Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (7)
Waliyullah Pemersatu
Antarmarga
Pada tahun 1868,
Belanda mendirikan Sekolah Guru Belanda di Parau Sorat. Pendirian sekolah ini
jelas akan mengancam kehidupan umat Islam yang aqidahnya masih belum matang dan
mudah terpengaruh jika guru-guru, murid, dan alumni sekolah itu melakukan
gerakan pemurtadan di sekitar sekolah tersebut dan di daerah-daerah sekitarnya.
Untuk mencegahnya,
Djalaluddin menganjurkan agar setiap desa yang telah memeluk agama Islam
mengadakan tempat-tempat pengajian. Untuk pengajian di desa Paran Padang
ditempatkan di rumah yang baru didirikan oleh Tahuru, sepupunya, di bahagian
Lumban.
Belum lagi urusan
pemurtadan selesai, muncul lagi keresahan baru. Pekan Senin yang didirikan oleh
Ompu Ja Galanggang I di Sidodang-dodang ditutup Belanda. Sebagai penggantinya,
Belanda mendirikan pekan yang baru di sebidang tanah perladangan di dekat
Sipirok Godang. Hari pekan pun diganti. Hari Senin dijadikan pekan kecil.
Sedangkan pekan besar jatuh pada hari Kamis.
Pada awalnya,
Djalaluddin berniat mempertahankan pekan yang telah didirikan neneknya
tersebut. Tetapi karena Belanda ikut campur dengan memihak kepada raja Sipirok
Godang dan untuk menjaga persatuan antaramarga, dengan terpaksa Djalaluddin
memindahkan pekan tersebut.
Menurut tradisi,
marga Pane harus menghormati marga Siregar. Hal ini dikarenakan marga Siregar
adalah marga yang pertama kali membuka daerah pemukiman di Sipirok karenanya
marga Pane sebagai pendatang dianggap anak boru. Jadi marga Siregar adalah
marga yang menjadi mora dan harus dihormati oleh marga Pane. Berdirinya pelan
Kamis itu secara tidak langsung berlatar belakang adu domba.
Jika Djalaluddin
tidak mengalah dan sikapnya ini diikuti oleh seluruh anggota marga Pane, maka
akan terjadi konflik yang bisa jadi berujung pada pertumpahan darah antarmarga.
Setelah beberapa lama
pekan Sidodang-dodang ditutup, sebagai kenangan bersejarah terhadap mendiang
neneknya dan juga terhadap riwayat hidupnya di masa kecil serta untuk
menghilangkan perasaan kecewa marganya dan orang-orang yang merasa kehilangan
pekan Sidodang-dodang, maka Djalaluddin mengadakan upacara terakhir di dekat
pohon beringin yang pernah dipelihara neneknya.
Selain itu, dengan
diadakannya upacara terakhir tersebut, Djalaluddin ingin menyampaikan pesan kepada
marganya dan masyarakat umum bahwa era animisme telah berakhir dan digantikan
dengan era Islam. Oleh karenanya, jika dulu upacara diadakan mendiang nenek dan
ayahnya dengan tata cara adat lama (animisme), maka Djalaluddin mengadakan
upacara itu secara Islami.
Pada upacara itu,
banyak penduduk di daerah Sipirok dan sekitarnya yang datang berbondong-bondong
ke bekas pekan Sidodang-dodang untuk mendengarkan khutbah Djalaluddin. Di
kawasan itu, Djalaluddin memasang bendera atau panji-panji kebesarannya yang
beraneka warna itu sebanyak lima tiang bambu.
Panji-panji tersebut
dibiarkan terpajang untuk beberapa lama sampai lapuk dengan sendirinya dan
tiangnya tetap tidak dicabut. Dibiarkan begitu saja.
Setelah berkhutbah
beberapa jam lamanya, sebagai penutup, Djalaluddin berseru dengan lantangnya, ”Maborkat
ma Sidodang-dodang. Habibullah, Habibullah!” (Sudah berkatlah
Sidodang-dodang. Kekasih Allah, kekasih Allah!).
Seruan yang bermakna
tabligh di Sidodang-dodang telah membawa berkat bagi kekasih Allah itu mendapat
sambutan hangat dari para pengunjung yang secara serempak sama-sama meneriakan
seruan tersebut secara berulang-ulang. Bahkan seruan ini terus berkumandang
berpuluh-puluh tahun lamanya. Juga selalu diserukan oleh anak-anak secara
beruntun apabila sedang bermain.
Panggil Ia "Tuan
Syekh!"
Pada tahun 1880 M, di
usianya yang ke-57, Djalaluddin kembali berdakwah ke Padang Lawas, mengembara
dari desa ke desa. Masyarakat setempat semakin banyak yang mengenal keharuman
namanya. Hubungan baik secara kekeluargaan membuat namanya semakin menanjak.
Pada tahun 1883 M, di
usianya yang ke-60, Djalaluddin kembali menikah. Kali ini dengan seorang gadis
boru Siregar yang berasal dari Gunung Tua. Pernikahan ini dilangsungkan karena
memang sudah lama Djalaluddin menduda dan ia memang berharap pada pernikahan
ini akan dikaruniai anak laki-laki sebagai penyambung keturunannya.
Setahun setelah
menikah, yaitu pada tahun 1884 M, ia bersama istrinya menunaikan ibadah haji
untuk pertama kalinya. Dalam perjalanan ini, si istri sedang hamil dan
melahirkan seorang putra di kota suci Makkah.
Anaknya ini ia
berikan nama Badullah (Haji Badullah di Nagasaribu). Beberapa tahun kemudian
Djalaluddin bercerai dengan istrinya karena adanya ketidaksepahaman.
Tiga tahun setelah
bercerai, Djalaluddin kembali menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya
sekaligus untuk belajar agama.
Menjelang akhir abad
ke-19, Djalaluddin pergi haji kembali untuk ketiga kalinya ke tanah suci
Makkah. Tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga belajar agama
dengan syekh-syekh ternama tanah suci khususnya dalam bidang ilmu tauhid dan
tasawuf.
Ilmu terakhir yang ia
pelajari ini, yaitu tasawuf, menandakan bahwa Djalaluddin bukanlah penganut
Wahabi, melainkan seorang pengikut ahlussunnah wal jamaah yang gandrung akan
dunia ketasawufan. Namun sejauh ini tidak diketahui dengan pasti siapa saja syekh
yang menjadi guru tasawufnya selama di Tanah Suci.
Sekembalinya dari
perjalanan dan belajarnya di Tanah Suci yang terakhir ini, ia mendapat sambutan
yang luar biasa di Gunung Tua. Orang berbondong-bondong datang dari segala
penjuru menyambut kedatangan guru agama yang mereka hormati.
Kali ini masyarakat
memanggilnya dengan panggilan Tuan Syekh. Namanya kian harum di tengah
masyarakat. Tiap hari Jum`at, ia selalu memberikan khutbah masjid-masjid secara
bergiliran dari desa ke desa di sekitar Padang Lawas.
Beberapa lama
kemudian, Tuan Syekh menikah untuk keempat kalinya dengan boru Harahap, putri
Kuria Napagadung. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai dua orang putra, yaitu
Mara Sutan dan Suhunan serta tiga orang putri.
Wafatnya Tuan Syekh
Pada pertengahan
tahun 1943 M, di masa penjajahan Jepang, Tuan Syekh Djalaluddin Pane
gelar Tuongku Sutan Pane Parsambilan wafat pada usianya yang ke-120 tahun di
Gunung Tua, Padang Lawas. Tuan Syekh Djalaluddin Pane adalah penganut tarekat
Naqsyabandiyah.
Semua orang larut
dalam kesedihan ditinggal oleh sosok yang mereka juluki Raja Na Martondi Tu
Padang Bolak (raja yang membawa semangat ke Padang Lawas). Julukan yang
diberikan kepada sosok yang bukan seorang raja, tetapi telah berkiprah layaknya
seorang raja dan hanya pantas diberikan kepada Tuan Syekh yang padahal bukan
asli orang dari Padang Lawas.
Bagi mereka di Padang
Lawas waktu iktu dan orang-orang yang mengenalnya di daerah lain, wa bil khusus
bagi marga Pane, Tuan Syekh tidak pernah pergi meninggalkan mereka karena
cerita-cerita keteladanannya telah menjadi roh yang tidak pernah mati, yang
terus menyemangati mereka, baik dalam arti yang sebenarnya maupun dalam arti
yang lain, agar tetap mengamalkan ajaran agama Islam dengan benar dan
istiqamah, walau jasadnya telah terkubur berpuluh-puluh tahun yang lalu di
Gunung Tua. (selesai...) []
*) Rakhmad Zailani
Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar