Mengenal Sejarah
Kailolo, Kampung Kiai di Maluku
Maluku merupakan
salah satu provinsi di bagian Timur Indonesia dengan kota Ambon sebagai pusat
pemerintahan sekaligus ibu kota provinsi. Secara statistik, mayoritas orang
maluku beragama Islam. Diperkirakan orang Muslim di Maluku mencapai 50,61
persen dari jumlah keseluruhan penduduk yang ada dari beberapa agama yang
dianut mereka yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan kepercayaan
lainnya. Provinsi ini dikenal dengan sebuatan provinsi seribu pulau, karena
banyaknya jumlah pulau yang kurang lebih mencapai 1.450.
Dari 1450-an pulau
ini ada beberapa pulau yang tidak berpenghuni dan belum memiliki nama. Namun
sebagian pulau yang lain telah memiliki sejarah panjang, khususnya berhubungan
dengan agama Islam dan para penjajah Barat yang datang mendominasi perdagangan
cengkeh pada abad ke-16 M, di antanya adalah pulau Haruku. Pulau Haruku secara
administratif terletak di kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Di pulau
ini terdapat sebelas desa, empat di antaranya berpenduduk Muslim, bahkan satu
di antaranya memiliki hubungan khusus dengan Muslim Arab, itulah desa Kailolo
yang dulunya merupakan salah satu bagian dari kerajaan Islam Uli Hatuhaha di
kepulauan Maluku pada abad ke-14 M.
Demikianlah hingga
sekarang semua penduduk desa Kailolo beragama Islam. Kakek dan nenek moyang
mereka telah menduduki perkampungan ini jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda
dan Portugis. Menurut cerita lisan, Islam hadir di pulau Haruku tepatnya di
desa Kailolo semenjak abad ke-8 M. Islam datang dibawa langsung oleh cicit
Rasulullah Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini diperkuat
dengan pada perwujudan 'karomah' Syekh Ali Zainal Abidinyang berupa pusara di
atas bukit di Kailolo. Demikianlah Islam semakin berkembang hingga pada sekitar
abad ke-12 M desa Kailolo pernah disinggahi oleh Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Gresik. Kesaksian persinggahan ini menurut kisah para penduduk dinisbatkan pada
'karomah' makam Sunan Gresik di atas bukit satu tingkat di bawah pusara Syekh
Ali Zainal Abidin.
Secara nasab
masyarakat Islam di Kailolo memiliki hubungan dengan Ali Zainal Abidin cicit Nabi
Muhammad, kebanyakan dari mereka memiliki marga al-Haddad. Meskipun dalam
perkembanganya kemudian kata al-haddad disembunykan dan diganti dengan bahasa
lokal yaitu marasabessy. Penggunaan kata marasabessy sebagai pengganti
al-haddad ini dilakukan untuk mengelabuhi kejaran para penjajah saat itu.
Menurut Bakri tokoh NU setempat yang merupakan penduduk asli Kailolo, kata
marasabessy memiliki arti cahaya yang lembut atau cahaya di atas cahaya. Dalam
bahasa Arab kata ini memiliki kesamaan dengan nurun alan nuur, sebuah gelar
penyebutan untuk memulikan Nabi Muhammad . Dengan menggunakan kata marasabessy
ini masyarakat kailolo tetap merasa diri sangat dekat dengan Rasulullah. Pada
sisi lain kata kata bessy juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kata
al-haddad.
Demikianlah
perkembangan Islam di Kailolo tidak pernah berhenti, secara perlahan namun
pasti terjadi peningkatan kualitas pendidikan di sana. Banyak tokoh agama yang
mengirimkan anaknya untuk belajar di Makkah, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka
juga belajar dari Makkah. Salah satu ulama besar dari Kailolo adalah tuan Guru
Abdurrahman Marasabessy. Abdurrahman Marasabessy bukanlah sekadar seorang ulama
biasa, beliau juga aktif dalam perjuangan melawan penjajah dan ikut dalam
membangun negara ini. Abdurrahman Marasabessy memilih jalan perjuangannya
melalui Nahdlatul Ulama. Dialah pendiri Nahdlatul Ulama di Maluku. Dalam
sejarah, tercatat pada tahun 1954 Abdurrahman Marasabessy menjadi salah satu
ulama yang ikut merumuskan status Waliyul Amri Dlaruri bis Syaukah dalam
Konferensi Ulama di Cipanas Bogor yang diprakarsai oleh Menteri Agama RI KH
Masykur.
Menurut penuturan Abu
Marasabessy yang juga dibenarkan oleh masyarakat Kailolo bahwa Abdurrahman
Marasabessy merupakan tokoh nasional, beberapa kali dia pernah berjumpa dengan
Kiai Wahid Hasyim. Hubungan keduanya ini digambarkan oleh Abu Marasabessy
sangat akrab dan hangat, bahkan nama Gus Dur Abdurrahman Wahid konon diambil
oleh Kiai Wahid dari Abdurrahman Marasabessy ini. “Kasihlah anak kamu dengan
namaku, biar nanti jadi orang besar” demikian kisahnya. Hal ini dibenarkan oleh
Gus Dur sendiri ketika Faisal seorang aktivis PMII Maluku sowan ke PBNU dan
berjumpa langsung dengan Gus Dur.
Abdurrahman
Marasabessy wafat pada tahun 1950an. Beliau dimakamkan di kampung persis di
bibir pantai kailolo di bawah pohon yang cukup rindang. Banyak cerita beredar
tentang keistimewaan makam Tuan Guru Abdurrahman Marasabessy. Makam berada di
bibir pantai ini tidak pernah terkena air ombak lautan. Seolah makam ini telah
bersepakat dengan laut untuk tidak sekali-kali mengirimkan ombaknya karena
memuliakan waliyullah Abdurrahman Marasabessy yang ada di dalamnya. Begitu juga
pepohonan rindang di sekelilingnya yang selalu belaku ta'dhim kepada Tuan Guru
Abdurrahman Marasabessy untuk tidak membiarkan dauan-daunnya jauh mengotori
maqbarah Tuan Guru.
Tuan Guru Abdurrahman
Marasabessy memiliki murid Ali Marasabessy seorang yang alim dan zahid, sejarah
tentang beliau tidak begitu banyak kecuali tentang cerita karomah semasa
hidupnya. Dialah yang kemudian melanjutkan perjuangan sang guru dalam membina dan
menjaga masyarakat Islam Kailolo dengan haluan Ahluss Sunnah wal Jamaah. Dia
memiliki majilis dzikir disamping juga majlis ilmu tempat mengajarkan para
murid ilmu-ilmu ke-Islaman. Ali Marasabessy dimakamkan di Kailolo pada tahun
1990 an. Makamnya selalu ramai diziarahi warga juga dikunjungi orang-orang dari
luar daerah bahkan luar negeri.
Makam Tuan Guru Ali
Marasabessy memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki makam lain. Makam
ini menggunakan bendera Indonesia sebagai kain kelambu yang menutupi secara
keseluruhan. Warna merah di bagian atas dan warna putih di bagian bawah
dililitkan di empat tiang melingkari patok kuburan dengan tinggi dua meter.
Karenanya, Apabila dilihat dari kejauhan nampak makam itu adalah kubus mirip
kabah berbalutkan merah putih. Hanya saja kubus ini berada di dalam bangunan yg
lebih besar lagi semacam rumah kecil untuk melindungi makam dari sentuhan alam
secara langsung, baik angin, panas dan hujan
Tuan Guru Ali
Marasabessy meninggalkan beberapa murid di antaranya adala Abdul Latif yang
belajar dan meninggal di Makkah. Perjuangan Ali Marasabessy sekarang
dilanjutkan oleh sang putra Alwi Marasabessy. Tidak jauh dari sang ayah Alwi
Marasabessy memiliki majlis dzikir yang istiqamah diamalkan setiap minggu malam
dan kamis malam jumat. Demikianlah mata rantai keilmuan di Kailolo terus
berlanjut. Tuan Guru yang memiliki nilai keulamaan setingkay Kiai di Jawa terus
lahir dari desa ini sehingga muncul adagium bahwa kata Kailolo merupakan
tejemahan dai Kampung Kiai. []
(Ulil Abshar Hadrawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar