Jumat, 26 Juli 2019

Mengenal Sejarah Kailolo, Kampung Kiai di Maluku


Mengenal Sejarah Kailolo, Kampung Kiai di Maluku

Maluku merupakan salah satu provinsi di bagian Timur Indonesia dengan kota Ambon sebagai pusat pemerintahan sekaligus ibu kota provinsi. Secara statistik, mayoritas orang maluku beragama Islam. Diperkirakan orang Muslim di Maluku mencapai 50,61 persen dari jumlah keseluruhan penduduk yang ada dari beberapa agama yang dianut mereka yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan kepercayaan lainnya. Provinsi ini dikenal dengan sebuatan provinsi seribu pulau, karena banyaknya jumlah pulau yang kurang lebih mencapai 1.450.

Dari 1450-an pulau ini ada beberapa pulau yang tidak berpenghuni dan belum memiliki nama. Namun sebagian pulau yang lain telah memiliki sejarah panjang, khususnya berhubungan dengan agama Islam dan para penjajah Barat yang datang mendominasi perdagangan cengkeh pada abad ke-16 M, di antanya adalah pulau Haruku. Pulau Haruku secara administratif terletak di kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Di pulau ini terdapat sebelas desa, empat di antaranya berpenduduk Muslim, bahkan satu di antaranya memiliki hubungan khusus dengan Muslim Arab, itulah desa Kailolo yang dulunya merupakan salah satu bagian dari kerajaan Islam Uli Hatuhaha di kepulauan Maluku pada abad ke-14 M.

Demikianlah hingga sekarang semua penduduk desa Kailolo beragama Islam. Kakek dan nenek moyang mereka telah menduduki perkampungan ini jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda dan Portugis. Menurut cerita lisan, Islam hadir di pulau Haruku tepatnya di desa Kailolo semenjak abad ke-8 M. Islam datang dibawa langsung oleh cicit Rasulullah Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini diperkuat dengan pada perwujudan 'karomah' Syekh Ali Zainal Abidinyang berupa pusara di atas bukit di Kailolo. Demikianlah Islam semakin berkembang hingga pada sekitar abad ke-12 M desa Kailolo pernah disinggahi oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Gresik. Kesaksian persinggahan ini menurut kisah para penduduk dinisbatkan pada 'karomah' makam Sunan Gresik di atas bukit satu tingkat di bawah pusara Syekh Ali Zainal Abidin.

Secara nasab masyarakat Islam di Kailolo memiliki hubungan dengan Ali Zainal Abidin cicit Nabi Muhammad, kebanyakan dari mereka memiliki marga al-Haddad. Meskipun dalam perkembanganya kemudian kata al-haddad disembunykan dan diganti dengan bahasa lokal yaitu marasabessy. Penggunaan kata marasabessy sebagai pengganti al-haddad ini dilakukan untuk mengelabuhi kejaran para penjajah saat itu. Menurut Bakri tokoh NU setempat yang merupakan penduduk asli Kailolo, kata marasabessy memiliki arti cahaya yang lembut atau cahaya di atas cahaya. Dalam bahasa Arab kata ini memiliki kesamaan dengan nurun alan nuur, sebuah gelar penyebutan untuk memulikan Nabi Muhammad . Dengan menggunakan kata marasabessy ini masyarakat kailolo tetap merasa diri sangat dekat dengan Rasulullah. Pada sisi lain kata kata bessy juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kata al-haddad.

Demikianlah perkembangan Islam di Kailolo tidak pernah berhenti, secara perlahan namun pasti terjadi peningkatan kualitas pendidikan di sana. Banyak tokoh agama yang mengirimkan anaknya untuk belajar di Makkah, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka juga belajar dari Makkah. Salah satu ulama besar dari Kailolo adalah tuan Guru Abdurrahman Marasabessy. Abdurrahman Marasabessy bukanlah sekadar seorang ulama biasa, beliau juga aktif dalam perjuangan melawan penjajah dan ikut dalam membangun negara ini. Abdurrahman Marasabessy memilih jalan perjuangannya melalui Nahdlatul Ulama. Dialah pendiri Nahdlatul Ulama di Maluku. Dalam sejarah, tercatat pada tahun 1954 Abdurrahman Marasabessy menjadi salah satu ulama yang ikut merumuskan status Waliyul Amri Dlaruri bis Syaukah dalam Konferensi Ulama di Cipanas Bogor yang diprakarsai oleh Menteri Agama RI KH Masykur.

Menurut penuturan Abu Marasabessy yang juga dibenarkan oleh masyarakat Kailolo bahwa Abdurrahman Marasabessy merupakan tokoh nasional, beberapa kali dia pernah berjumpa dengan Kiai Wahid Hasyim. Hubungan keduanya ini digambarkan oleh Abu Marasabessy sangat akrab dan hangat, bahkan nama Gus Dur Abdurrahman Wahid konon diambil oleh Kiai Wahid dari Abdurrahman Marasabessy ini. “Kasihlah anak kamu dengan namaku, biar nanti jadi orang besar” demikian kisahnya. Hal ini dibenarkan oleh Gus Dur sendiri ketika Faisal seorang aktivis PMII Maluku sowan ke PBNU dan berjumpa langsung dengan Gus Dur.

Abdurrahman Marasabessy wafat pada tahun 1950an. Beliau dimakamkan di kampung persis di bibir pantai kailolo di bawah pohon yang cukup rindang. Banyak cerita beredar tentang keistimewaan makam Tuan Guru Abdurrahman Marasabessy. Makam berada di bibir pantai ini tidak pernah terkena air ombak lautan. Seolah makam ini telah bersepakat dengan laut untuk tidak sekali-kali mengirimkan ombaknya karena memuliakan waliyullah Abdurrahman Marasabessy yang ada di dalamnya. Begitu juga pepohonan rindang di sekelilingnya yang selalu belaku ta'dhim kepada Tuan Guru Abdurrahman Marasabessy untuk tidak membiarkan dauan-daunnya jauh mengotori maqbarah Tuan Guru.

Tuan Guru Abdurrahman Marasabessy memiliki murid Ali Marasabessy seorang yang alim dan zahid, sejarah tentang beliau tidak begitu banyak kecuali tentang cerita karomah semasa hidupnya. Dialah yang kemudian melanjutkan perjuangan sang guru dalam membina dan menjaga masyarakat Islam Kailolo dengan haluan Ahluss Sunnah wal Jamaah. Dia memiliki majilis dzikir disamping juga majlis ilmu tempat mengajarkan para murid ilmu-ilmu ke-Islaman. Ali Marasabessy dimakamkan di Kailolo pada tahun 1990 an. Makamnya selalu ramai diziarahi warga juga dikunjungi orang-orang dari luar daerah bahkan luar negeri.

Makam Tuan Guru Ali Marasabessy memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki makam lain. Makam ini menggunakan bendera Indonesia sebagai kain kelambu yang menutupi secara keseluruhan. Warna merah di bagian atas dan warna putih di bagian bawah dililitkan di empat tiang melingkari patok kuburan dengan tinggi dua meter. Karenanya, Apabila dilihat dari kejauhan nampak makam itu adalah kubus mirip kabah berbalutkan merah putih. Hanya saja kubus ini berada di dalam bangunan yg lebih besar lagi semacam rumah kecil untuk melindungi makam dari sentuhan alam secara langsung, baik angin, panas dan hujan

Tuan Guru Ali Marasabessy meninggalkan beberapa murid di antaranya adala Abdul Latif yang belajar dan meninggal di Makkah. Perjuangan Ali Marasabessy sekarang dilanjutkan oleh sang putra Alwi Marasabessy. Tidak jauh dari sang ayah Alwi Marasabessy memiliki majlis dzikir yang istiqamah diamalkan setiap minggu malam dan kamis malam jumat. Demikianlah mata rantai keilmuan di Kailolo terus berlanjut. Tuan Guru yang memiliki nilai keulamaan setingkay Kiai di Jawa terus lahir dari desa ini sehingga muncul adagium bahwa kata Kailolo merupakan tejemahan dai Kampung Kiai. []

(Ulil Abshar Hadrawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar