Takdir
Oleh:
Komaruddin Hidayat
UNTUK memahami kata takdir, mari berangkat dari statemen Alquran (25:2) yang berbunyi: "Wakhalaqa kulla syaiin, faqaddarahu, taqdiiran." Allah telah menciptakan semua yang ada ini dengan ketentuan atau ukuran masing-masing. Kata "taqdir" yang dalam bahasa Indonesia berubah jadi "takdir" dijumpai di berbagai ayat Alquran, kesemuanya mengandung makna ukuran, ketentuan, kepastian yang kadang juga disebut hukum alam.
Mari kita lihat dalam kenyataan dan kehidupan sehari-hari tentang takdir ini. Misalnya manusia tidak bisa terbang bagaikan burung, itu merupakan kepastian atau takdir Ilahi. Manusia tidak bisa berenang dan hidup di laut layaknya ikan, itu merupakan takdir Ilahi.
Namun ada takdir Allah yang tidak dimiliki burung dan ikan, yang itu hanya dimiliki manusia, yaitu manusia ditakdirkan memiliki kecerdasan otak dan tangan yang terampil sehingga manusia bisa mencipta pesawat terbang serta kapal yang dengannya manusia bisa jalan-jalan menjelajahi angkasa, lebih tinggi dan lebih jauh ketimbang burung. Bisa menyelam dan menjelajahi lautan mengalahkan kehebatan ikan.
Contoh di atas bisa diperbanyak lagi. Misalnya manusia ditakdirkan Tuhan memiliki telinga dengan kemampuan terbatas, tidak bisa mendengarkan suara ratusan kilometer jaraknya.
Lalu dengan takdir kehebatan otaknya manusia menciptakan teknologi pesawat telepon sehingga bisa berbicara dan saling mendengarkan ribuan kilometer jaraknya. Atas takdir Tuhan, daya ingat otak manusia juga terbatas, mudah lupa. Lalu manusia menciptakan alat rekaman suara (tape recorder) yang bisa membantu menyimpan suara sehingga ingatan kita yang lemah dan terbatas sangat terbantu untuk mengingat pembicaraan yang telah berlalu dan lupa.
Demikianlah, manusia hidup diikat, dibatasi, dan dikelilingi oleh hukum alam ciptaan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kepastian-kepastian itu merupakan takdir Ilahi.
Meski begitu manusia diberi takdir berupa kecerdasan, kebebasan untuk memilih, dan daya kreasi serta inovasi dengan cara memahami, mengeksplorasi, merangkai, dan mengelola berbagai hukum alam tadi untuk membantu keterbatasan fisiknya. Dengan kata lain manusia memiliki kapasitas dan peran sebagai the manager and conductor of the law of nature atau manajer takdir Ilahi.
Dengan pembahasan singkat di atas, takdir itu sebuah himpunan kepastian yang melahirkan formula hukum "sebab akibat". Kalau manusia dengan nalarnya mampu memahami dan merekayasa, manusia akan bisa menciptakan sains dan teknologi untuk melayani kebutuhan hidup agar kehidupan menjadi lebih nyaman dijalani.
Dengan contoh lain, panggung kehidupan ini bagaikan papan catur yang memiliki aturan pasti yang tidak boleh diubah. Lalu dalam ruang yang terbatas itu kita memiliki kebebasan untuk membuat langkah sehingga bisa bermain berjam-jam untuk menentukan siapa yang pintar dan sah jadi pemenangnya.
Jadi nasib seseorang itu merupakan resultante dari berbagai faktor dan usaha serta perilaku seseorang dalam menjalani hidupnya. Makanya ada ungkapan, takdir kehidupan itu bisa diubah dengan doa dan usaha.
Sampai tingkat tertentu manusia adalah pencipta nasib dan takdirnya sendiri sebagaimana dalam permainan catur, yang menentukan nasib menang atau kalah adalah pemainnya. Begitu pun halnya peristiwa "kematian" merupakan kepastian yang tidak bisa dihindari. Itu takdir Ilahi. Hukum alam.
Tapi perihal jalan yang mendekatkan seseorang pada kematian itu terdapat banyak pilihan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilihnya, apakah mati dalam keadaan terhormat atau hina.
Mati tergolong husnulkhatimah (akhir yang baik) ataukah suulkhatimah (akhir yang buruk). Dengan demikian ada hukum sebab-akibat yang berlangsung selama hidup di dunia, ada juga yang meyakini akibatnya terjadi setelah kematian. []
KORAN
SINDO, 19 Juli 2019
Komaruddin
Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar