Sejarah Kelompok Khawarij (1): Definisi dan
Julukan-julukan Mereka
Khawarij adalah salah satu sekte yang memberi
banyak pengaruh terhadap gerakan ekstremisme dalam tubuh Islam.
Keberadaan mereka sempat mengubah potret ajaran Islam yang rahmatan lil alamin
menjadi wajah yang intoleran dan penuh kebencian terhadap sesama Muslim.
Tulisan ini secara berseri akan mengupas secara mendalam sejarah kaum Khawarij
mulai dari embrionya di masa Rasulullah, gerakan politik beserta tokohnya,
aksi-aksi terorismenya dan paham keagamaannya.
Pengetahuan tentang sejarah kaum Khawarij
adalah hal penting untuk membaca beberapa kasus di masa modern yang mempunyai
kemiripan dengan pola-pola gerakan Khawarij di masa lalu. Dengan demikian,
pembaca akan mendapatkan gambaran utuh tentang apa dan bagaimana nalar
ekstremisme berkembang di tubuh minoritas umat Islam.
Para sejarawan berbeda pendapat tentang
siapa sebenarnya yang layak disebut sebagai Khawarij. Terjadi perpecahan di
internal kaum Muslimin pasca-pembunuhan Khalifah Utsman di mana secara umum
umat terbagi menjadi dua, yaitu kubu Ali Bin Abi Thalib, sang khalifah keempat
pengganti Utsman dan kubu oposisi yang terdiri dari kelompok Ummul Mukminin
Aisyah dan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Kelompok Ummul Mukminin Aisyah sempat bentrok
dengan pemerintahan Khalifah Ali dalam perang Jamal yang berakhir dengan
kemenangan pihak Ali. Selanjutnya kubu Mu’awiyah menjadi penantang berikutnya
di perang saudara yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Pada akhir perang
ini kemudian terjadilah arbitrase (tahkim) antara kedua kubu yang bertikai.
Hasil akhir arbitrase ini memenangkan pihak Mu’awiyah sehingga diangkatlah
Mu’awiyah sebagai khalifah selanjutnya (As-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman
15). Ali bin Abi Thalib sendiri tampak enggan mempertahankan statusnya lagi
sebagai khalifah pasca-arbitrase ini. Hal inilah yang membuat banyak orang dari
kubu Ali bin Abi Thalib kecewa sehingga memisahkan diri dari kelompok Ali dan
mulai memeranginya.
Sebagian besar pengaji sejarah Islam
mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok yang keluar dari barisan pendukung
khalifah Ali Bin Abi Thalib setelah terjadinya arbitrase (tahkim) tersebut (Ali
as-Shallabi, Fikr al-Khawâraij was-Syî’ah Fî Mîzân Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah,
halaman 16; Abdul Hamid Ali Nasir, Khilâfah Ali bin Abî Thâlib, halaman 297).
Kelompok Khawarij tak segan menganggap Mu’awiyah sebagai orang kafir dengan
alasan telah menentang Khalifah yang sah, tetapi juga mengafirkan Ali dengan
alasan mau menerima hasil arbitrase. Dengan demikian, semua golongan yang ada
dianggap kafir kecuali diri mereka sendiri.
Definisi mayoritas sejarawan seperti di atas
adalah definisi Khawarij secara sempit. Dengan definisi tersebut, Khawarij bisa
dibilang sudah musnah dan tak ada di masa berikutnya selepas matinya seluruh
pihak penentang Ali tersebut. Sebagian ahli lainnya mendefinisikan Khawarij
secara lebih luas hingga mencakup siapa pun yang keluar dari kubu penguasa yang
sah, misalnya as-Syahrastani yang mendefinisikan Khawarij sebagai
berikut:
كل
من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يسمى خارجياً، سواء كان الخروج في
أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين لهم بإحسان والأئمة
في كل زمان
"Setiap orang yang keluar menentang
pemimpin yang sah yang telah diputuskan oleh masyarakat disebut sebagai
Khawarij, baik penentangan itu terjadi di masa sahabat terhadap para
Khulafaur Rasyidin atau terjadi setelah mereka terhadap para tabiin yang baik
dan para pemimpin di setiap zaman". (as-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal,
juz I, halaman 114).
Dengan definisi seperti ini, maka Khawarij
bisa dikatakan tetap ada hingga saat ini. Seluruh kelompok pemberontak dan
separatis di suatu negara masuk dalam kategori Khawarij sebab mereka menentang
pemimpin yang sah. Dalam kedua definisi di atas, tampak bahwa sebenarnya
khawarij adalah sebuah gerakan politik bukan gerakan agama sebab sorotan
utamanya adalah masalah kepemimpinan politik, namun kemudian gerakan ini
memakai isu-isu agama sebagai propaganda utama untuk melawan pemerintah. Dari
penentangannya terhadap pemerintah inilah mereka mendapat nama Khawarij yang
secara harfiah berarti “orang-orang yang keluar”. Ibnul Jauzi mencatat bahwa
para Khawarij tak henti-hentinya selalu keluar untuk menentang pemerintah
(Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 86).
Dalam perkembangannya, Khawarij dikenal
dengan berbagai nama atau julukan yang berbeda. Di antaranya adalah:
al-Haruriyah—mereka disebut demikian sebab markas mereka yang pertama berada di
daerah Harura’. Di Harura’ inilah generasi pertama dari Khawarij tinggal dan
menyusun kekuatannya. Mereka juga dikenal dengan nama as-Syurâh yang secara
harfiyah berarti “para pembeli” sebab di antara jargon mereka adalah “kami
membeli surga dengan diri kami”. Selain itu juga ada julukan al-Muhakkimah
sebab mereka mempunyai slogan “tak ada hukum kecuali milik Allah”. Selain
julukan yang netral dan bahkan sepintas terkesan positif ini, mereka juga
dikenal dengan julukan al-Mariqah yang berarti kelompok yang menjauh dari agama
sebab keberadaan mereka selalu diidentikkan dengan orang-orang yang oleh Nabi
Muhammad disebut menjauh dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya
(Abul Hasan al-Asy’ari, Maqâlat al-Islâmiyyîn, halaman 127-128).
Seluruh julukan itu mereka terima kecuali
julukan terakhir sebab meskipun seluruh Muslim lain menganggap mereka
menyimpang dari agama, tetapi menurut mereka sendiri justru sebaliknya
orang-orang lainlah yang telah menyimpang dan keluar dari agama.
Bersambung... []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar