
Pertemuan kedua tokoh itu membukakan pintu bagi pencairan ketegangan dan
polarisasi di masyarakat akibat Pilpres 2019.
Pertemuan
Jokowi dan Prabowo merupakan langkah besar dalam menciptakan islah yang secara
bahasa berarti membuat keadaan lebih baik. Secara etimologis, islah berarti
menghilangkan konflik atau persengketaan yang dapat menimbulkan kerusakan dan
sebaliknya menciptakan perdamaian yang mencakup keharmonisan serta
rekonsiliasi.
Dengan
adanya islah, masyarakat bisa terhindar dari keadaan fasad, kerusakan, kekacauan,
dan anarki yang menjadi antonim dari keadaan islah. Oleh karena itulah semua
pemimpin serta warga harus selalu berusaha menciptakan dan mempertahankan islah
dan sebaliknya menjauhkan diri sendiri, masyarakat, dan negara-bangsa dari
fasad.
Dalam
perspektif Islam, kemauan dan tindakan islah merupakan amal saleh yang amat
mulia, seperti dianjurkan Allah SWT dalam firman-Nya (QS Al-Anfal 1; Al-Hujurat
9-10; Hud 88). Sebaliknya, mengecam perbuatan fasad (QS Al-Baqarah 205; Ar-Rum
41; Al-Qashas 77).
Menerima
keadaan tertentu—termasuk kenestapaan dalam politik—dengan ikhlas dan legawa
merupakan dasar bagi terwujudnya islah di antara berbagai pihak yang sebelumnya
terlibat dalam konflik serta hubungan tidak baik di kehidupan politik dan
sosial. Jika hubungan tidak baik itu berlanjut tanpa ada upaya memperbaikinya,
bukan tidak mungkin masyarakat dan negara-bangsa bersangkutan terjerumus ke
dalam kerusakan serta kehancuran.
Imam
al-Syaikh Muhammad ’Abd al-Azim al-Zarqani, ulama tafsir Manahil al-’Irfan fi
’Ulum al-Qur’an (1988), menyebutkan dua macam islah yang perlu dilakukan dalam
menghadapi pertikaian dan konflik di masyarakat. Pertama, al-ishlah al-siyasi, yaitu
islah politik melalui pemulihan perdamaian dan keharmonisan di antara berbagai
kelompok politik; pengembangan komitmen pada keadilan, kesetaraan, dan kasih
sayang; serta sebaliknya menjauhi kebohongan, pengkhianatan, penipuan, dan
kezaliman politik.
Kedua, al-ishlah al-ijtima’i,
yakni islah atau rekonsiliasi sosial-kemasyarakatan. Penciptaan keadaan sosial
lebih baik dapat dilakukan melalui pengurangan ta’ashub atau sektarianisme
sosial-budaya dan juga sektarianisme politik bernyala-nyala yang bisa membakar
dan menghancurkan masyarakat serta negara-bangsa.
Secara
filosofis, kesediaan melakukan islah merupakan wujud sikap empati terhadap
realitas kemanusiaan; bahwa setiap orang adalah manusia biasa yang dapat
terjerumus ke dalam angkara murka yang merugikan masyarakat dan negara-bangsa.
Pengakuan atas kelemahan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang membuka
pintu islah. Karena itu, penguatan sikap empati antarmanusia perlu senantiasa
diperkuat—bahkan dalam kehidupan politik sekalipun.
Selanjutnya,
dengan islah—yang juga mencakup pengertian reformasi dan pembaruan—dapat
diupayakan penciptaan pemerintahan lebih solid yang mampu secara efektif dan
efisien menjalankan berbagai program pembangunan untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat. Pembangunan tidak dapat dilaksanakan dengan baik jika
tidak ada islah atau kedamaian, harmoni, serta stabilitas politik dan sosial
antara para warga dengan berbagai kelompok dan golongan masyarakat.
Pemerintah
berbasis islah juga adalah pemerintah yang dapat memelihara perdamaian dan
harmoni di antara para warga beserta berbagai kelompok sosial-politik,
sosial-keagamaan, serta sosial-budaya. Indonesia yang kaya dalam soal keragaman
dan pluralitas warganya memerlukan pemerintahan yang mampu menerapkan prinsip
dan nilai islah dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam
membangun islah based
governance, perlukah semua kekuatan politik masuk ke pemerintahan?
Apakah demi islah politik perlu dilakukan ”dagang sapi” di antara berbagai
kekuatan politik, yang tadinya terlibat kontestasi politik?
Menjawab
pertanyaan itu, perlu dilihat aspek lain konsep islah, yaitu tentang pentingnya
keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan di antara berbagai unsur masyarakat
yang membentuk negara-bangsa seperti Indonesia. Islah dalam konteks ini bukan
penciptaan ”koor politik” yang mendendangkan nyanyian yang sama.
Dengan
begitu, islah politik memerlukan penyeimbang dan penyelaras yang sering disebut
sebagai kekuatan check
and balance. Kekuatan seperti ini semestinya berada di luar
pemerintah untuk melakukan kontrol serta kritik terhadap langkah dan program
pemerintah.
Berdasarkan
kerangka dan nilai islah, kekuatan politik penyeimbang ini seyogianya juga
dapat mengajukan alternatif konsep dan praksis program pembangunan. Dengan
demikian, kekuatan politik penyeimbang bukanlah oposisi yang berusaha melakukan
degradasi dan delegitimasi pemerintah.
Jika
islah dapat dipahami dan diterapkan secara lebih komprehensif, optimisme
terhadap masa depan Indonesia yang lebih maju dapat tumbuh dan menguat. Warga
Indonesia boleh bangga, bukan hanya karena bisa melaksanakan proses politik
demokrasi secara damai dan beradab, melainkan juga karena dapat mengembangkan
islah untuk kemajuan. []
KOMPAS,
18 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar