Tafsir Ayat Terakhir
tentang Riba, al-Baqarah 278-280
Jika kita mengamati Surat al-Baqarah ayat
278, Allah ﷻ memerintahkan
orang-orang yang beriman agar meninggalkan memungut sisa riba transaksi pada
masa jahiliyah. Syekh Abu Ja’far ibnu Jarir at-Thabari (w. 923 M), yang
merupakan seorang mufasir generasi tabi’in menjelaskan tafsir dari ayat
tersebut sebagai berikut:
قال
أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بذلك (يا أيها الذين آمنوا) صدّقوا بالله وبرسوله (اتقوا الله) يقول: خافوا الله على أنفسكم، فاتقوه بطاعته
فيما أمركم به، والانتهاء عما نهاكم عنه (وذروا) يعني: ودعوا (ما بقي من الربا)،
يقول: اتركوا طلب
ما بقي لكم من فَضْل على رءوس أموالكم التي كانت لكم قبل أن تُربوا عليها (إن كنتم
مؤمنين) يقول: إن كنتم محققين إيمانكم قولا وتصديقكم بألسنتكم، بأفعالكم
Artinya: “Berkata Abu Ja’far: Allah ﷻ bermaksud dalam ayat
ini (يا أيها الذين آمنوا) yang mempercayai Allah dan rasul-Nya (اتقوا الله), yakni
takutlah kalian terhadap Allah ﷻ atas diri kalian,
dengan jalan mentaati apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang
atas diri kalian, (وذروا), yakni tinggalkanlah, (ما بقي من
الربا), yakni: tinggalkanlah
dari menagih apa yang tersisa dari transaksi kalian berupa hal yang melebihi
pokok harta kalian sebelum kalian naikkan dengan jalan riba, (إن كنتم مؤمنين),
yaitu: jika kalian orang yang nyata-nyata beriman, baik dalam kata dan lewat
lisan kalian, serta perbuatan kalian.” (Abu Muhammad Ibnu Jarir At-Thabari,
Tafsīr at-Thabari, Daru al-Ma’arif, tt., Juz 6, halaman 23)
Berdasarkan keterangan di atas diketahui
bahwa beliau Baginda Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan agar
para sahabat saat itu meninggalkan sisa pungutan transaksi riba yang sebelumnya
pernah dilakukan sampai diturunkannya ayat terakhir ini. Makanya di dalam ayat
tersebut disinggung ما بقي من الربا (sisa transaksi riba sebelumnya). Hal ini
sebagaimana dikuatkan oleh Abu Muhammad Ibnu Jarir At-Thabari dalam Tafsirnya
yang berbicara tentang asbabun nuzul dari ayat ini, antara lain:
قال
أبو جعفر : وذكر أن هذه الآية نزلت في قوم أسلموا ولهم على قوم أموال من ربا كانوا
أربوه عليهم ، فكانوا قد قبضوا بعضه منهم ، وبقي بعض ، فعفا الله - جل ثناؤه - لهم عما كانوا قد قبضوه قبل نزول هذه الآية ،
وحرم عليهم اقتضاء ما بقي منه
Artinya: “Bercerita Abu Ja’far: Disebutkan
bahwa sesungguhnya ayat ini diturunkan berbicara soal kaum yang masuk Islam
sementara sebelumnya ia memiliki sisa transaksi riba yang belum diambilnya.
Mereka sudah menagih sebagiannya, sementara sebagian yang lain belum sempat
ditagih, lalu Allah ﷻ mengampuni hal
tersebut yang sudah terlanjur dilakukan sebelumnya dan mengharamkan mengambil
sisanya.” (Abu Muhammad Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsīr at-Thabari, Daru
al-Ma’arif, tt., Juz 6, halaman 23)
Ditinjau dari sisi asbabun nuzul ayat,
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 278-280 ini bercerita tentang pengamalan paman Nabi
Muhammad ﷺ,
yakni Abbas bin Abdi al-Muthalib yang bekerja sama dengan Khalid bin Walid di
dalam meminjamkan uang kepada Tsaqif bin ‘Amr sehingga keduanya memiliki harta
yang melimpah saat Islam datang. Dalam beberapa kitab tafsir lainnya,
disebutkan bahwa Bani Amr mengambil riba dari Bani Mughirah. Apabila telah
jatuh tempo pembayaran sebagaimana dijanjikan, maka diutuslah seorang utusan
untuk datang kepada Bani Mughirah dalam rangka melakukan tagihan.
Suatu ketika, Bani Mughirah menolak untuk
melakukan pembayaran terhadap tagihan tersebut. akhirnya, berita ini sampai ke
telinga Rasulillah ﷺ,
lalu beliau bersabda: “Ikhlaskanlah atau siksa Allah ﷻ akan kalian terima!”
Sementara itu pada Al-Qur’an Surat Ali Imran 130-131, menurut riwayat
dari Atha’, memiliki asbabun nuzul berupa Bani Tsaqif yang datang kepada Bani
Mughirah untuk memungut riba. Apabila telah sampai jatuh tempo, lalu dikatakan
jika tidak mampu membayar, maka Bani Mughirah meminta penundaan dan kelak ia harus
melunasinya dengan memberikan tambahan sebesar yang disyaratkan.
Mujahid, seorang ahli tafsir Tabi’in, juga
menyampaikan bahwasanya seseorang di zaman jahiliyah berhutang kepada orang
lain. Apabila telah jatuh tempo masa pelunasan, maka pihak yang berhutang
(kreditur) berkata kepada pemberi hutang (debitur): “Akan saya tambah sekian
apabila kamu beri tempo lagi pelunasan kepadaku.” Lalu pihak debitur memberikan
tempo kepada krediturnya. Tradisi ini sudah lazim di masa masyarakat pra-Islam,
sehingga mereka terbiasa melakukan menggandakan pinjaman kepada orang yang
sangat membutuhkan dan lagi kesusahan. Dengan pinjaman tersebut, pihak kreditur
tidak hanya memiliki kewajiban sejumlah pokok harta yang dipinjamnya, melainkan
ia juga harus mengembalikan sejumlah tambahan harta sesuai dengan lamanya masa
pinjaman. Adapun besaran kembaliannya akibat penundaan adalah bisa dua kali
lipat atau lebih dari pokok harta ditambah tambahan harta sebelumnya.
Dengan demikian, sebagai kesimpulan kajian
kali ini adalah, bahwa konsepsi riba di dalam Al-Qur’an adalah tidak bisa
terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat Arab kala itu. Buktinya adalah
sampai akhir ayat riba diturunkan, Nabi ﷺ masih memberi
toleransi pada diperbolehkannya pelaksanaan riba tersebut sehingga kemudian
muncul isyarat ketimpangan, yaitu berbuat aniaya dan memakan harta orang lain
dengan cara yang tidak baik. Bagaimana tinjauan sosio-ekonomi masyarakat Islam
kala itu? Insyaallah akan disampaikan pada kajian berikutnya. Wallahu A’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Ponpes Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar