NU Melawan 'Bughot'
terhadap Pemerintahan yang Sah
Upaya pemberontakan
(bughot) terhadap pemerintahan yang dilakukan oleh kelompok tertentu sudah
terjadi sejak zaman dahulu. Bahkan dalam kondisi rakyat Indonesia masih
terjajah Belanda kala itu. Bughot ini muncul disebabkan ambisi kelompok dengan
mengindahkan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan bangsa dan negara
dengan dalih mendirikan negara Islam.
Gerakan mendirikan
negara Islam untuk menggantikan negara bangsa (nation state) yang dipimpin
Soekarno ini muncul dan dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo
dengan nama darul Islam (DI) dengan pasukannya Tentara Islam Indonesia (TII).
Sebagai bagian elemen Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) tidak
begitu saja menyetujui gerakan yang dilakukan oleh Kartosoewirjo meskipun
mengatasnamakan Islam.
Beberapa kalangan
pesantren dan NU yang sebagian besar terdiri dari ulama, kiai, dan para santri
menolak untuk ikut mendirikan negara Islam (Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan
Kebangsaan, 2011). Langkah yang diambil NU bukan hanya mendeligitmasi
kepemimpinan Kartosoewirjo, tetapi juga demi kepentingan bangsa yang lebih
luas, karena Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Perjuangan melawan
penjajah tidak hanya dilakukan oleh kalangan Islam, tetapi seluruh elemen agama
lain di Nusantara.
NU menempatakan DI
sebagai bughot (pemeberontak) yang harus diperangi. Sebaliknya menempatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno sebagai
negara dan pemerintahan yang sah dengan menetapkannya sebagai waliyul amri
adz-dzaruri bissyaukah (pemerintahan darurat yang memegang kekuasaan secara
sah).
Bagi NU, menempatkan
kepentingan bangsa merupakan hal wajib karena Indonesia tengah terjajah oleh
Belanda. Sebab itu, seluruh rakyat Indonesia perlu bersatu, bukan justru
membentuk gerakan untuk mendirikan negara atas dasar kepentingan kelompok.
Konsep darul Islam
yang digagas Kartosoewirjo tidak diterima oleh NU karena bertujuan
memformalisasi Islam ke dalam bentuk negara. Islam adalah jalan hidup dan nilai
luhur yang posisinya lebih tinggi dari sekadar bentuk negara. Karena itu,
ajaran Islam cukup dijalankan oleh umatnya dalam kehidupan sehari-hari termasuk
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus mengereknya menjadi
bendera.
Karena terkait dengan
tanggung jawab sosial keagamaan, NU membahas persoalan darul Islam ke dalam
Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. NU menilai,
misionarisme yang juga menjadi agenda penjajah Belanda hanya numpang lewat.
Karena secara historis, kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Nusantara telah
membentuk masyarakat Islam yang mampu menyatu dengan umat agama lain dalam kehidupan
masyarakat.
Sebab itu, darul
Islam dalam pandangan NU bukanlah negara Islam tetapi sebuah wilayah yang
ditempati oleh umat Islam. Karena saat itu Indonesia sedang terjajah, maka umat
Islam yang sejak dulu berada di wilayah Islam yaitu Indonesia wajib melawan
penjajahan Belanda. Bukan atas dasar kepentingan agama Islam semata, melainkan
untuk kepentingan bangsa Indonesia dari ketidakperikemanusiaan penjajah.
Penjajahan hanya
numpang di permukaan, sementara basis masyarakatnya masih berbasis Nusantara
dan basis Islam. Dalam pengertian itulah Indonesia ditetapkan sebagai darul
Islam, yaitu wilayah yang dihuni oleh umat Islam, bukan dalam artian negara
Islam.
Mengenai cita-cita
Indonesia sebagai negara bangsa, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para
aktivis pergerakan pemuda tahun 1928 sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena
di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan
agamanya secara bebas. Dengan demikian, umat Islam tidak perlu membuat negara
lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara bangsa yang dirumuskan telah
memenuhi aspirasi Islam.
Saat itu Indonesia
sedang dijajah Belanda, sehingga dikategorikan sebagai darul harb (daerah
jajahan) atau dalam bahasa militernya sebagai terra bellica (daerah perang)
yang harus diperjuangkan menjadi agar menjadi terra liberium (daerah merdeka).
Dengan langkah itu baru bisa diwujudkan darus salam (daerah yang aman) yang
keamanan dan kesejahteraannya bisa dicapai melalui perjuangan bersama.
Perjuangan bersama
melibatkan seluruh elemen bangsa, tidak hanya umat Islam sehingga negara bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia senantiasa diperjuangkan NU dari setiap
pemberontakan dalam bentuk apapun terhadap pemerintahan yang sah.
Negara ini milik
bersama yang dicapai melalui perjuangan bersama sehingga harus dimajukan secara
bersama-sama. Kesetiaan NU terhadap negara bangsa terus-menerus ditegaskan dari
masa ke masa, terutama saat negeri ini mendapat ancaman. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar