Three in One
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pemda (Pemerintah Daerah) DKI sudah lama menerapkan penggunaan
kendaraan secara efisien dengan konsep three in one. Maksudnya adalah pada
jam-jam tertentu, disepanjang jalan antara patung pemuda di Senayan hingga
Merdeka Utara, kendaraan yang lalu minimal haruslah berisikan 3 orang,
termaksud pengendara. Tidak peduli orang yang naik itu joki yang sekedar
dibayar untuk menggenapi jumlah tersebut, maupun memang benar-benar penumpang
yang berangkat dari asal dan turun di tempat tujuan. Istilah tersebut demikian
populer, sehingga digunakan untuk hal-hal lain. Sebenarnya konsep tersebut
memang membuka peluang untuk “kalangan atas” untuk bermain-main dengan
peraturan, sesuai dengan sekian banyak peraturan yang dikeluarkan di negeri
kita. Selalu ada hal-hal yang meringankan atau mempermudah hidup cabang atas
masyarakat Indonesia itu.
Tidak seperti Singapura yang tidak melaksanakan konsep Three in
One tersebut, melainkan menerapkan di lingkungan daerah yang disebut The Golden
Mile, setiap mobil yang lalu di daerah itu harus berisi 4 orang, bukanya dengan
joki yang naik hanya untuk melengkapi kewajiban. Polisi Singapura memang
mengenal setiap orang yang potensial menjadi joki. Tapi kalau di Jakarta,
justru ada orang-orang yang “menampung” setoran uang dari joki untuk
kepentingan para anggota Polri yang menjaga lalu lintas di jalan yang terkena
aturan Three in One itu. Mengapa di Singapura tidak akan terjadi hal itu?
Karena polisi di Singapura berpenghasilan tinggi, sehingga ia tidak memerlukan
penghasilan tambahan lagi, berbeda dengan Jakarta. Karena itu, di negara ini
yang melanggar peraturan justru adalah orang yang seharusnya menjaga agar
peraturan itu berjalan dengan lancar. Ini terjadi disemua bidang kehidupan,
sehingga memang patut orang bertanya: dapatkah kita bebas dari KKN?
Dalam suasana yang masih tidak jelas itu, Gubernur Sutiyoso
memerintahkan dibuat Busway yaitu bis-bis kota yang dijalankan di atas “rel”,
guna membersihkan jalanan dari kendaraan-kendaraan besar itu. Maksudnya jelas,
yaitu untuk menciptakan jalan bagi kendaraan-kendaraan besar tersebut yang
tidak macet, alias pemisahan anggkutan umum yang besar dari
kendaraan-kendaraan biasa. Kita belum tahu, eksperimen dari busway serta
peluasan daerah yang terkena aturan Three in One itu, dapat mengatasi kemacetan
lalu lintas ibukota atau tidak. Tahun-tahun mendatanglah yang akan menjawab hal
itu. Kita hanya dapat berharap, semoga eksperimen yang sangat mahal itu, akan
berhasil dengan baik.
*****
Memang, lalu lintas di ibu kota sangat sering mengalami kemacetan.
Penulis sendiripun, dari pinggiran kota di sebelah selatan terkadang memerlukan
waktu hampir 2 jam untuk sampai di tengah kota. Ini menunjukkan betapa beratnya
masalah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Karena memang pertambahan kendaraan
tiap tahunnya sangat besar. Jakarta tidak direncanakan untuk menjadi kota
dengan begitu banyak kendaraan, karena rasio jumlah kendaraan dengan
jalan yang tidak seimbang.
Hanya berbeda dengan kota-kota lain yang memang dirancang untuk
dilalui kendaraan dalam jumlah besar. Seperti di kota New York, setiap 2-3
gedung sudah ada persimpangan jalan. Jalan raya yang melintang sudah lebih dari
100 buah. Jalannya lebar-lebar sehingga kedua sisinya dapat dijadikan tempat
parkir kendaraan, tanpa menganggu kendaraan yang lewat. Dengan demikian, di
pagi hari memang ada kemacetan di satu atau dua jalan utama, tetapi
ditempat-tempat lain tidak ada kemacetan sama sekali. Sedangkan di Jakarta,
jalan-jalan utama penuh dengan kendaraan itu terjadi kemacetan hingga arus
kendaraan tidak berjalan, dan yang terjadi adalah lambannya perjalanan waktu
pergi dan waktu orang pulang ke rumah.
Memang pernah ada pemikiran agar supaya DKI hingga ke wilayah
Jabotabek lainnya dilayani oleh kereta api bawah tanah. Tetapi, gagasan itu
kemudian tidak pernah terdengar lagi. Mungkin ada 2 penyebab. Pertama, karena
hingga 10 meter di bawah tanah, kabel-kabel listrik dan gedung-gedung pencakar
langit dibiarkan bergantungan. Dikhawatirkan, penggalian jalan kereta api di
bawah tanah (underground subway) akan menganggu aliran listrik di gedung-gedung
pencakar langit itu. Kedua, mungkin ini yang lebih penting, pihak penyandang
dana (dalam hal ini Jepang), takut mark-up nya akan terlalu besar, dan itu pun
belum tentu cukup. Rupanya Jepang juga tahu banyak tentang “proyek” di negeri
kita, yang berhenti di tengah jalan alias tidak selesai, karena dananya
“menguap”di tangan pemerintah.
Karena itu, Sutiyoso mencoba mengatasi kemacetan lalu lintas
melalui penciptaan Busway dan perluasan jaringan Three in One di atas. Namun,
apa yang terjadi selama ini memang tidak menggambarkan keberhasilan, sehingga
sah-sah saja kalau ada yang bertanya: apakah jaminannya upaya Sutiyoso itu
dapat berhasil? Jika masalah pokoknya, yaitu KKN, masih tetap ada dan tetap
belum ada kesungguhan pemerintah untuk menyelesaikannya, dengan cara penataan
kembali susunan maupun tata kerja pemerintah daerah pada saat ini Kalau
meminjam istilah orang Betawi, “di sini nih biang keroknya”. Jadi apa yang
dilakukan Sutiyoso dengan busway dan konsep Three in One yang diperluas,
hanyalah penyelesaian masalah teknis tanpa “mengobati” penyakitnya.
*****
Kita lihat dari uraian di atas, betapa erat tali temali antara
“masalah-masalah teknis” dan penyebabnya yang hakiki. Dengan kata lain, jika
kita hanya setengah-setengah menangani permasalahan, tidak usah heran kalau
kegagalan lebih sering tampak dari pada keberhasilan. Ini adalah hal yang
wajar, yang harus membuat kita memikirkan dalam-dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Inginkah kita menjadi bangsa yang kuat dan memiliki negara yang adil
dan makmur tanpa menyelesaikan masalah KKN? Jika kita ingin menjadikan bangsa
dan negara ini kuat dikemudian hari, maka tidak ada jalan lain kecuali
menegakkan kedaulatan hukum, dan memberikan perilaku yang sama kepada semua
warga negara tanpa pandang bulu di hadapan undang-undang. Kekuatan yang besar
dan bangsa ini harus disalurkan melalui proses demokratisasi.
Tentu ada yang bertanya, apa hubungan antara proses demokratisasi
dan busway? Memang, sepintas lalu kelihatannya tidak ada hubungannya antara
keduanya. Namun jelas bahwa negara manapun yang kelihatannya kuat, pada
akhirnya berantakan juga karena tidak ada proses demokratisasi dalam kehidupan
bangsanya. Demikian juga busway di ibukota Indonesia, belum tentu akan dapat
mengatasi “borok-borok” birokrasi, sehingga akhirnya ia akan rapuh juga, dan
hancur berantakan tanpa harus dilawan siapapun. Apalagi busway ini, yang
merupakan contoh “perbaikan” yang berorientasi kepada orang berduit saja, dan
tidak peduli kepada nasib orang-orang kecil yang dahulunya menggunakan bis kota
berbiaya murah. Memang mudah mengatakan menolong rakyat, tetapi pelaksanaanya
sangat sulit, bukan? []
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar