Senin, 22 Juli 2019

Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (7)


Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (7)

Waliyullah Pemersatu Antarmarga

Pada tahun 1868, Belanda mendirikan Sekolah Guru Belanda di Parau Sorat. Pendirian sekolah ini jelas akan mengancam kehidupan umat Islam yang aqidahnya masih belum matang dan mudah terpengaruh jika guru-guru, murid, dan alumni sekolah itu melakukan gerakan pemurtadan di sekitar sekolah tersebut dan di daerah-daerah sekitarnya.

Untuk mencegahnya, Djalaluddin menganjurkan agar setiap desa yang telah memeluk agama Islam mengadakan tempat-tempat pengajian. Untuk pengajian di desa Paran Padang ditempatkan di rumah yang baru didirikan oleh Tahuru, sepupunya, di bahagian Lumban.

Belum lagi urusan pemurtadan selesai, muncul lagi keresahan baru. Pekan Senin yang didirikan oleh Ompu Ja Galanggang I di Sidodang-dodang ditutup Belanda. Sebagai penggantinya, Belanda mendirikan pekan yang baru di sebidang tanah perladangan di dekat Sipirok Godang. Hari pekan pun diganti. Hari Senin dijadikan pekan kecil. Sedangkan pekan besar jatuh pada hari Kamis.

Pada awalnya, Djalaluddin berniat mempertahankan pekan yang telah didirikan neneknya tersebut. Tetapi karena Belanda ikut campur dengan memihak kepada raja Sipirok Godang dan untuk menjaga persatuan antaramarga, dengan terpaksa Djalaluddin memindahkan pekan tersebut.

Menurut  tradisi, marga Pane harus menghormati marga Siregar. Hal ini dikarenakan marga Siregar adalah marga yang pertama kali membuka daerah pemukiman di Sipirok karenanya marga Pane sebagai pendatang dianggap anak boru. Jadi marga Siregar adalah marga yang menjadi mora dan harus dihormati oleh marga Pane. Berdirinya pelan Kamis itu secara tidak langsung berlatar belakang adu domba.

Jika Djalaluddin tidak mengalah dan sikapnya ini diikuti oleh seluruh anggota marga Pane, maka akan terjadi konflik yang bisa jadi berujung pada pertumpahan darah antarmarga.

Setelah beberapa lama pekan Sidodang-dodang ditutup, sebagai kenangan bersejarah terhadap mendiang neneknya dan juga terhadap riwayat hidupnya di masa kecil serta untuk menghilangkan perasaan kecewa marganya dan orang-orang yang merasa kehilangan pekan Sidodang-dodang, maka Djalaluddin mengadakan upacara terakhir di dekat pohon beringin yang pernah dipelihara neneknya.

Selain itu, dengan diadakannya upacara terakhir tersebut, Djalaluddin ingin menyampaikan pesan kepada marganya dan masyarakat umum bahwa era animisme telah berakhir dan digantikan dengan era Islam. Oleh karenanya, jika dulu upacara diadakan mendiang nenek dan ayahnya dengan tata cara adat lama (animisme), maka Djalaluddin mengadakan upacara itu secara Islami.

Pada upacara itu, banyak penduduk di daerah Sipirok dan sekitarnya yang datang berbondong-bondong ke bekas pekan Sidodang-dodang untuk mendengarkan khutbah Djalaluddin. Di kawasan itu, Djalaluddin memasang bendera atau panji-panji kebesarannya yang beraneka warna itu sebanyak lima tiang bambu.

Panji-panji tersebut dibiarkan terpajang untuk beberapa lama sampai lapuk dengan sendirinya dan tiangnya tetap tidak dicabut. Dibiarkan begitu saja.

Setelah berkhutbah beberapa jam lamanya, sebagai penutup, Djalaluddin berseru dengan lantangnya, ”Maborkat ma Sidodang-dodang. Habibullah, Habibullah!” (Sudah berkatlah Sidodang-dodang. Kekasih Allah, kekasih Allah!).

Seruan yang bermakna tabligh di Sidodang-dodang telah membawa berkat bagi kekasih Allah itu mendapat sambutan hangat dari para pengunjung yang secara serempak sama-sama meneriakan seruan tersebut secara berulang-ulang. Bahkan seruan ini terus berkumandang berpuluh-puluh tahun lamanya. Juga selalu diserukan oleh anak-anak secara beruntun apabila sedang bermain.

Panggil Ia "Tuan Syekh!"

Pada tahun 1880 M, di usianya yang ke-57, Djalaluddin kembali berdakwah ke Padang Lawas, mengembara dari desa ke desa. Masyarakat setempat semakin banyak yang mengenal keharuman namanya. Hubungan baik secara kekeluargaan membuat namanya semakin menanjak.

Pada tahun 1883 M, di usianya yang ke-60, Djalaluddin kembali menikah. Kali ini dengan seorang gadis boru Siregar yang berasal dari Gunung Tua. Pernikahan ini dilangsungkan karena memang sudah lama Djalaluddin menduda dan ia memang berharap pada pernikahan ini akan dikaruniai anak laki-laki sebagai penyambung keturunannya.

Setahun setelah menikah, yaitu pada tahun 1884 M, ia bersama istrinya menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Dalam perjalanan ini, si istri sedang hamil dan melahirkan seorang putra di kota suci Makkah.

Anaknya ini ia berikan nama Badullah (Haji Badullah di Nagasaribu). Beberapa tahun kemudian Djalaluddin bercerai dengan istrinya karena adanya ketidaksepahaman.

Tiga tahun setelah bercerai, Djalaluddin kembali menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya sekaligus untuk belajar agama.

Menjelang akhir abad ke-19, Djalaluddin pergi haji kembali untuk ketiga kalinya ke tanah suci Makkah. Tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga belajar agama dengan syekh-syekh ternama tanah suci khususnya dalam bidang ilmu tauhid dan tasawuf.

Ilmu terakhir yang ia pelajari ini, yaitu tasawuf, menandakan bahwa Djalaluddin bukanlah penganut Wahabi, melainkan seorang pengikut ahlussunnah wal jamaah yang gandrung akan dunia ketasawufan. Namun sejauh ini tidak diketahui dengan pasti siapa saja syekh yang menjadi guru tasawufnya selama di Tanah Suci.

Sekembalinya dari perjalanan dan belajarnya di Tanah Suci yang terakhir ini, ia mendapat sambutan yang luar biasa di Gunung Tua. Orang berbondong-bondong datang dari segala penjuru menyambut kedatangan guru agama yang mereka hormati.

Kali ini masyarakat memanggilnya dengan panggilan Tuan Syekh. Namanya kian harum di tengah masyarakat. Tiap hari Jum`at, ia selalu memberikan khutbah masjid-masjid secara bergiliran dari desa ke desa di sekitar Padang Lawas.

Beberapa lama kemudian, Tuan Syekh menikah untuk keempat kalinya dengan boru Harahap, putri Kuria Napagadung. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai dua orang putra, yaitu Mara Sutan dan Suhunan serta tiga orang putri.

Wafatnya Tuan Syekh

Pada pertengahan tahun  1943 M, di masa penjajahan Jepang, Tuan Syekh Djalaluddin Pane gelar Tuongku Sutan Pane Parsambilan wafat pada usianya yang ke-120 tahun di Gunung Tua, Padang Lawas. Tuan Syekh Djalaluddin Pane adalah penganut tarekat Naqsyabandiyah.

Semua orang larut dalam kesedihan ditinggal oleh sosok yang mereka juluki Raja Na Martondi Tu Padang Bolak (raja yang membawa semangat ke Padang Lawas). Julukan yang diberikan kepada sosok yang bukan seorang raja, tetapi telah berkiprah layaknya seorang raja dan hanya pantas diberikan kepada Tuan Syekh yang padahal bukan asli orang dari Padang Lawas.

Bagi mereka di Padang Lawas waktu iktu dan orang-orang yang mengenalnya di daerah lain, wa bil khusus bagi marga Pane, Tuan Syekh tidak pernah pergi meninggalkan mereka karena cerita-cerita keteladanannya telah menjadi roh yang tidak pernah mati, yang terus menyemangati mereka, baik dalam arti yang sebenarnya maupun dalam arti yang lain, agar tetap mengamalkan ajaran agama Islam dengan benar dan istiqamah, walau jasadnya telah terkubur berpuluh-puluh tahun yang lalu di Gunung Tua. (selesai...) []

*) Rakhmad Zailani Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar